“Kepala Polisi
Saudi: pengguna Twitter merugi dunia akhirat.
Keponakan Raja Abdullah: tindakan
membatasi media sebagai satu tindakan yang gagal”
Arab
Saudi mulai alergi terhadap efek media sosial. Kepala polisi negara kerajaan
itu, Sheikh Abdullatif al-Sheikh, dikutip dari BBC, menyatakan, warga Saudi yang menggunakan media sosial, khususnya
Twitter, sangat merugi, baik dunia maupun akhirat. Sebab kata al-Sheikh,
Twitter seringkali menyampaikan hal-hal tidak benar. ''Twitter adalah panggung berbicara bagi mereka yang
tak punya tempat (tak dipandang),'' ujarnya.
ROL |
Ini bukan untuk
pertama kalinya al-Sheikh melempar pernyataan soal Twitter. Pada akhir Maret lalu, di hadapan para ulama Saudi ia
menyebut Twitter sebagai medium penyebar
pesan-pesan yang tak benar. Pada April lalu, ia juga mengatakan di hadapan imam
Masjidil Haram di Makkah, Twitter mengancam
persatuan nasional.Sebenarnya tak hanya al-Sheikh, ulama paling senior di
kerajaan, pernah menyatakan para pengguna Twitter
sebagai orang bodoh.
Tentu saja
serangan ofensif ulama dan pejabat ini mencerminkan kekhawatiran pemerintah
Saudi, terhadap warganya yang menggunakan Twitter
sebagai media untuk berbicara persoalan politik dan sosial. Bagaimana
tidak, banyak warga Saudi merasa Twitter
sebagai media paling cepat dan efektif untuk memperlihatkan kehidupan mereka sehari-hari.
Misalnya belum lama ini, protes di Provinsi Timur disebarkan melalui Twitter. Begitu juga dengan sidang
aktivis hak asasi manusia (HAM) yang fotonya disebarkan melalui Twitter.
Kejadian ini
membuat Pemerintah berencana menghubungkan akun mereka dengan nomor kartu
identitas penduduk. Tujuannya menurut Pemerintah Saudi, agar tidak ada lagi pengguna
Twitter yang anonim. Reaksi negatif Pemerintah
Saudi terhadap aktivitas di dunia maya, bukan sebatas retorika. Pemerintah
Saudi bahkan telah menangkap beberapa aktivis dunia maya dengan tuduhan
penistaan agama, dengan ancaman hukuman mati.
Namun, sebagian
kaum elite Saudi juga mengingatkan agar pemerintah tak terlalu keras kepada
pengguna jaringan sosial. Miliarder Pangeran Alwaleed Bin Talal, pria yang
mengaku reformis dan juga keponakan Raja Abdullah, menyatakan, tindakan
membatasi media sebagai satu tindakan yang gagal. Dikutip
dari BBC, di banyak negara Arab, Twitter antara lain dimanfaatkan untuk
menggalang dukungan dan mengoordinasi gerakan saat terjadi pergolakan politik.
Saudi diyakini sebagai salah satu negara dengan tingkat kenaikan pengguna Twitter paling tinggi di dunia (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/16/mmw00e-polisi-saudi-pengguna-twitter-merugi-dunia-dan-akhirat).
Ketika
kawasan Timur Tengah (Timteng) mulai bergolak yang dimulai dari Mesir yang
berhasil menggulingkan rezim Presiden Husni Mubarak, jejaring sosial menjadi
kambing hitam, namun sekaligus pelopor revolusi. Ketua Umum Ikatan Ilmuwan
Indonesia Internasional, Nasir Tamara, mengungkapkan, revolusi yang terjadi di
beberapa negara di Timur Tengah dipelopori kaum muda, bukan atas inisiatif
partai politik tertentu. "Bahkan, keberadaan media juga mempercepat
revolusi tersebut, terutama jaringan sosial Facebook
dan Twitter. Namun, media baru itu
tidak menghilangkan media lama, cetak maupun elektronik, mereka hanya
melengkapi," katanya.
Ia
mengatakan revolusi di Timur Tengah menunjukkan indeks pembangunan manusia
maupun pendapatan per kapita bukan jaminan tidak terjadi gejolak politik.
Negara-negara Timur Tengah, seperti Libya, Arab Saudi, dan Iran tergolong
negara kaya, tetapi tetap saja bergejolak, karena tidak ada kebebasan dan
demokrasi. "Gejolak terjadi karena benar-benar tidak ada rasa keadilan,
ditambah dengan krisis ekonomi. Kebebasan juga terpasung dan hak asasi manusia
pun sering dilanggar," katanya (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/11/03/01/166847-kaum-muda-pelopori-revolusi-timur-tengah).
Demikian
percayanya pemerintah Mesir terhadap kekuatan media sosial dalam mendorong
revolusi, demi mencegah munculnya kembali demonstrasi besar-besaran anti
pemerintah, pihak berwenang Mesir sempat memutus akses internet pada 27 Januari
2011. Namun tindakan preventif itu tampaknya tidak berhasil, karena demonstrasi
massal kembali pecah serentak di penjuru Mesir, Jumat 28 Januari 2011, untuk
menuntut rezim Mubarak mundur. Bagi
kalangan pengamat, langkah pemerintah Mesir memutus akses internet menandakan laman-laman
media sosial telah berperan penting dalam menciptakan pergolakan massal. Menurut
kolumnis Computerworld, Jaikumar
VijayanRezim, Mubarak tidak ingin mengulang kejadian di Tunisia sekaligus ingin
mengadopsi langkah-langkah Cina dan Iran dalam membendung gerakan populer yang
dibantu media-media sosial di internet.
Selama
ini. para aktivis dan kubu oposisi bisa dengan mudah memobilisasi massa dan
melakukan koordinasi gerakan unjuk rasa melalui akun di Facebook dan Twitter.
Mereka juga bisa menjadi media alternatif dengan menayangkan video-video
bentrokan yang segera tersebar ke seluruh dunia melalui laman YouTube dan blog. Data dari laman
pemantau media sosial, Social Bakers,
menunjukkan bertambahnya jumlah pengguna Facebook
di Mesir dalam hitungan bulan, dari semula hanya 3,2 juta pengguna, enam bulan menjadi
5 juta. Sekitar 85 persen pengguna masuk dalam angkatan usia produktif, yaitu
18 hingga 44 tahun.
The Guardian mencatat, salah satu grup
di Facebook yang populer adalah
"We are all Khaled Said". Grup itu mengadopsi nama seorang pemuda di
Kota Alexandria yang dipukul hingga mati oleh polisi pada 2010. Grup online itu membawa pesan solidaritas
melawan aparat keamanan yang semena-mena atas kaum muda. Dengan cepat, grup itu
diakses oleh ratusan ribu pengguna Facebook
di Mesir. Kaum oposisi tradisional pun akhirnya ikut pola kaum muda dalam menyampaikan
pesan ke banyak orang melalui media sosial. Mohamed El Baradei, salah seorang
tokoh oposisi berkiau di Twitter. "Dukung
penuh seruan untuk demonstrasi damai melawan represi," kicau ElBaradei, seperti dipantau Newsweek.
Richard
Stiennon, pengamat dari IT-Harvest, mengatakan, untuk mencegah massa berkoordinasi
satu sama lain pihak berwenang harus memutus semua akses internet secara
serentak di semua wilayah. Pemblokiran itu sukses dilakukan Iran ketika
menghadapi gelombang demonstrasi massal pada 2009. Saat itu kubu oposisi sukses
menghimpun massa melalui berbagai pesan di Twitter
dan Facebook untuk menentang
hasil pemilu, yang mereka anggap sarat kecurangan sehingga memenangkan kembali
Presiden Mahmoud Ahmadinejad.
Cina
pun menerapkan kontrol ketat atas penggunaan internet. Bahkan, pengguna
internet di Cina tidak bisa mengakses jejaring sosial yang populer seperti Facebook, Twitter, dan Youtube. Demi
mengendalikan efek teknologi informasi, Cina mengerahkan dana besar. Namun
bagaimana dengan Mesir. Waktu itu Mesir tengah mengalami krisis ekonomi.
Harga-harga kebutuhan pokok naik, begitu pula tingkat pengangguran. Memutus
jaringan internet bisa makin memperburuk situasi ekonomi di negara itu (http://fokus.news.viva.co.id/news/read/201918-musuh-baru-rezim-mesir--facebook-dan-twitter).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar