“Managing
Director Ford Indonesia: kalau dipaksakan harganya akan selangit.
Sampai hari ini regulasinya juga masih belum jelas"
Harga
mobil hibrida yang mahal, merupakan kendala bagi komitmen negara-negara di
dunia, khususnya negara dunia ke-3, terhadap iklim Bumi yang kian mencemaskan.
Karena itu, jika ingin mengembangkan mobil ramah lingkungan, harus didukung
negara. Managing Officer Toyota Motor Corporation Satoshi Ogiso mengatakan,
ketika mobil hibrida berkontribusi mengurangi dampak iklim karbon karena membebaskan
diri dari ketergantungan pada BBM, maka negara harus memberikan insentif
sebagai imbal baliknya.
Prius sedang di-charge (media.treehugger.com) |
"Faktor
negara sangat penting dalam memproduksi dan mengembangkan mobil hibrida. Itu
yang kami rasakan di Toyota," kata Ogiso kepada puluhan wartawan dari lima
negara Asia, termasuk Indonesia, di kantor pusat Toyota Motor di Toyota City,
dekat Nagoya, Prefektur Aichi, Jepang. Menurut Ogiso, pengembangan mobil
hibrida di Jepang mendapat insentif pembebasan pajak sampai sekitar tahun 2005.
Dukungan negara seperti ini membuat Toyota ketika itu sangat leluasa berinovasi
mengembangkan mobil hibrida sampai akhirnya pasar mau menerimanya.
Sejak
raksasa otomotif dunia ini memperkenalkan Prius, generasi pertama mobil hibrida
yang dikembangkannya pada 1997, penjualannya terus meningkat. Sampai akhir
Maret lalu saja, penjualan akumulatif Priu secara global sudah mencapai 5 juta unit. "Kami telah memasuki fase
baru dalam sejarah mobil hibrida," kata Ogiso (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/05/23/mn8kj3-mobil-hibrida-butuh-dukungan-negara).
Bagaimana
dengan Indonesia? Menteri Perindustrian, MS Hidayat, Mei 2012 lalu, mengaku (akan)
mengeluarkan kebijakan mengenai mobil hibrida pada Juni 2012. “Salah satu
insentif yang kami tawarkan adalah insentif PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah),"
kata Hidayat. Dikatakan Hidayat waktu itu, keringanan pajak akan diberikan
untuk impor mobil hibrida CBU (Completely Built-Up/diimpor utuh) dalam periode
waktu tertentu, agar produsen dapat melakukan tes pasar.
Namun
selanjutnya, kata Hidayat, produsen di Indonesia harus bersedia merakit sendiri
(Completely Knock-Down/CKD). Kebijakan
tersebut kata Hidayat, berlaku untuk semua merek. Dengan pemberian insentif
ini, harga mobil hibrida diharapkan Hidayat akan semakin kompetitif (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/otobiz/12/05/28/m4qp8m-juni-pemerintah-umumkan-kebijakan-mobil-hibrida).
Ihwal tes pasar mobil hibrida, Kemenperin dan PT Toyota Astra Motor (TAM) tampaknya
belum mencapai kata sepakat. Mei 2012, seusai dengar pendapat dengan TAM, MS
Hidayat mengatakan, pihaknya menginginkan tes pasar dilaksanakan dalam waktu
satu tahun, sementara TAM maunya dua tahun. (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/16/m4358t-harga-hybrid-murah-sekitar-rp-250-jutaan).
Sementara
itu Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian
(Kemenperin), Budi Darmadi, menambahkan, pemerintah memiliki paket kebijakan Low Carbon Emmision Technology (LCET) yang
berlaku tak hanya untuk mobil hibrida, tetapi semua mobil ramah lingkungan. Untuk
mobil kemungkinan akan dilihat dari tingkat konsumsi bahan bakar atau besarnya
karbon yang dihasilkan, bukan dari kapasitas mesin.
Menurut
Hidayat, LCET akan memayungi kebijakan tak hanya terhadap mobik hibrida, tapi
juga mobil irit Bahan Bakar Minyak
(BBM), mobil listrik, dan mobil gas, serta mobil dengan teknologi advanced diesel engine dan biofuel. Hibrida yang dimaksud adalah
jenis mobil yang menggunakan dua mesin, yaitu bensin dan listrik (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/otobiz/12/05/28/m4qp8m-juni-pemerintah-umumkan-kebijakan-mobil-hibrida
/ http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/06/20/m5w00p-pemerintah-segera-terbitkan-aturan-mobil-hybrid).
Hidayat
mengungkapkan, dari jenis mobil-mobil “hijau” itu, jenis yang paling
memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia adalah mobil listrik. Akan tetapi mobil
jenis ini, kata Hidayat, terkendala infrastruktur karena akan membutuhkan
banyak tempat untuk mengisi ulang listrik, layaknya telepon genggam.
Sedangkan
hibrida, jelas Hiidayat, karena penghematan yang mampu dilakukan mobil ini membutuhkan
teknologi sedemikian rupa, harganya menjadi mahal. "Mobil hybrid yang selama ini dijual Toyota dinilai
masih terlalu mahal. Jadi rencananya Toyota akan membuat mobil hybrid sejenis MPV yang harganya bisa dijangkau masyarakat Indonesia. Bukan Prius, tetapi yang harganya sekitar Rp
250 juta," kata Hidayat.
Disinggung
tentang program Low Cost Green Car (LCGC), Hidayat menambahkan, ada perbedaan
antara mobil hibrida dan LCGC, terutama pada segmen pasarnya (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/16/m4358t-harga-hybrid-murah-sekitar-rp-250-jutaan).
Dengan hanya berpatokan pada faktor irit bahan bakar, sejumlah merek LCGC kini
sudah berani bermain di pasar Indonesia. Sebut saja Toyota
Agya dan Daihatsu Ayla yang dibanderol di kisaran Rp 75-120 juta, tanpa insentif
pajak (http://selasarselusur.blogspot.com/2013/03/low-cost-green-car-bakal-makin-padatkan.html).
Sementara itu
Budi Darmadi mengatakan, mengenai harga mobil hibrida pihaknya masih harus
menyamakan persepsi dengan perusahaan-perusahaan produsen mobil di Indonesia.
"Harga mobil hybrid yang beredar
di pasaran masih cukup mahal. Satu unit Toyota Prius saja dibanderol Rp 600
juta lebih," kata Budi. Meski begitu, pemerintah kata Budi akan
mengupayakan mobil hibrida bisa dipasarkan dengan harga murah di Indonesia. Salah
satu faktor yang bisa membuat harganya murah adalah produksi massal.
Budi mengatakan,
pihaknya akan melakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai mobil hibrida ini
dengan perusahaan mobil Jepang lainnya, Honda dan Daihatsu, serta dengan beberapa
produsen mobil Eropa seperti Mercedes, VW, BMW, atau Audi. Seperti diketahui,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk tim untuk mengembangkan mobil
hibrida di Indonesia yang melibatkan kementerian perindustrian dan kementerian
keuangan, untuk bernegosiasi dengan sejumlah produsen mobil (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/15/m42lpi-pemerintah-ingin-harga-mobil-hybrid-murah).
Mahalnya harga
mobil hibrida, tampaknya membuat produsen curiga bahwa pasar mobil ini belum
terbentuk di Indonesia. Ford Motor Indonesia (FMI) misalnya, meskipun di
negaranya (Amerika Serikat) salah satu produk hibridanya, Ford C-Max (jenis
MPV), laris manis, bahkan sempat mengungguli penjualan Toyota Prius, namun FMI
belum tertarik memasarkannya di Indonesia. “Kalau dipaksakan harganya akan
selangit. Sampai hari ini regulasinya masih belum jelas," ujar Bagus
Susanto, Managing Director FMI. Menurutnya saat ini paling relevan adalah
menyediakan produk yang mampu memberikan efisiensi bahan bakar. Jadi, alih-alih
hibrida, FMI malah akan memasarkan mobil irit bahan baka, yakni Ford Ecosport, jenis SUV (http://otomotif.kompas.com/read/2013/01/31/6394/Ford.Belum.Berniat.Jual.Mobil.Hibrida.di.Indonesia).
Sementara itu
Honda menantang pemerintah. Direktur Marketing and After Sales Service PT Honda
Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandy, menyatakan siap bermain di segmen hibrida
jika pemerintah memang telah siap memberikan insentif. "Kami sudah punya
pengalaman dengan menghadirkan Civic hybrid
waktu itu," kata Jonfis, seraya menekankan bahwa Honda bukan pemain
baru mobil hibrida, meskipun dia menolak membeberkan harga dan tipe mobil hibrida
apa yang akan ditawarkan Honda.
Yang menjadi
pertanyaan, kata Jonfis, justru kesiapan pemerintah mematangkan dan
merealisasikan insentifnya. "Sistem hybrid
yang dikenalkan pada tahun 1999 di Amerika dapat berjalan mulus karena dukungan
pemerintah dengan melakukan insentif pada perusahan otomotif," kata dia (http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/327969-honda-siapkan-mobil-hybrid-murah-di-indonesia).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar