“Pengeluaran
rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan susu formula selama dua tahun (sama
dengan ASI eksklusif), bisa menghabiskan Rp 25 juta lebih per satu anak”
Docosahexaenoic
Acid alias DHA dan laktoferin, kerap digadang-gadang di dalam iklan-iklan susu
formula. DHA dikatakan mampu mendongkrak tumbuh kembang otak dan retina anak. Sementara
laktoferin, zat yang sebenarnya hanya ada dalam air susu ibu (ASI),
diiming-iming bisa membentuk kekebalan bayi.
guidepointglobal.com |
Ketika susu-susu
formula ini dipromosikan dengan mendompleng bahan-bahan yang ada di dalam ASI, Utami
Rusli, dokter anak yang juga pegiat ASI, tentu saja menolak keras. Zat-zat yang
diconteknya, kata Utami, bisa saja sama atau bahkan lebih unggul. ''Tapi
kemampuannya untuk diserap usus bayi, nanti dulu,'' ujarnya. ASI, jelas Utami,
dilengkapi zat yang membuat DHA dan laktoferin terserap sempurna oleh usus
bayi. Sementara pada susu formula, tak ada satu zat pun yang mampu memaksa usus
bayi menyerap sempurna bahan tersebut.
DHA sebenarnya
sama saja dengan asam lemak Omega 3, serta Omega 6 dan Omega 9. DHA dan
saudaranya, eicosapentaenoic acid (EPA), merupakan asam lemak tak jenuh rantai
panjang. Berbeda dengan asam lemak non-esensial yang dapat diproduksi sendiri
oleh tubuh, asam lemak ini harus disuplai dari luar tubuh. Sumbernya bisa dari
ikan laut sebangsa sarden atau salmon (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/05/07/mmdmsh-jangan-mudah-dirayu-iklan-susu-formula-ini-alasannya).
Kandungan
Omega-3 pada ikan-ikan itu (termasuk juga pada makarel, udang, dan kerang)
memang dikaitkan dengan kesehatan otak. DHA/omega-3 merupakan salah satu lemak
yang membantu fungsi kognitif otak. Pada orang dewasa, fungsi kognitif akan
mempengaruhi kegiatan sehari-hari seperti bekerja, belanja mengemudi, dan
olahraga (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/11/12/04/lvnkol-konsumsi-ikan-salmon-biar-otak-tidak-lemot).
Ketika DHA—dan zat-zat
lainnya yang menyerupai yang ada pada ASI—ada pada susu formula, tentu karena
produsennya menambahkan ke dalamnya. Harapannya, susu formula akan menjadi
mirip ASI. Bahkan jika perlu, susu formula dibuat mengungguli ASI baik dalam
kandungannya maupun performanya. Namun kata Utami, tidak mungkin susu formula
akan sama persis dan sempurna seperti ASI. Penambahan zat besi misalnya, jika
usus bayi tidak sanggup menyerapnya, maka sisanya akan tertimbun dalam usus
bayi yang bisa mengundang bakteri.
Keresahan Utami
atas penyesatan informasi dalam iklan-iklan susu formula, memang beralasan.
Pasalnya kata dia, hampir semua iklan susu ditanggapi serius oleh konsumen.
Sehingga, proses yang terjadi kemudian bukan sekedar pengenalan produk tapi
pembodohan konsumen. Ia mencontohkan seorang karyawati yang mengeluhkan gajinya
tidak cukup untuk membeli susu kaleng untuk anaknya. ''Saat saya tanya ada apa
dengan ASI-nya, ia jawab ASI saja tidak cukup untuk membuat anak cerdas karena
tidak mengandung DHA,'' ujar Utami sambil geleng-geleng kepala (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/05/07/mmdmsh-jangan-mudah-dirayu-iklan-susu-formula-ini-alasannya).
Susu Formula “Eksklusif”
Senada, Inna
Banani dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mengatakan, sampai saat ini
memang masih banyak ibu muda yang sepertinya tidak puas jika hanya memberikan
ASI kepada bayinya. “Dalam pemahaman mereka, susu formula jauh lebih baik
daripada ASI karena adanya banyak tambahan nutrisi di dalamnya," ungkap
Inna. Terlebih lagi, susu formula bukan barang murah. AIMI sebut Inna, pernah
membandingkan pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan susu formula
selama dua tahun (sama dengan ASI eksklusif), per satu anak bisa menghabiskan
Rp 25 juta lebih. "Bandingkan dengan ASI, semuanya gratis dengan nutrisi
yang paling lengkap daripada semua susu formula merek apa pun," katanya (http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/14420071/Mengapa.Banyak.Ibu.Pilih.Susu.Formula.untuk.Bayi).
Lebih mengerikan
lagi, terlalu banyak mengonsumsi susu formula—terutama jika diberikan pada anak
sejak lahir—alih-alih mendongkrak tumbuh kembang otak, ternyata malah
berpotensi membuat otak bayi tidak berkembang. ''Risiko sistem jaringan otak
tidak terbangun, mencapai 20 persen,'' kata Penasihat Ikatan Bidan Indonesia
(IBI) DKI Jakarta, Sri Purwanti Hubertin.
Sri mengatakan,
taurin dan asam amino rantai panjang untuk proses kematangan otak banyak
terdapat di ASI dan hanya sedikit pada susu sapi. Protein whey yang mudah diserap
usus bayi dan digunakan 100% oleh tubuh bayi, ada pada ASI. Protein whey pada
ASI mencapai 65 persen, sedangkan pada susu formula maksimal hanya 20%, sisanya
protein casein. Protein whey diketahui mengandung enzim, hormon, antibodi,
faktor pertumbuhan, dan pembawa zat gizi.
Dalam satu
artikel Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) disebutkan, protein casein dalam
susu formula yang mencapai 80 persen, sulit dicerna usus bayi. Sisanya yang tak
tercerna akan dibuang melalui ginjal, karenanya ginjal bayi akan dipaksa
bekerja membuang casein. Ini kata Sri, menjadi salah satu pemicu banyak kasus
gagal ginjal pada anak. Saat ini kata dia, anak usia 14-15 tahun ada yang sudah
menderita gagal ginjal.
Risiko lain dari
konsumsi susu formula kata Sri, adalah mudahnya terjadi pengapuran pada
pembuluh darah. Di dalam ASI kata Sri, ada enzim penghancur lemak-lemak yang
tidak diperlukan tubuh. Pada susu formula, enzim penghancur tidak terbentuk
sehingga lemak mengendap di dalam tubuh yang menyebabkan pengapuran pada
pembuluh darah. “Saat ini banyak orang stroke muda. Salah satu penyebabnya
adalah pengapuran yang terjadi pada pembuluh darah,'' tutur dia (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/10/08/23/131365-susu-formula-berisiko-menyebabkan-otak-tak-berkembang).
Resep Dokter
Sesuai
ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), susu berlabel formula itu
sebenarnya susu yang harus dibeli dengan resep dokter, alias tidak bisa dijual
bebas. “Di Indonesia ada susu formula untuk bayi baru lahir sampai orang yang
mau meninggal, dan dijual bebas tanpa resep dokter. Kalau ada orang WHO ya
pasti terkejut,” kata Rizal Altway, dokter spesialis anak Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Sidoarjo (RSUD).
Ia
menjelaskan, sebenarnya setelah berusia 2 tahun, anak tidak membutuhkan susu.
Seluruh kecukupan kalori dan nutrisinya sudah bisa dipenuhi dari makanan biasa.
Kalau mau pun, lanjut dia, untuk anak usia 1-2 tahun cukup berikan 200
mililiter susu formula (sekitar 50 gram susu bubuk) pada jeda waktu antara
makan siang dan makan malam. Ini bisa diberikan setelah anak menghabiskan
kudapan sore, atau di antara waktu makan siang/malam dan mengudap.
Rizal
mengatakan, orang tua jangan menyerahkan tanggung jawab tumbuh-kembang
anak pada susu formula/sapi. “Perlakukan susu sapi sama derajatnya dengan
makanan biasa. Jangan mudah terprovokasi anjuran produsen susu agar anak minum
minimal dua gelas per hari (seperti anjuran dalam label kemasan),” ujarnya (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/204181--susu-formula-seharusnya-pakai-resep-dokter).
Inna Banani juga
mengatakan, susu formula sebenarnya adalah "obat" yang mengandung
bahan kimia yang harus diresepkan oleh dokter. Susu formula hanya diberikan
kepada bayi-bayi yang bermasalah karena tidak bisa minum ASI. Padahal dalam
kasus bayi prematur pun kata Inna, ASI terbukti bisa membantu bayi meningkatkan
bobot tubuh, status gizi, dan juga menutrisi tubuhnya dibandingkan susu formula
(http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/14420071/Mengapa.Banyak.Ibu.Pilih.Susu.Formula.untuk.Bayi).
Pada Oktober
2010 lalu, kementerian kesehatan pernah mengeluarkan pernyataan melarang
produsen susu formula beriklan di media massa. Ketua Pengurus Harian Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat itu, Sudaryatmo, mendukung larangan
tersebut untuk meluruskan mitos susu formula yang seolah lebih bagus daripada
ASI. "Alangkah baiknya jika larangan ini ditingkatkan menjadi
undang-undang untuk mempertegas pemberian ASI bagi bayi," ujar Sudaryatmo
(http://news.detik.com/read/2010/10/25/222034/1474740/10/).
Namun tampaknya harapan Sudaryatmo ini bagai menguap ke udara. Saat ini, iklan
susu formula tetap saja ramai.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar