"Husni Thamrin: Rp
2,5 juta tersebut hanya untuk biaya administrasi. Sehingga
besar kemungkinan butuh dana tambahan untuk mendatangkan auditor
dari LPPOM MUI"
Orang Indonesia terkenal gemar sekali dengan
yang namanya saus, apakah itu saus tomat terutama cabe. Bahkan ketika makan
makanan barat seperti steak atau pizza pun masih juga menanyakan saus. Auditor
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM-MUI), Pandji, mengatakan, produk saus dan sambal dari produsen besar
telah mendapat sertifikasi halal dari LPPOM MUI, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Sertifikat halal: mahal dan lama? |
Produk lain yang telah terdaftar dalam
Jurnal Halal, kata Pandji, juga telah terjamin aman dari segi halalnya. “Untuk
yang di luar itu, belum bisa dinyatakan aman,” kata Pandji. Menurutnya, sejauh
ini memang hanya produsen kelas menengah ke atas yang memiliki kesadaran dan
pengetahuan untuk menyertifikasi produk saus mereka. Ini disebabkan produsen
ini memiliki keinginan agar produknya laku di pasaran. Karena masyarakat lebih
memilih mengkonsumsi produk yang telah terjamin aman.
Dari segi higiniesnya pun perlu ada
sertifikasi juga. LPPOM MUI telah menderetkan sertifikasi Hazard Analysis &
Critical Control Points (HACCP) ini pada sebuah produk dengan sertifikasi
halal. Jika satu produk makanan memiliki sertifikat ini, maka produk ini
sudah termasuk halalan thayyiban,
artinya produk selain dijamin halal juga memakai bahan baku yang bagus,
kandungan bahan berkualitas, dan telah diperiksa dengan teliti (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/kuliner/13/05/07/mmfes7-halalkah-saus-dan-sambal-yang-kita-konsumsi).
Dengan
demikian, produk saus yang banyak digunakan pedagang kecil seperti mie bakso,
bisa dikatakan belum aman. Dalam satu tayangan televisi, saus curah yang banyak
digunakan pedagang kecil ini meskipun bertuliskan saus cabe, ternyata isinya
tidak murni cabe. Bahkan tayangan itu menunjukkan cabe yang digunakan merupakan
cabe yang sudah disortir karena busuk. Cabe ini lalu dicampur pepaya dan bahan
lainnya. Urusan halal memang lumayan rumit. Belum lagi banyak bahan aditif yang
ternyata juga tidak halal, mulai permen, jelly, cokelat, sampai roti yang
hangat mengepul (http://food.detik.com/read/2010/11/04/103351/1485362/294/live-chat-soal-makanan-halal).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, mengatakan, meskipun pencantuman halal merupakan hak konsumen, namun labelisasi halal untuk produk-produk Usaha Kecil Menengah (UKM), masih terkendala. Saat ini kata dia, mayoritas produk berlabel halal memang merupakan produksi perusahaan besar. Penyebabnya kata Sudaryatmo, pencantuman label halal masih bersifat sukarela, karena belum ada undang–undang yang mewajibkannya.
Dikutip
dari Bisnisjabar.com, Agus Hermawan,
salah satu pelaku UKM makanan olahan di Bandung mengatakan, saat ini konsumen lebih
pintar dan jeli memilih produk makanan, sehingga persaingan di tingkat produsen
khususnya UKM kian ketat. “Sertifikat halal membantu kami mendapatkan
kepercayaan konsumen,” jelas Agus. Namun pria yang memiliki usaha pembuatan
keripik ini mengatakan bahwa biaya sertifikasi halal Rp 1 juta, cukup
memberatkan. “Selain mahal, prosesnya juga lama,” keluh Agus. Sudaryatmo membenarkan
adanya keluhan para pelaku UKM itu. “Apalagi mereka juga harus menanggung biaya
transportasi (tiket pesawat) dan penginapan tim LPPOM MUI,” lanjutnya.
Seorang pengusaha kerupuk ikan di
Kabupaten Tanjung Bale Karimun, Kepulauan Riau, kepada Halalmui.org misalnya mengeluh, dia harus pergi ke Batam untuk
mendaftar ke LPPOM MUI Kepri, kemudian harus mendatangkan dua orang auditor
dari Batam ke Tanjung Bale Karimun untuk memeriksa produknya. Selain sulit dan
lama, cara ini juga memerlukan biaya yang sangat mahal. Tak heran jika selama
ini persepsi pelaku UKM mengenai proses sertifikasi halal adalah rumit dan
mahal.
Kepala Bidang Auditing LPPOM MUI pusat, Dr.
Ir. Hj. Mulyorini R. Hilwan, M.Sc. mengatakan, biaya sertifikasi halal lebih
murah daripada sertifikat ISO. LPPOM MUI menetapkan Rp 0 sampai Rp 2,5 juta untuk
sertifikat halal tingkat UKM. Jumlah tersebut tergantung beberapa variable seperti
jumlah dan kompleksitas produk. Biaya tersebut dibayar di muka, dan sudah
temasuk biaya sertifikat, biaya pendaftaran, dan honor tim audit. Pengurusan bisa
dilakukan di LPPOM MUI provinsi di 33 provinsi, tidak harus ke Jakarta, kecuali
untuk yang ingin mengekspor dan meng-upgrade produknya, harus ke pusat.
“Kalau ada UKM dari daerah, biaya
transportasi, penginapan, dan lain-lain ditanggung pengusaha yang
bersangkutan,” kata Mulyorini dengan alasan lembaganya tidak menerima dana dari
negara. UKM juga tidak harus datang ke LPPOM MUI pusat. Kecuali bagi yang ingin
mengekspor atau meng-upgrade
produknya, harus ke pusat.
Sementara itu kemudahan dirasakan Tri
Kismiati, pebisnis makanan olahan. Sebab kata Tri, usaha keripiknya berada di
bawah binaan dinas koperasi pemerintah kota Bogor. “Menjadi binaan dinas banyak
untungnya, selain kemudahan dalam berpromosi, juga gampang mengurus sertifikat
halal,” kata Tri (http://m.pesatnews.com/read/2013/03/20/23769/gampanggampang-susah-urus-label-halal).
Namun faktanya, Kepala Bidang
Perindustrian Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UMKM Pemkot
Pangkalpinang, Husni Thamrin, seolah membenarkan keluhan para UKM tersebut. Rp
2,5 juta tersebut kata dia, hanya untuk biaya administrasi. Sehingga
menurutnya, besar kemungkinan butuh dana tambahan untuk mendatangkan auditor
dari LPPOM MUI, dalam hal ini adalah wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Itulah
mengapa pihaknya pernah mengadakan program bantuan pembuatan sertifikat halal
untuk 10 pengusaha saja, dengan alasan dana yang terbatas (http://bangka.tribunnews.com/2013/04/25/urus-sertifikat-halal-butuh-rp-25-juta-lebih).
Pada Juni 2011, Ketua MUI, Amidhan,
mengatakan, MUI menjamin proses pembuatan sertifikat halal berlangsung cepat
dan murah. "Hanya butuh waktu dua minggu," ujarnya. Menurut Amidhan,
perusahaan cukup datang ke LPPOM MUI dan mengisi formulir. Lalu, pihak LPPOM
dan perusahaan menentukan jadwal pemeriksaan oleh LPPOM ke pabrik perusahaan
itu. Selanjutnya, produk pabrik dibawa ke laboratorium MUI untuk diperiksa. Hasil
pemeriksaan tersebut dilaporkan ke komisi fatwa MUI.
"Kalau produknya memenuhi standar halal,
dalam dua minggu sertifikat sudah keluar," ujar Amidhan. Sertifikat ini
berlaku selama dua tahun. Jika setelah masa berlakunya habis dan pemegang
sertifikat tidak memperpanjang, produknya dinilai tidak halal lagi. "Kita
tidak tahu bahan baru apa yang ditambahkan," kata Amidhan.
Biaya pengurusan sertifikat halal akan
berkisar Rp 1-5 juta. Bagi UKM yang keberatan, LPPOM MUI menerapkan subsidi
silang. Caranya, MUI bekerja sama dengan Kementerian Industri, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, pemerintah daerah, dan Kementerian Agama.
"Mereka yang membiayai. Bahkan ada yang digratiskan.” (http://www.tempo.co/read/news/2011/06/16/090341228/MUI-Jamin-Pengurusan-Sertifikasi-Halal-Cepat-dan-Murah).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar