"Di negara-negara mayoritas berbahasa Inggris, kata f*ck berada di posisi pertama dalam
penggunaan kata-kata tak senonoh ini, diikuti oleh kata sh*t dan b*tch"
Facebook, Selasa
(28/5/13), mengumunkan kebijakan terbarunya menyangkut konten "merusak dan
mengganggu", yakni dengan melarang laman-laman tanpa nama alias anonim.
Kebijakan ini diberlakukan setelah mendapat tekanan dari satu kelompok yang mengeluhkan
berseliweran-bebasnya lelucon-lelucon atau komentar-komentar ofensif mengenai
pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga, selain juga ucapan-ucapan bernada
kebencian lainnya di laman-laman Facebook.
ROL |
"Laman-laman
Facebook (selama ini) dibolehkan anonim. Tapi. karena humor-humor kasar
terhadap perempuan atau kelompok apa saja, kini kami tidak lagi membolehkan
laman-laman itu anonim," kata Chief Operating Officer Facebook, Sheryl
Sandberg, seperti dikutip AFP, Kamis
(30/5/13). Perubahan kebijakan Facebook ini ditempuh setelah ada keluhan dari
kelompok aktivis Woman, Action and The Media yang menuduh Facebook telah ikut
mempromosikan konten kekerasan terhadap wanita.
Sementara Wakil
Presiden Urusan Kebijakan Publik Global Facebook, Marne Levine, mengatakan,
Facebook akan segera menuntaskan kajian dan tuntutan menyangkut ucapan bernada
kebencian dari pandangan para ahli hukum, organisasi pembela hak perempuan dan dari
kelompok lainnya, yang berpengalaman dalam perkara-perkara diskriminasi.
"Pada
beberapa hari belakangan, jelas sudah bahwa sistem identifikasi dan penghapusan
kalimat bernada kebencian dari kami gagal bekerja seefektif yang kita inginkan,
khususnya dalam soal-soal kebencian berbasis gender," ujar Levine. Pada
beberapa kasus, konten tidak dicabut secepat yang kita inginkan. Dalam kasus
lainnya, konten yang seharusnya dicabut malah tidak dicabut, atau (hanya) dievaluasi
dengan menggunakan kriteria usang. “Kami harus berubah lebih baik dan kami akan
lakukan itu,” ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/13/05/30/mnlg1u-facebook-haramkan-anonim).
Kelompok-kelompok
aktivis wanita meminta Facebook untuk meningkatkan pelatihan untuk mengenali
dan menghapus konten tersebut jika mengandung kata-kata kasar atau ungkapan
kebencian. Mereka juga meminta pengguna Facebook menggunakan hashtag (#) agar
dapat memberhentikan iklan yang mengandung konten kasar. Petisi ini telah
didukung hampir 224.000 orang pada Selasa malam lalu. "Kami berpikir bahwa
hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan perhatian dari
Facebook," kata Jaclyn Friedman, Direktur eksekutif Women, Action and The
Media (http://www.tempo.co/read/news/2013/05/30/072484376/Facebook-Akan-Hapus-Pesan-Kebencian-Pada-Perempuan).
Kelompok feminis
tersebut awalnya menyorot iklan Nissan Motor Co. cabang Inggris yang mengandung
konten promosi bersifat menyerang (ofensif) dan menyinggung. Nissan pun menghentikan
iklannya di laman Facebook setelah kelompok Women, Action, & the Media
menyampaikan kritikannya. Layanan yang disediakan media sosial ini kini memang semakin
populer karena menyediakan ruang untuk menyampaikan komentar, foto, dan video.
Namun kebebasan
itu bisa menjadi bumerang jika konten yang ada di laman tersebut melanggar
etika sehingga berpotensi menghambat masuknya iklan. Sementara itu, Twitter Inc.
juga dikecam oleh The Simon Wiesenthal Center dalam sebuah laporannya pada
bulan ini. Laporan itu menyebutkan bahwa layanan microblogging yang disediakan situs jejaring sosial ini punya andil
dalam mendorong tumbuhnya kebencian dan teror di forum online.
Pihak Facebook pun
sebagaimana dikutip Bloomberg, Rabu
(29/5/13), menegaskan bahwa dalam beberapa hari ini system mereka akan
mengidentifikasi dan menghapus ungkapan kebencian yang dinilai tidak efektif. (http://www.solopos.com/2013/05/30/facebook-bakal-hapus-kata-kata-kasar-411287).
"Kami harus berbuat lebih baik dan kami akan melakukannya," ungkap
pernyataan Facebook seperti dilansir BBC.
Facebook
bermasalah dengan sejumlah konten. Pada awal Mei lalu, sebuah video yang menunjukkan
seorang pria dipenggal tidak dihapus karena tidak “dibaca” sebagai melanggar
kebijakan jaringan sosial. Setelah protes terbaru ini, pihak Facebook mengatakan
akan mengambil sejumlah langkah perubahan (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/internet/13/05/30/mnl9a3-facebook-janji-tinjau-konten-berbahaya).
Pada
2011, perusahaan monitoring media social, Reppler, menganalisis, ada 47 persen
pengguna Facebook yang menggunakan kata-kata kasar di wall akun
Facebooknya. Lontaran kata-kata yang kurang pantas ini seringkali semakin “tepromosikan”
karena terjadi saling sahut antar teman. Sebanyak 80 persen pemilik akun Facebook lainnya
kemudian mendapat kiriman setidaknya satu postingan kata-kata kotor
tersebut dari teman-temannya.
Seperti
dikutip dari ZdNet, Reppler
menyebutkan bahwa fasilitas wall di Facebook pun lebih dipilih untuk
melakukan kebiasaan kurang baik ini dibandingkan sekedar menulis pada kolom
komentar. Di negara-negara mayoritas berbahasa Inggris, kata “f*ck” berada di posisi pertama dalam
penggunaan kata-kata tak senonoh ini, diikuti oleh kata “sh*t” dan “b*tch”.
Reppler
mengungkapkan, kebiasaan para Facebooker
menggunakan kata-kata kasar di laman-laman yang dikunjunginya ini, ternyata dijadikan
faktor penting bagi perusahaan dalam merekrut calon-calon pegawainya. Mereka
ada yang mempertimbangkan perekrutan seseorang dengan mengamati apa yang
dituliskan sang calon pegawai di wall Facebook-nya.
Reppler menganalisis fenomena ini dengan melakukan riset terhadap lebih dari 30
ribu Facebooker (http://inet.detik.com/read/2011/05/25/161651/1646936/398/hampir-50-wall-facebook-berisi-kata-kata-kasar?id771108bcj).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar