“Said Aqiel
Siroj: lantaran itu, silakan cap dia kafir”
Basuki
Tjahaja Purnama, atau biasa disapa Ahok, meminta kepada warga yang tinggal di
bantaran Waduk Pluit untuk tidak macam-macam. Basuki meminta kepada warga agar
betul-betul memahami bahwa tanah yang didiami saat ini merupakan milik
negara.
Waduk Pluit dan permukiman liar yg mengelilinginya |
“Mereka
itu yang baru datang dan bikin macam-macam, merasa orang Jakarta. Kalau mau
ngomong jujur, ngapain saya ribut sama mereka. Tetangga kok,” ujar Ahok di
Balaikota DKI Jakarta, seperti dilansir situs Beritajakarta, 17 Mei 2013. Revitalisasi Waduk Pluit kata Ahok,
semata-mata untuk kepentingan orang banyak (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/17/mmww4b-ahok-warga-waduk-pluit-jangan-macammacam).
Pernyataan
Ahok di atas meluncur ketika dia mendengar kabar dari stafnya bahwa warga
bantaran Waduk Pluit yang ogah direlokasi, berpatungan membelikannya tiket
pulang ke Belitung. Pembelian tiket untuk Ahok ini disampaikan warga Waduk
Pluit bernama Wawan Darmawan. "Ini tiket dari warga yang patungan, buat
Ahok untuk pulang ke Bangka Belitung. Kami tidak ingin dia ada di sini karena
sudah bilang warga komunis," kata Wawan sambil menunjukkan fotokopi tiket
pesawat di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhary.
Mendengar
itu, Ahok tertawa. "Suruh aku pulang kampung? Boleh dong! Aku sudah 7
bulan nggak pulang kampung," ujar Ahok, Kamis (16/5/2013). Ahok lalu
berkisah bahwa dia sudah berada di Jakarta sejak masih duduk di SMA pada 1984.
Dan seperti kebanyakan warga Jakarta, dia pun pendatang. Karena itu dia
mempertanyakan status warga bantaran waduk Pluit yang sama-sama pendatang, tapi
menyuruhnya pulang kampung (http://news.liputan6.com/read/588592/dibelikan-warga-waduk-pluit-tiket-pulang-kampung-ahok-boleh).
Ihwal
penyebutan “komunis” ini pada 28 April lalu, Seperti dilasir ROL, warga RW 17 Muara Baru, Kelurahan
Penjaringan, Jakarta Utara, melaporkan Ahok ke Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM). Warga tidak terima dengan pernyataan Ahok yang mengatai mereka
komunis karena tidak mau direlokasi. Kepada Komisioner Komnnas HAM, Siane
Indriani, warga memberikan bukti berupa video yang berisi pernyataan Ahok yang
menyebut warga komunis. "Itu kan namanya komunis," kata Ahok
dalam rekaman video tersebut (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/29/mm0g1b-sebut-warga-komunis-ahok-diadukan-ke-komnas-ham).
Sebaliknya,
tidak aneh jika terdengar Ahok dikatai “kafir”, meskipun Ahok sendiri tampak
santai saja. “Silakan cap saya ini sekuler, kafir nomor satu, paling bejat,”
begitu ujar Ahok saat mengikuti satu seminar di RS Husada Jakarta (http://news.liputan6.com/read/516624/kesampingkan-akhlak-pejabat-ahok-silakan-cap-saya-kafir-nomor-1).
Ketua Umum PB NU, KH Said Aqiel Siroj,
menulis, di negeri ini kata-kata dan tulisan bisa menjadi bumerang yang
bisa melahirkan “fatwa heboh”. Kata-kata yang terungkap—mencuplik filsuf Ludwig
Wittgeinstein—selalu berada di arena language
game (permainan bahasa). Ia bisa berwujud bahasa berdoa, perintah, makian,
atau lelucon.
Mengenai kata “kafir”, masih kata Said, “kafir
itu luka”. Banyak orang tak mau dikatai kafir, sekelam apa pun iman atau akhlak
seseorang. Di Arab Saudi, seorang ulama dengan tandasnya mengafirkan ulama lain
hanya karena ulama yang dikafirkan itu membolehkan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW. Di negeri kita pun nyaris sedang panen pengkafiran, lewat
ungkapan bid’ah dan syirik yang gampang sekali terlontar untuk menyebut
amalan-amalan sesat kelompok lain.
Said lalu
menceritakan, ada ungkapan yang menggelitik dari filsuf Muslim asal Pakistan,
Muhammad Iqbal. Kafir yang aktif kata filsuf tersebut, lebih baik dari pada
Muslim yang hanya suka tidur. Dalam ungkapannya itu, istilah “kafir” menjadi
“bermartabat”, tanpa terpaku semata secara biner dan hitam-putih.
Secara harfiah kata
Said, kafir itu bermakna “sesuatu yang tertutup”. Maka tak berlebihan
jika orang yang mengaku beragama, tetapi tidak bermoral, tidak tanggap,
tidak peduli, dan tidak disinari niat tulus mengabdi demi kemashlahatan
masyarakat luas, dianggap telah “tertutup” kediriannya. “Dan, lantaran itu,
silakan cap dia ‘kafir’,” demikian Said (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/04/24/mlrewi-sentilan-ahok-sentilun-kita).
Konflik dengan
warga di kawasan Waduk Pluit mulai mengemuka ketika Pemprov DKI, sehabis banjir
besar Januari 2013 lalu, berniat melakukan pengerukan terhadap waduk tersebut,
disertai rencana relokasi penghuni liar di sekitarnya. Namun warga menolak
digusur dan melakukan unjuk rasa. Untuk meredam gejolak, Walikota DI Jakarta, Joko
Widodo (Jokowi) mengaku sudah memiliki jurus.
"Sudah
ketemu saya (dengan warga), dan kita terus komunikasikan. Kita kejar-kejaran
dengan banjir. Waduk pluit itu adalah cara utama mengatasi banjir
Jakarta," ujar Jokowi, 24 April lalu. Dia menjelaskan, sikap tegas
tersebut harus diterapkan kepada warga untuk mempercepat mengatasi banjir.
Dikatakan Jokowi, dari luas total Waduk Pluit 80 hektare, tersisa 60 hektare. Kedalamannya hanya 2 meter,
padahal seharusnya 10 meter (http://news.liputan6.com/read/569567/waduk-pluit-jurus-utama-jokowi-atasi-banjir-jakarta).
Midun,
perwakilan warga bantaran Waduk Pluit, mengatakan, mereka menolak direlokasi
karena pembongkaran rumah yang akan dilakukan oleh aparat tidak memiliki surat
resmi. Aparat, kata dia, justru melakukan intimidasi berupa ancaman agar warga
mau dipindah. Ia menilai, pemerintah harusnya mengedepankan tindakan yang
aspiratif ketika hendak melakukan relokasi. "Kami hanya ingin hidup
tenang, kami bukan komunis," katanya menegaskan, Senin (29/4). Menurut
Midun, tanah yang ditempati warga memang milik pemerintah, namun bukan berarti
pemerintah bisa melakukan penggusuran seenaknya, karena warga telah tinggal di
lokasi itu selama lebih dari 20 tahun (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/29/mm0g1b-sebut-warga-komunis-ahok-diadukan-ke-komnas-ham).
Pernyataan Midun
soal “penggusuran seenaknya” ini, tentu saja ditolak Ahok. Faktanya, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi dan Ahok ini, telah
menyediakan rusun gratis, lengkap dengan isinya (full furnished). Jumlah yang disediakan akan mencapai 1200 unit,
khusus untuk warga yang tinggal di pemukiman sekitar Waduk Pluit. Menurutnya, rusun akan dilengkapi kulkas, sembako, hingga celana
dalam. “Warga tinggal bawa badan saja," ujar Ahok. Selain itu, Pemprov
akan memberikan fasilitas ambulans, sekolah, dan balai kesehatan masyarakat, hingga
sambungan listrik.
Dia mengatakan,
berdasarkan SK, lahan seluas 80 hektare di Waduk Pluit merupakan tanah milik
Pemprov. Namun di atasnya kini berdiri 15.000 unit rumah liar dengan jarak
hingga 1,7 kilometer sampai laut (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/01/21/mgyy87-ahok-siapkan-kulkas-sampai-celana-dalam-untuk-rusun-warga-waduk-pluit).
Untuk para penghuni rumah liar ini, Pemprov akan menyediakan rusun Marunda,
Pulogebang, dan Pegadungan. Biaya membangun satu rumah tersebut antara Rp
3-5 juta per unit dengan dua
kamar. Dengan rencana ini, pihaknya berharap upaya mengatasi banjir di
Jakarta akan mulai berjalan, selain melalui sudetan Ciliwung ( http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/01/21/mgyxna-ahok-siapkan-1200-rusun-untuk-warga-waduk-pluit).
Bupati Belitung
Timur ini lalu sempat mengancam akan meminta bantuan tentara jika warga yang
memadati area waduk hampir seluas 20 hektare ini membandel untuk direlokasi ke
rusun. Waduk Pluit kata Ahok, merupakan objek vital negara yang dirancang
Belanda untuk mengendalikan banjir hingga Monas dan Istana. Namun karena warga
memadatinya, peran waduk dalam menangkap air hujan menjadi tidak optimal (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/01/23/mh2tha-ahok-bakal-suruh-tentara-untuk-relokasi-penghuni-waduk-pluit).
Namun alih-alih
mau direlokasi ke rusun, warga malah minta ganti rugi lahan. Ahok pun mempertanyakan landasan hukumnya,
karena mereka membangun rumah di tanah negara. Logikanya kata Ahok, ketika
tanah tersebut akan dipergunakan oleh pemiliknya, dalam hal ini negara, tak ada
kewajiban ganti rugi oleh si pemilik tanah. “Kalau mereka meminta ganti rugi,
semua orang nantinya akan membangun rumah seenaknya,” seru Ahok (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/24/mlr1d9-ahok-ganti-rugi-waduk-pluit-tak-ada-dasar-hukumnya).
Hiruk-pikuk
upaya relokasi warga ini telah membuat Komnas HAM berencana mengunjungi
permukiman liar warga Waduk Pluit. Sebelumnya, Komnas HAM telah memanggil Jokowi terkait isu intimidasi
terhadap warga, sehubungan adanya pengerahan anggota Brimob di sana.
"Kalau ada sekelompok orang menduduki tanah orang, itu melanggar HAM
pemilik tanah itu atau tidak? Nah sekarang kami melanggar HAM dari mana? Coba
lihat di Marunda, sampai kulkas dan televisi kami berikan kepada penghuni
rusun," ujar Ahok (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/15/mmrcj8-begini-cara-ahok-tuntut-keadilan-komnas-ham).
Permasalahan
pemukiman di Waduk Pluit ini sempat menarik perhatian Menteri Lingkungan Hidup
Cekoslowakia, Thomas Challupa. "Dulu negara saya juga pernah mengalami hal
serupa. Ini semua tentang kepatuhan terhadap peraturan," kata dia
usai melakukan pertemuan dengan Ahok di Balai Kota, Rabu (15/5/13).
Dikatakannya, jika warga taat pada peraturan, tentu mereka tak akan menggunakan
tanah negara sebagai tempat tinggal. Namun Thomas heran, jika permukiman di
bantara waduk Pluit illegal, bagaimana mungkin mereka bisa dapat listrik?"
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/15/mmufya-ini-kata-menteri-ceko-soal-waduk-pluit).
Ini Indonesia Pak Menteri, belum tahu ya?**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar