“Di Afghanistan, Bryant
mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun, dia melihat ada
anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai target”
PBB
memperingatkan negara-negara dengan kekuatan militer maju bahwa penggunaan
pesawat tanpa awak atau drone akan mengancam stabilitas internasional. Pejabat
PBB khusus ekstrajudisial, Christof Heyns, meminta negara-negara menghentikan membangun
industri robot terbang yang mematikan ini. Drone diketahui telah digunakan Amerika
Serikat (AS) untuk membunuh manusia di negara-negara seperti Pakistan,
Afganistan, Yaman, dan Somalia.
Robot terbang sedang luncurkan rudal (ROL) |
"Mesin
tidak memiliki moralitas dan rasa kematian, dan sebagai hasilnya mereka tidak
memiliki kuasa atas hidup dan mati manusia," ungkap Heyns seperti dilansir
PressTV (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional).
AS sendiri sebagai salah satu produsen drone terbesar, seperti dinyatakan
Presiden Barrack Obama, menjadikan program pesawat tanpa awak ini sebagai alasan
“membela diri” dari serangan terorisme.
Dengan
alasan itu, Senator AS dari Partai Republik, Lindsay Graham, seperti dilansir PressTV, seolah tanpa berat hati
mengumumkan bahwa drone AS sudah membunuh 4.700 orang, termasuk warga sipil. "Kami
membunuh 4.700 orang," ungkap Graham, seraya menambahkan bahwa drone
tersebut juga terkadang membunuh warga.
"Saya benci itu tapi kami dalam perang
dan kami (dengan bantuan drone) telah (berhasil) membunuh anggota senior
Al-Qaidah," kata Graham. Meski begitu Graham membela Presiden AS Barack
Obama yang pernah menyatakan bahwa AS menggunakan drone untuk membunuh
musuh-musuhnya di luar negeri. "Senjata itu yang kami butuhkan. Senjata
taktis," sebut dia. Akan tetapi otoritas
AS menolak memublikasikan detail program dan jumlah korban serangan drone-nya.
Satu
laporan dari lembaga New America mengatakan, sejak 2004 AS telah melakukan 350
serangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak ini. Sebagian besar pesawat itu
digunakan saat Obama menjabat sebagai presiden. Lembaga itu memperkirakan
korban tewas sudah mencapai sekitar 1.963-3.293 orang. Sementara Biro Jurnalis
Investigasi yang berbasis di London menyebutkan, korban tewas akibat serangan
drone AS di Pakistan saja sejak 2004, mencapai 2.627-3.457 orang. Dari jumlah
itu sekitar 475-900 orang merupakan penduduk sipil. Dari jumlah itu, 261-305
orang merupakan penduduk sipil. Yang pasti, AS sendiri telah mengakui jumlah
korban yang jauh lebih besar (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/21/mijwjq-drone-amerika-bunuh-4700-orang).
Ketika
berpidato di National Defense University di Washington, Kamis (23/5/13),
Presiden Obama tanpa sungkan menyatakan pembenarannya dalam penggunaan pesawat drone
sebagai alat untuk “membela diri”. “Kita berperang melawan satu organisasi yang
sekarang 'akan membunuh sebanyak mungkin orang Amerika selama mereka bisa',
jika kita tidak menghentikan mereka lebih dulu." (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/24/mnb183-pakistan-serangan-drone-as-langgar-kedaulatan).
Drone
merupakan robot pembunuh hasil pengembangan lanjutan dari pesawat tanpa awak
(UAV/unmanned aerial vehicle). Asal muasal drone adalah ketika Angkatan
Laut Amerika Serikat (AS) mengembangkan sebuah pesawat tak berawak yang
sepenuhnya otonom yang disebut X-47B. Awalnya pesawat ini ditujukan untuk
tujuan non-tempur, namun belakangan
malah didesain dengan persenjataan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional).
Dia juga dirancang anti-radar sehingga bisa memasuki kawasan udara negara tertentu
tanpa terdeteksi.
Kontrol pesawat
tanpa awak ini bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan pengendalian jarak
jauh oleh operator di darat, atau berdasarkan program yang dimasukan ke dalam
pesawat sehingga dia dapat terbang secara mandiri. Pesawat jenis ini semula dibangun
dengan misi melakukan pekerjaan yang dianggap terlalu kotor atau malah terlalu
berbahaya untuk dilakukan pesawat berawak. Misalnya saja untuk memadamkan kebakaran,
untuk kebutuhan keamanan non militer, atau pemeriksaan jalur pemipaan. Namun
belakangan reputasi UAV ini semakin mengerikan karena bisa menyerang target
manusia secara berlebihan bahkan menyerang target yang salah. Atau, reputasinya
sebagai alat untuk melakukan pekerjaan terlalu “kotor” tersebut malah cocok, yakni membunuh manusia
(diinterpretasi dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Pesawat_tanpa_awak).
Namun seperti
dikatakan Graham, AS sepertinya memang tidak terlalu mempermasalahkan kesalahan
target drone, termasuk membunuh warga sipil tersebut, bahkan membunuh warganya
sendiri meskipun dengan alasan “kontra terorisme”. Eric Holder, Jaksa Agung AS mengatakan,
sudah empat warga AS yang tewas dalam operasi pembendungan terorisme dengan
menggunakan pesawat tak berawak sejak 2009 lalu.
Apa yang
diungkapkan Holder ini membenarkan pernyataan seorang senator AS yang
mengatakan, tiga warga AS tewas dalam serangan drone, namun satu di antaranya
memang ditargetkan menjadi sasaran serangan, yakni seorang warga AS bernama Anwar
al-Awlaki. Holder mengatakan, Pemerintahan Obama menyadari, selain Awlaki masih
ada tiga warga AS lainnya yang tewas dalam serangan drone, mereka adalah Samir
Khan, Jude Kennan Mohammed, dan Abdulrahman al-Awlaki; putra Anwar al-Awlaki. "Orang-orang
ini tidak secara spesifik menjadi target serangan AS," imbuh Holder (http://international.sindonews.com/read/2013/05/23/42/752013/sejak-2009-drone-sudah-bunuh-empat-warga-as).
Pilot Drone Alami Pascatrauma
Bahkan
seringnya drone melakukan salah sasaran telah membuat seorang mantan pilot
(operator) drone, menyatakan mundur dari tugasnya. Pilot ini mengaku melihat
drone yang dikendalikannya membunuh anak kecil dan penduduk sipil di
Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan radio nasional, NPR, mantan pilot drone yang diidentifikasi sebagai Brandon Bryant ini
mengatakan kegelisahannya melihat pemboman yang dilakukan drone di Afghanistan.
Sebagai pilot drone, dia bisa melihat langsung apa yang dilakukan drone-nya
ketika melalui layar monitor di samping tombol kontrol drone yang dioperasikan
di suatu negara bagian AS.
"Kami menembakkan rudal. Setelah asap bersih, anda dapat melihat bagian-bagian tubuh manusia," ujarnya seperti dilansir PressTV. Di Afghanistan, Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun, dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai target. "Tampak seperti anak kecil… dan rudal menghantam. Tidak ada tanda-tanda dari orang (militan) ini," ujarnya. Sejak meninggalkan program kontroversial AS ini lebih dari dua tahun lalu dia menjadi tunawisma, tinggal dengan teman-temannya. Dia juga didiagnosis menderita Pasca Traumatic Stress Disorder (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/20/mn38ql-pilot-drone-as-mundur-setelah-bom-anak-kecil).
"Kami menembakkan rudal. Setelah asap bersih, anda dapat melihat bagian-bagian tubuh manusia," ujarnya seperti dilansir PressTV. Di Afghanistan, Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun, dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai target. "Tampak seperti anak kecil… dan rudal menghantam. Tidak ada tanda-tanda dari orang (militan) ini," ujarnya. Sejak meninggalkan program kontroversial AS ini lebih dari dua tahun lalu dia menjadi tunawisma, tinggal dengan teman-temannya. Dia juga didiagnosis menderita Pasca Traumatic Stress Disorder (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/20/mn38ql-pilot-drone-as-mundur-setelah-bom-anak-kecil).
Negara-negara Produsen Drone
Lembaga Human
Right Watch, mengungkapkan, Pentagon telah menghabiskan sekitar 6 miliar dolar
AS per tahun untuk penelitian dan pengembangan drone. Inggris juga membuat drone
baru yang disebut Tarani yang bisa terbang mandiri dan membela diri terhadap
pesawat musuh. Seperti model AS, pesawat tersebut tidak bersenjata tetapi
dirancang untuk membawa rudal (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional).
Israel bahkan merupakan produsen drone yang telah mengekspor UAV ini ke lebih
dari 49 negara. Nilai ekspornya mencapai 400 juta dolar AS setahun.
Berdasarkan
laporan kantor berita Ynet, Ahad
(19/5/13) seperti dilansir PressTV, 80
persen drone buatan Israel, diekspor. Besarnya kontribusi eskpor drone bagi
pendapatan Israel, membuat industri pesawat di negeri zionis ini kemungkinan
akan tergantikan oleh drone. Israel meningkatkan investasi pada industri drone
sejak 1982 ketika rezim menggunakan pesawat tersebut pada perang Lebanon (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/19/mn1axh-produk-pesawat-tanpa-awak-buatan-israel-dipakai-oleh-49-negara).
Melanggar Hukum Internasional
Saat
berkampanye keduakalinya sebagai presiden, Obama berjanji memperbaiki pendekatan Gedung
Putih dalam perang melawan teroris. Alih-alih menepati, November lalu, Obama malah menyatakan rencananya meluncurkan drone
warfare rulebook. Aktivis hak asasi manusia (HAM) pun mengecam habis. Kelompok-kelompok
HAM menyebut pemerintahan Obama melanggar hukum internasional, dengan terus
melancarkan perang drone.
Jameel
Jaffer, direktur American Civil Liberties Union’s (ACLU) Center for Democracy,
mengatakan, yang sedang dila kukan pemerintah Obama bukan menuliskan kembali
buku panduan perang, tapi pengingkaran terhadap hukum internasional. “Dan ini
terjadi sejak Perang Dunia II,” ujar Jaffer. Jaffer mengaku frustrasi ketika
mendengar Obama akan membuat buku panduan perang agar pembunuhan dengan drone
bisa dibenarkan, bersamaan dengan beredarnya berita di New York Times ihwal “Kill list”. Kill List diduga berisi daftar nama tersangka teroris yang menjadi
sasaran pembunuhan dengan menggunakan drone (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/18/mif51n-perang-drone-pelanggaran-hukum-internasional)**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar