“Di negeri kita, fungsi trotoar sudah
sedemikian parah bahkan banyak ‘dilecehkan’ oleh pengendara motor hingga
pedagang kaki lima (PKL)”
Sejumlah aktivis peduli pejalan kaki dari
Road Safety Association Indonesia (RSAI) melakukan aksi simpatik dengan membentangkan
spanduk di depan pengendara di kawasan Lampu Merah Tugu Tani, Jakarta Pusat,
Senin (6/5). Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk di titik yang rawan
bagi pejalan kaki, seperti trotoar dan zebra cross.
detik.com |
Dalam
kesempatan berorasi, mereka mengajak seluruh pengguna jalan untuk
lebih peduli pada keselamatan sesama pengguna jalan terutama para pejalan kaki (pedestrian).
Para pejalan kaki juga dihimbau agar berperilaku aman dan selamat serta menyeberang
pada tempatnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/06/mmdqrd-pejalan-kaki-di-jakarta-butuh-perlindungan).
Mereka membentangkan spanduk saat lampu merah
menyala. Meski begitu, ada saja pengendara motor yang beringas dan nyaris
menabrak para aktivis ini. Aksi ini bagian dari program keselamatan jalan di
seluruh dunia, Global Road Safety Week (GRSW) yang pada 2013 bertajuk
Pejalan Kaki/Pedestrian (http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/06/15091389/Yuuk.Mari.Hormati.Pejalan.Kaki).
Apa
itu pedestrian? Secara harfiah, pedestrian berarti “person walking on the
street“ yang berarti orang yang berjalan di jalan alias pejalan kaki (http://eprints.undip.ac.id/33406/). Di
Indonesia istilah pedestrian kadang menjadi similar (atau salah kaprah) dengan trotoar yang artinya adalah
jalur untuk pejalan kaki—berbeda arti, namun keduanya saling berkaitan erat.
Di
negeri kita, fungsi trotoar sudah sedemikian parah bahkan banyak “dilecehkan”
oleh pengendara motor hingga pedagang kaki lima (PKL). Lebih parah lagi, di
beberapa ruas jalan di kota-kota besar di Indonesia, bahkan tak ada trotoar
sama sekali. Pada 2009, laman-laman Facebook
diramaikan tautan dari Youtube,
berupa video yang diambil oleh kamera ponsel Shantonio Siagian. Video tersebut memperlihatkan
seorang perempuan
berjilbab menghalau motor-motor yang naik ke trotoar di salah satu ruas trotoar
di kawasan jembatan Semanggi, Jakarta (lihat: http://www.youtube.com/watch?v=_Q84iAN0WVY).
Kekesalan pejalan kaki terhadap
pengendara motor bahkan direspon Anthony Lajar, dengan sengaja tidur terlentang
di trotoar sehingga para pengendara motor tidak bisa melewati trotoar di
sekitaran kawasan Kota Tua, Jakarta. Aksi Anthony itu kemudian dipotret oleh
Deddy, seorang konsultan yang juga pengguna KRL Commuter Serpong-Kebayoran
Lama. Sebagai masyarakat yang menggunakan transportasi masal seperti kereta dan
bus TransJ, Anthony dan Deddy mau tak mau harus akrab dengan aktivitas jalan
kaki, dan mendambakan trotoar yang nyaman (http://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-koalisi-pejalan-kaki-usir-motor-hingga-pkl-dari-trotoar.html).
Kemacetan
lalu lintas, dan sisi praktis dari kendaraan jenis sepeda motor, menjadi alasan
yang disadari atau mungkin juga agak tidak disadari oleh para pengendara motor,
untuk naik ke trotoar. Ajaibnya, para pengendara motor, seperti yang juga
terlihat di video tersebut, bukannya segera berkompromi ketika ditegur, tapi
malah sempat meladeni teguran itu, seolah tak mau mengakui bahwa dia salah.
Di
Indonesia, kondisi ini bukan “monopoli” Jakarta. Hampir setiap kota besarnya
memiliki masalah ini, khususnya kota yang pemerintahnya kurang memedulikan
pembangunan infrastruktur perkotaan. Salah satu kota yang keberpihakannya pada
pedestrian tergolong parah, adalah Bandung. Pada 2008, Guru Besar bidang ilmu
Arsitektur dan Rancang Kota (urban design)
pada Program Studi Arsitektur ITB (Institut Teknologi Bandung ), Mohammad
Danisworo, menilai, kondisi pedestrian di kota Bandung sudah parah. “Kalau
dihitung dalam skala 1-10, nilainya sembilan” ujar Danisworo.
Mantan
Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota DKI Jakarta ini menilai, pembagian ruang
untuk para pejalan kaki sudah tidak terasa lagi. “Kondisinya tidak fair,
pejalan kaki sering disisihkan,” ujarnya.
Kondisi ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah kota Bandung memberi
fasilitas bagi pejalan kaki. Danisworo mengusulkan, pemerintah dapat membangun
pedestrian yang ideal dengan cara membuat dulu proyek percontohan di salah satu
ruas trotoar. Cara ini, kata Danisworo, pernah dia lakukan saat membenahi
trotoar yang ada di kawasan Jalan Thamrin Jakarta. Wakil Ketua Persatuan Penyandang Cacat
Indonesia Kota Bandung, Jumono, juga mengeluhkan bahwa trotoar rusak dan sempit
terlihat di hampir semua jalan di Kota Bandung. Ini membuat banyak penyandang
cacat dan juga lansia, sulit mengaksesnya.
Waktu
itu, Yod Mintaraga yang menjabat Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung menyatakan,
bulan depan pihaknya akan mulai merumuskan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Bangunan. “Saya kira semua penilaian ini akan menjadi masukan dalam penyusunan
perda itu,” katanya. Kenyataannya, pada 2013 ini kondisi trotoar kota Bandung
malah makin parah. PKL semakin seenaknya berjualan di sembarang tempat, apalagi
sekedar sepeda motor yang naik ke trotoar yang sepi karena pejakan kaki juga
jadi segan sering-sering menggunakan trotoar (http://www.tempo.co/read/news/2008/04/27/058122071/Kondisi-Pedestrian-di-Bandung-Dinilai-Parah).
Padahal
kata Ridwan Kamil, arsitek tata kota yang berpengalaman menata lansekap kota di
Indonesia maupun mancanegara, ciri kota yang baik adalah yang
mampu membuat warganya sukarela keluar rumah untuk bermain. “Kalau warga sebuah
kota lebih suka di rumah ketimbang di jalanan untuk menikmati suasana kota,
jelas kota itu adalah kota sakit,” ujar dosen arsitektur di ITB ini. (http://jejakridwankamil.wordpress.com/2013/04/01/peran-ridwan-kamil-dlm-surabaya-menata-kota/). Boleh jadi apa yang dikatakan Ridwan benar.
Sekarang ini, banyak warga yang untuk menempuh jarak satu kilometer saja lebih memilih naik angkot
atau menggunakan sepeda motor (http://www.jurnalbdg.blogspot.com/2009/03/rame-rame-pake-mobil-yu.html).
Entah mencoba mengikuti saran Danisworo
atau tidak, pada 2008 pemkot Bandung menerapkan kawasan Jalan Braga untuk
proyek pedestrian yang akhirnya menjadi seperti proyek trial and error (cenderung tertebak error-nya). Penggatian jalan aspal dengan batu andesit pada waktu
itu bertujuan untuk menghidupkan Braga menjadi kawasan wisata kota. Anehnya,
meskipun mengusung konsep pedestrian, kenyataannya jalan itu sampai sekarang
masih terus digunakan sebagai lalu lintas kendaraan bermotor. Tak heran jika
batuan andesit menjadi cepat rusak.
Komisi C DPRD mengungkap data, pada 20120
lalu, belanja pemkot untuk terus-menerus memperbaiki batu andesit yang rusak di
Jalan Braga sudah memakan uang rakyat sampai Rp 100 juta. Komisi C DPRD Bandung
lalu seperti dengan mudah saja mengatakan bahwa proyek Jalan Braga sebagai
kawasan wisata kota, adalah proyek gagal dan pemborosan (http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/pedestrian-jalan-braga-proyek-gagal).
Seperti apa kota yang ramah pada
pedestrian? Tim dari Lonely Planet
mendata 10 kota surga bagi pejalan kaki. Ke-10 kota tersebut, seperti dilansir Shine adalah: Venesia
(Italia), Boston (Amerika Serikat/AS), San Francisco (AS), Barcelona (Spanyol),
Amsterdam (Belanda), Praha (Ceko), Roma (Italia), Paris (Prancis), New York
(AS), dan London (Inggris). (http://rebellis-amici.blogspot.com/2011/11/10-kota-ternyaman-bagi-pejalan-kaki.html). Bagaimana dengan Indonesia? Seorang
blogger menyebut Jakarta, Surabaya, dan Medan, sebagai kota dengan fasilitas
trotoar yang nyaman.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar