"Gelombang kecurigaan dan tuduhan telah dimulai ketika
seorang mahasiswa Saudi yang
turut cedera oleh ledakan bom Boston, diberi label tersangka oleh New
York Post"
Minoritas muslim di dunia,
khususnya di Amerika Serikat (AS), kecewa begitu mengetahui bahwa pelaku
peledakan bom di Boston 15 April lalu adalah muslim. Pasalnya, mereka baru saja
mulai bangit dari tekanan islamophobia akibat peristiwa peledakan menara WTC di
New York pada 11 September 2001 (9/11). Atas situasi yang kembali menempatkan posisi muslim dalam
situasi sulit ini, tiga remaja muslim AS misalnya, mencoba mengajak masyarakat
AS untuk lebih mengenal Islam dan Muslim.
Demi itu, ketiga remaja yang terdiri dari
Adam Saleh, Sheikh Abdullah Akbar, dan Ghuman, membuat video yang mereka unggah
di Youtube. Ketiga remaja yang menyebut
diri mereka TrueStoryASA ini, berharap agar setiap orang yang melihat video
mereka, baik itu Muslim maupun non-Muslim untuk saling berjabat tangan, berbicara,
dan mengambil gambar (http://www.republika.co.id/berita/video/berita/13/05/01/mm3os6-aksi-damai-tiga-remaja-muslim-amerika).
Dalam video itu, tampak ketiga remaja ini
berdiri di pedestrian New York dengan membawa poster bertuliskan “meet a muslim
person”. Dalan video yang mereka unggah itu sebagian besar warga bereaksi
positif. Namun ada saja warga yang berkomentar negatif (lihat: http://www.youtube.com/watch?v=Z4U1dWtmHBM).
Seperti diketahui, Senin
(15/4) petang waktu setempat, dua bom meledak di tengah pertandingan lari
maraton di Boston, AS. Bom meledak sesaat sebelum peserta mencapai garis finis.
Ribuan penonton pun serta merta berhamburan. Aksi pengeboman ini menewaskan
tiga orang dan mencederai lebih dari 144 orang. Saat ini, AS merupakan rumah
bagi 2,45 juta Muslim, atau sekitar 0,8 persen dari total penduduk.
Ketika FBI sibuk mengidentifikasi dua tersangka pelaku bom Boston sebagai Tamerlan Tsarnaev (26) dan Dzokhar Tsarnaev (19),
yang
adalah Muslim Chechnya, komunitas Muslim AS bersiap untuk serangan sentimen anti-Islam yang telah
berlangsung sejak peristiwa “9/11”. Bahkan,
gelombang kecurigaan dan tuduhan telah dimulai ketika
seorang mahasiswa Saudi yang
turut cedera oleh ledakan bom Boston, diberi label tersangka oleh New
York Post. Di media sosial Twitter,
hashtag #Muslim menjadi trending topic, sebagai reaksi atas tweet kontributor Fox News, Erik
Rush, yang
menjawab komentar tweep lainnya
dengan menulis, "Ya, mereka jahat.
Mari kita bunuh mereka semua."
Komite
Anti-Diskriminasi Arab Amerika (ADC), mengeluarkan pernyataan keprihatinan mendalam atas berbagai
laporan ancaman terhadap Arab dan Muslim AS (http://news.nationalgeographic.com/news/2013/13/130426-boston-marathon-bombing-racism-hate-anti-arab-muslim-tamerlan-dzokhar-tsarnaev/). Beberapa jam setelah ledakan misalnya, seorang pria Bangladesh mengatakan kepada polisi ia diteriaki "Arab" dan dipukuli di New York. Seorang wanita Muslim berjilbab di sebuah kota dekat Boston mengatakan, ia dipukul di bagian bahu dan disebut teroris. Ketika
masyarakat mengetahui bahwa FBI mengejar dua pria Muslim
keturunan Chechnya, Muslim AS takut yang terburuk akan terjadi.
Pemimpin hak-hak sipil Muslim mengatakan, reaksi anti-Islam (sebenarnya) telah lebih diredam saat ini dibanding setelah peristiwa "9/11", yang telah memicu ledakan vandalisme, pelecehan dan kekerasan. Ibrahim Hooper dari Dewan Hubungan Amerika-Islam, yang memonitor bias dan kejahatan kebencian terhadap umat Islam, mengatakan, organisasinya telah melihat tidak ada tren naik dalam laporan pelecehan, serangan, atau kerusakan masjid sejak insiden Boston. Namun mereka mencatat "paduan suara" yang meluas di AS dalam hal generalisasi kesalahan terhadap umat Islam (http://abcnews.go.com/US/wireStory/muslims-backlash-boston-bombing-19052518).
Raed Jarrar, direktur komunikasi ADC, berharap, kekerasan fisik terhadap Arab dan Muslim akan mereda, meskipun pesimistik. Terlebih ketika mantan anggota Kongres dari Partai Republik asal Illinois, Joe Walsh, pada 23 April, mengelurakan pernyataan provokatif, "Musuh kita… pemuda Muslim."
Pemimpin hak-hak sipil Muslim mengatakan, reaksi anti-Islam (sebenarnya) telah lebih diredam saat ini dibanding setelah peristiwa "9/11", yang telah memicu ledakan vandalisme, pelecehan dan kekerasan. Ibrahim Hooper dari Dewan Hubungan Amerika-Islam, yang memonitor bias dan kejahatan kebencian terhadap umat Islam, mengatakan, organisasinya telah melihat tidak ada tren naik dalam laporan pelecehan, serangan, atau kerusakan masjid sejak insiden Boston. Namun mereka mencatat "paduan suara" yang meluas di AS dalam hal generalisasi kesalahan terhadap umat Islam (http://abcnews.go.com/US/wireStory/muslims-backlash-boston-bombing-19052518).
Raed Jarrar, direktur komunikasi ADC, berharap, kekerasan fisik terhadap Arab dan Muslim akan mereda, meskipun pesimistik. Terlebih ketika mantan anggota Kongres dari Partai Republik asal Illinois, Joe Walsh, pada 23 April, mengelurakan pernyataan provokatif, "Musuh kita… pemuda Muslim."
Jarrar
mengungkapkan, ada kecenderungan tindakan diskriminasi, khususnya terhadap
Arab-Amerika, memburuk setiap tahun. FBI
melansir, jumlah tertinggi
kejahatan kebencian anti-Islam terjadi pada 2001 sebagai reaksi atas tragedi “9/11”. Tahun
ini,
ada 481 insiden yang dilaporkan,
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 28 insiden. Pada 2002, jumlah insiden turun menjadi 155. Penurunan
ini disebabkan adanya pernyataan Mark
Potok, seorang ahli ekstremisme di Southern Poverty Law Center, yang
mengamini pidato Presiden George Bush yang mengatakan bahwa
Arab dan Muslim bukanlah musuh AS seperti halnya Alqaeda.
Meskipun tokoh masyarakat dapat memberi
pengaruh baik, kata Potok, namun dia menunjukkan
bahwa media sosial telah
menjadi kekuatan buruk, yang memungkinkan pengguna Internet yang
jumlahnya jutaan orang, mengatakan
hal-hal buruk. Itu kata
Potok, membuat orang
lebih
mudah berpartisipasi dalam “Islam bashing”. (http://news.nationalgeographic.com/news/2013/13/130426-boston-marathon-bombing-racism-hate-anti-arab-muslim-tamerlan-dzokhar-tsarnaev/).
Tak
dimungkiri, tragedi bom Boston telah memberikan tekanan psikologis terhadap
Muslim AS. “Kami menemukan banyak jamaah yang merasa tertekan. Untuk itu, kami
datang ke masjid menenangkan diri," ujar Imam Islamic Center Boston,
William Suhaib Webb, seperti dikutip Boston
Globe, Ahad (28/4). (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/04/28/mlyefz-tertekan-karena-bom-boston-muslim-as-gelar-pengajian).
Sebelum
pelaku pemboman Boston diketahui sebagai muslim, komunitas Muslim AS terus berdoa dan
berharap pelakunya bukan muslim. Mereka sempat lega, karena berdasarkan
foto yang dirilis FBI (biro penyelidik federal), pelakunya diketahui berkulit
putih. Namun ketika akhirnya tersiar kabar bahwa pelaku pemboman berasal dari muslim Chechnya,
harapan mereka pupus. Perjuangan komunitas muslim AS untuk menepis anggapan dan
stigma negatif terhadap mereka kembali ke titik nol.
Ketua
Nahdatul Ulama (NU) di Amerika Utara, Shalahudin Kafrawi, mengatakan, pandangan
publik AS terhadap Islam setelah peristiwa "9/11" berlalu, sebenarnya mulai ada perubahan.
"Ini bisa terlihat ketika publik dan pejabat AS sangat berhati-hati sekali
dan tidak mudah mengasumsikan dalang pengeboman," kata
pria yang telah bermukim di AS sejak 1998 ini. Hal ini kata Shalahudin, sempat membuat lega dan
senang teman-temannya sesama akademisi yang berasal dari komunitas muslim (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/407530-muslim-as-kecewa-dalang-bom-boston-dari-komunitas-islam).
Mantan
Senator asal Missouri, Christopher S.“Kit” Bond, juga mengkhawatirkan pandangan rakyat AS terhadap Islam kembali memburuk. Padahal kata Bond, masyarakat AS sudah mulai menerima
nilai-nilai Islam moderat, tidak seperti seusai kejadian terorisme "9/11". “Saya takut ini akan melahirkan kembali kecurigaan terhadap Muslim, padahal
ini adalah tindakan orang yang mengatasnamakan Islam untuk keyakinan mereka
sendiri,” kata Bond di kantor PBNU Jakarta, 24 April lalu.
Bond berada di Jakarta untuk menerima
penghargaan dari NU atas upayanya mempromosikan nilai-nilai Islam moderat di AS.
Bond dikenal sebagai pakar Asia Tenggara. Kedekatan dan kekerapannya berkunjung
ke negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara membuatnya dijuluki Senator dari
ASEAN. Bersama dengan pemenang hadiah Pulitzer, Lewis Simons, Bond pernah menulis
buku “The Next Front: Southeast
Asia and the Road to Global Peace with Islam”. (http://www.tempo.co/read/news/2013/04/23/116475396/Kekhawatiran-Bekas-Senator-AS-Pasca-Bom-Boston).
Menanggapi insiden ini, Rabbi Marc Schneier, pemimpin umat Yahudi di AS, juga melihat
adanya kecenderungan berbahaya untuk menyalahkan komunitas Muslim AS secara keseluruhan atas
perbuatan keji segelintir Muslim. Salah satu indikasinya
kata Schneier, Anggota Kongres AS, Peter King, telah kembali membuat generalisasi yang
mencap semua Muslim
AS sebagai radikal. "Ancaman teroris berasal dari komunitas
Muslim,
seperti halnya
Mafia datang dari
masyarakat Italia,” komentar King, lima hari setelah insiden bom
terjadi.
Schneier adalah presiden The Foundation
for Ethnic Understanding, AS. Dia juga co-authoring buku berjudul “Sons of Abraham” yang dibuatnya bersama dengan Shamsi
Ali, Imam Islamic Center New York asal Indonesia (http://www.huffingtonpost.com/rabbi-marc-schneier/boston-bombers-do-not-represent-american-muslims_b_3139374.html).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar