Perubahan iklim telah membuat penyakit-penyakit
tropis berdatangan ke negara-negara subtropis seperti ke Eropa. The Chartered Institute of
Environmental Health (CIEH)
mendata, di Inggris kini banyak insiden penyakit-penyalit tropis, seperti
malaria, demam berdarah, hingga Krimea-Kongo.
Habitat nyamuk berkembang di Eropa |
"Perubahan iklim menyebabkan
musim panas dan basah menjadi tak teratur sehingga menyediakan tempat
berkembang biak sempurna bagi sebagian hama penyakit," ujar Direktur CIEH,
Julie Barrat, seperti dilansir the Guardian,
Senin (6/5). Peningkatan risiko banjir di Inggris
akibat perubahan iklim ini telah menyebabkan habitat nyamuk semakin berkembang.
Health Protection Agency di
Inggris memprediksi, penyebaran kutu dan nyamuk di Inggris akan meningkat
hingga 2080. Sementara itu, kehadiran nyamuk dengue sudah terdeteksi di Prancis
dan Kroasia pada 2010. Tahun 2011, penyakit malaria juga dilaporkan sudah
melanda Yunani. Pada 30 Agustus 2012, Inggris mendata 115 kasus manusia
terinfeksi virus nyamuk West Nile di negara Uni Eropa (UE) seperti Yunani,
Italia, dan Rumania.
Berikutnya ada 224 kasus di Inggris dan
Irlandia. Di Inggris, frekuensi penyakit-penyakit “eksotis” ini meningkat
drastis. Pada 2001 hanya ditemukan 200 kasus. Sepuluh tahun kemudian menjadi
959 kasus. Angka sebenarnya bahkan jauh lebih tinggi. Untuk memberantas
penyakit ini, CIEH menyerukan pengambil kebijakan di UE agar melebarkan cakrawala
berpikirnya dan lebih perduli pada lingkungan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/06/mmcp6z-perubahan-iklim-bawa-malaria-ke-inggris).
Berdasarkan Data
Organisasi Kesehatan dunia (WHO) sepanjang tahun 1976-2008, sebanyak 30
penyakit baru muncul akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Pada 2008,
Amanda Katil Niode saat menjabat Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, menyatakan
bahwa yang paling jelas kelihatan adalah penyakit demam berdarah, kolera,
diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan. (http://www.antaranews.com/view/?i=1226681064&c=WBM&s).
Meskipun kasus penyakit-penyakit tropis
mulai ditemukan tidak pada tempat biasanya, namun tetap saja negara di kawasan
tropis paling rawan terkena dampaknya. Ahli kesehatan masyarakat dari
Universitas Indonesia, I Made Jaya, mengatakan, pemanasan global merupakan
akibat dari rangkaian fenomena yang saling kait antara pertambahan penduduk,
peningkatan permintaan sumber daya alam, industrialisasi, konsumsi BBM, emisi
karbon, peningkatan suhu, mencairnya es, makin tingginya uap air, dan perubahan
arah angin muson.
Dijelaskannya, dengan pemanasan global,
amplitudo suhu makin besar. Di siang hari, suhu dapat lebih panas dan sekaligus
lebih dingin di malam hari, tergantung daerahnya. Kondisi itu saja menyebabkan
daya tahan tubuh rawan menurun sehingga manusia mudah terjangkit penyakit.
Sementara agen pembawa penyakit pun menjadi gampang bermutasi. Hal ini,
misalnya, terlihat dengan kemunculan kasus flu burung yang kini bahkan
memunculkan virus flu brurung jenis baru di Cina yang lebih berbahaya, yakni
H7N9. Virus corona juga bermutasi sehingga menimbulkan kasus penyakit infeksi
saluran napas akut (SARS) yang lebih parah di Arab Saudi.
”Dulu, cacar air biasanya pada September
dan Oktober, namun kini sepanjang tahun terdapat kasus itu. Masuk musim hujan,
pertumbuhan jamur dan virus memang jadi makin mudah,” ujar Made. Banyaknya
kawasan di dunia yang menghangat, menghantarkan parasit yang membawa penyakit,
misalnya nyamuk kini menyebar ke daerah baru yang tak siap dengan kedatangan
pembawa penyakit itu (http://lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2009/09/24/07461388/Pemanasan.Global.Timbulkan.Bencana--diperbarui).
Laporan kajian pertama (first assessment
report/FAR) yang diluncurkan Inter-governmental Panel for Climate Change (IPCC)
tahun 2007 menyimpulkan adanya dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya terhadap manusia dapat
termanifestasi dalam bentuk: stress akibat perubahan variabel iklim, kelainan
panas, perubahan respon kekebalan, dan katarak.
Dampak tidak langsungnya berupa
bertambahnya penyakit yang dibawa oleh nyamuk. Penyebabnya karena adanya perubahan
praktik pertanian, bertambahnya kejadian kekurangan gizi yang menyebabkan
bertambahnya frekuensi tuberculosis (TBC), campak dan pes, bertambahnya
penyakit yang dibawa oleh vektor yang disebabkan kondisi sanitasi yang buruk, dan betambahnya penyakit yang dibawa oleh air
yang disebabkan bertambahnya frekuensi dan magnitude banjir dan kekeringan
(KLH, 1994).
Laporan yang sama juga memprediksi
kenaikan angka kejadian malaria, DBD dan diare di masa mendatang. Dari tahun
1989 hingga 2070, kejadian malaria akan meningkat sebanyak 18% dan DBD akan
bertambah 4 kali lipat. Laporan WHO (2002) menyimpulkan bahwa perubahan iklim
menyebabkan meningkatnya 2,4% kasus diare dan 6% kasus malaria di dunia pada
tahun 2000.
Kejadian El-Nino tahun 1997-1998 dapat
dijadikan ukuran bagaimana kira-kira dampak bumi yang semakin panas terhadap
kesehatan masyarakat. Pada rentang waktu dua tahun tersebut, El Nino
dihubungkan dengan meningkatnya kejadian malaria dan demam berdarah dengue
(DBD). Untuk pertama kalinya, malaria telah menyebar ke daerah tinggi Irian
Jaya dengan ketinggian 2103 meter pada tahun 1997. Pada tahun 2004 para
peneliti menyimpulkan, perilaku baru dari virus yang menyebabkan dengue telah
muncul. Saat itu angka kejadian DBD dilaporkan meningkat dan menyebar dengan
cepat dan memakan korban lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (http://iklimkarbon.com/2010/05/04/dampak-perubahan-iklim-terhadap-kesehatan-bertambahnya-penyakit-yang-disebabkan-air-dan-vektor/).
Sejumlah penelitian dilansir berbagai
lembaga berkaitan dengan perubahan iklim. Misalnya saja Erin Lipp dan Jason
Westrich dari Universitas Georgia menemukan bahwa debu gurun Maroko menyebabkan
bakteri berbahaya menjadi lebih berkembang di laut. Hal ini dikaitkan dengan perubahan
iklim yang telah membuat satu sisi dunia menjadi lebih lembab, namun sisi lain yang
kering semakin kering. Debu-debu menjadi lebih cepat terbawa angin dan biasanya
berakhir di lautan, dan memengaruhi hasil bumi dari laut.
Dalam penelitiannya desebutkan, debu gurun
Maroko dapat mempercepat perkembangbiakan Vibrio, sejenis bakteri laut. Uji
coba dilakukan dengan memasukkan debu dari Maroko ke air laut di Florida.
Hasilnya, pertumbuhan Vibrio meningkat sebanyak 10-1000 kali lipat. Ilmuwan
menemukan bahwa zat besi yang terkandung di dalam debu-debu itulah yang
mengakibatkan perkembangbiakan bakteri.
Beberapa ilmuwan yang dibiayai The Ocean
and Human Health Initiative dari The National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) menemukan, ganggang merah yang menyebabkan zona mati di
laut berkembang pesat seiring pemanasan global, khususnya di utara Amerika.
Stephanie Moore dari NOAA menyebutkan, ganggang Alexandrium catenella yang memproduksi racun,
dapat mengontaminasi makanan yang berasal dari laut dan mengakibatkan
kelumpuhan—bahkan kematian, meskipun langka—pada manusia. Jika sekarang musim
mekar ganggang tersebut hanya dua bulan, tetapi pada tahun yang akan datang
kata Moore, akan bertambah menjadi tiga bulan (http://health.kompas.com/read/2011/03/03/09460311/Tiga.Ancaman.Penyakit.akibat.Perubahan.Iklim).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar