“Kesejahteraan
rakyat baru akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,3 persen stabil
hingga tiga tahun mendatang, dan diikuti strategi pemerataan”
Managing Director New
York Stock Exchange (NYSE), Marc Iyeki, menilai, dunia sedang menaruh perhatian besar
kepada Indonesia. Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk Cina dan
India, dinilai sangat bagus di dunia. Kondisi pasar Indonesia kata Iyaki, terus
tumbuh. Ini bisa terlihat dari IHSG di pasar modal yang mencapai lima ribu
rupiah.
Warga banyak belanja, ekonomi tumbuh |
Dikatakannya,
Indonesia juga memiliki potensi ekonomi yang baik karena memiliki cadangan
sumber daya alam memadai, termasuk proyeksi industri manufaktur yang dapat
menarik investasi. Iyeki lantas menyarankan agar pertumbuhan ekonomi terus
dijaga dengan cara menambah perusahaan yang listing di bursa efek, juga dengan
menjaga stabilitas sosial politik.
Iyeki
mengatakan itu saat berdiskusi dengan Ali Masykur Musa, yang melakukan muhibah
ke Amerika Serikat (AS), Senin (29/4). Tentang investasi yang dinyatakan Iyeki,
anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengatakan, benar bahwa investasi
membawa pertumbuhan ekonomi. “Tetapi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus
mampu menaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Setelah itu baru stabilitas sosial
politik terjaga," ujar Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
ini. Menurut Ali, kesejahteraan rakyat Indonesia akan tercapai jika pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen untuk 2012 dan stabil tiga tahun
mendatang diikuti dengan strategi pemerataan (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/04/30/mm119y-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-diakui-dunia).
Jika
dilihat dari investasi asing di Bursa Efek Indonesia (BEI), memang menunjukkan
pertumbuhan yang menarik. Direktur Utama BEI, Ito Warsito,
mengatakan, pelaku pasar saham asing masih mempercayai industri investasi di
Indonesia terutama di pasar modal. Fundamental ekonomi domestik juga masih
terus mencatatkan pertumbuhan. "Ekonomi kita masih positif di tengah kondisi
global yang tidak menentu," katanya.
Mayoritas investor asing ini kata Ito, bahkan menempatkan
dananya untuk jangka panjang. Hanya sebagian kecil yang cenderung jangka
pendek. "Sekitar 30-35 persen portofolio saham asing dilakukan untuk
trading, dan sisanya untuk jangka panjang," ucap dia. Direktur Perdagangan
dan Pengaturan Anggota BEI, Samsul Hidayat, mengatakan, masuknya dana asing
yang cukup deras ke dalam pasar modal domestikini diikuti kinerja emiten yang
diekspektasikan positif (http://m.koran-jakarta.com/?id=114698&mode_beritadetail=1).
Seperti diketahui, memasuki 2013 ini, BEI
mencatatkan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang
menembus level 5.000. Para analis melihat ini sebagai sesuatu yang cukup
mengejutkan, dengan alasan level tersebut merupakan target sepanjang tahun dari
para analis. Namun jika melihat dukungan fundamental ekonomi dan ekspektasi
positif kondisi perekonomian kedepan baik global maupun domestic, hal ini
dinilai wajar. Analis PT Buana Capital,
Alfred Nainggolan, mengatakan, pencapaian IHSG pada level 5.023 lebih tinggi
dibandingkan periode sama tahun lalu. "Kontribusi terbesar bagi
pertumbuhan IHSG berasal dari sektor Keuangan sebesar 16 persen. Sektor barang
konsumsi memberikan kontribusi 50 persen lebih," ujar Alfred, Minggu
(21/4/2013) (http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/21/32/740454/keuangan-dan-konsumsi-topang-kenaikan-ihsg).
Pidato
Menteri Kuangan RI pada RAPBN 2011, mengemukakan, ada enam indikator makro
pertumbuhan ekonomi Indonesia, a.l. adalah: IHSG, net capital inflow saham, ekspor impor, cadangan devisa, nilai
tukar, dan inflasi. Melihat kinerja indikator pertumbuhan ekonomi makro pada
2012 lalu, banyak kalangan yang mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia
dapat mencapai 6,7% (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/07/30/kualitas-semu-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-481920.html).
Tapi
kenapa mayoritas rakyat Indonesia masih miskin? Indikator makro ekonomi memang
tidak pernah bisa melihat kondisi riil perekonomian rakyat di lapangan,
alih-alih pemerataan. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti diungkapkan
Alfred di atas, hanya ditopang sektor yang tidak riil seperti sektor keuangan
dan konsumsi. Pada 2008 misalnya, Kepala Riset Recapital Securities, Poltak
Hotradero mengatakan, sektor konsumsi di Indonesia mencapai Rp 10 triliun per
hari. “Bayangkan itu,” ujar Poltak.
Sementara
itu, kenaikan IHSG hanya berimplikasi kepada nilai perusahaan-perusahaan yang
sudah ada dan tidak memberikan tambahan produksi ataupun investasi baru. Dana
yang masuk ke sektor keuangan dan pasar modal tersebut juga hanya dinikmati
para pemegang saham dan orang-orang yang bekerja di sektor tersebut yang
umumnya dari kalangan menengah ke atas. Jadi, di mana posisi wong cilik dalam pertumbuhan ekonomi
yang seolah spektakuler dan dipuji berbagai pihak ini?
Jika
melihat pembagian pendapatan domestik bruto tahun 2010 kepada seluruh penduduk
Indonesia, kita mendapatkan: 40% penduduk termiskin hanya mendapatkan 19,41 %
PDB Indonesia, 40% penduduk dengan pendapatan menengah mendapatkan 37,45% PDB,
dan 20% penduduk terkaya atau sekitar 47,4 juta orang penduduk kaya menguasai
PDB Indonesia sebesar 43,14%. Luar biasa!
Selama
lima tahun sejak 2006, ternyata terjadi kenaikan kesenjangan pendapatan di
antara masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan kenaikan Indeks Gini dari 0,33 ditahun
2006 menjadi 0,38 ditahun 2010. Kenaikan pendapatan nasional yang tinggi pun
tidak menjamin adanya pemerataan dan pengurangan tingkat kemiskinan di
tengah-tengah masyarakat (sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/07/30/kualitas-semu-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-481920.html).
Keberhasilan
pemerintah dalam mengerek pertumbuhan ekonomi diakui pengamat ekonomi dalam
setahun pemerintahan SBY-Boediono. Menurut Fahmi Radhi dari Universitas Gajah
Mada (UGM), pemerintah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga di atas
enam persen. Namun kata Fahmi, pencapaian target pertumbuhan tersebut tidak
dapat menggerakkan sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Keberhasilan
pemerintah ini, ujar Fahmi, tidak mengakibatkan menurunnya pengangguran dan
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah justru menyebabkan
semakin lebarnya tingkat kesenjangan ekonomi di Indonesia. Di samping tidak
berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, rakyat juga harus membayar ongkos
pertumbuhan ekonomi dengan semakin beratnya beban hutang pemerintah Indonesia.
Fahmi mengungkapkan, pada bulan April 2010 saja, hutang obligasi pemerintah
telah mencapai Rp 1.015 triliun sedangkan hutang luar negeri Rp 573 triliun. Jadi,
total hutang pemerintah setara 63,54 triliun dolar AS (http://www.jurnal-ekonomi.org/keberhasilan-semu-pemerintah-dalam-pertumbuhan-ekonomi/).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar