Krisis Timur Tengah (Timteng) terkini yang semula
berawal di Mesir, telah merembet secara mengherankan hingga Suriah.
Bahkan Presiden Libya, Moamar Kadafi (alm), bagai menjadi tumbal bagi perjalanan
sejarah konflik dan drama umat manusia teranyar ini. Kini masyarakat dunia, khususnya
Islam, dibingungkan atas krisis di Suriah; tak tahu harus membela yang mana. Keduanya
sama-sama meneriakan Allahu Akbar saat menembakkan senjatanya.
Warga Suriah, bertahan di reruntuhan rumahnya |
Rezim Presiden Bashar al-Assad tampaknya
memang korup. Namun para pemberontak alias koalisi oposisi, diduga didukung
negara-negara Barat yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Kewalahan
dengan perlawanan para pemberontak, Kementerian Luar Negeri Suriah menyurati
PBB. Isinya berupa tuduhan bahwa di balik berlanjutnya aksi terror, ada bermacam
bentuk dukungan yang diberikan kepada kelompok bersenjata yang (mereka duga) berkaitan
dengan Alqaidah, dalam bentuk uang kontan, pelatihan, dan senjata.
Dalam dua surat yang ditujukan kepada
Presiden Dewan Keamanan (DK) dan Sekretaris Jenderal PBB, Kementerian itu
menyatakan, dukungan yang diberikan oleh “negara tertentu” ini merupakan pelanggaran
nyata negara tersebut terhadap peraturan internasional
dan resolusi PBB dalam hal memerangi terorisme.
Kementerian tersebut merujuk terutama
pada peristiwa pemboman mobil yang ditujukan kepada Perdana Menteri (PM) Wael
al-Halqi di dekat Ibn Rushd Park di Darah Al-Mazzeh, Damaskus, pada Senin
(29/4). Ledakan bom ini merenggut empat nyawa serta melukai 16 lainnya, tapi sang
PM sendiri selamat. Pemboman itu, kata Kementerian tersebut, mengakibatkan
kerusakan besar pada Gedung Kementerian Perhubungan, serta satu sekolah dan
taman kanak-kanak di daerah yang berpenduduk padat ini. Surat Kementerian itu
juga merujuk kepada pemboman yang terjadi di permukiman Marjeh, pusat sejarah
dan komersial di Damaskus, Ibu Kota Suriah, pada Selasa (30/4), yang menewaskan
13 warga sipil dan melukai lebih dari 70 orang (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/02/mm61fv-suriah-kecam-negara-yang-persenjatai-gerilyawan).
Krisis Suriah telah diprediksi sejumlah
pengamat sebagai rembetan dari krisis yang terjadi di Mesir pada 2011. Guru Besar
Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Dr Syafii Maarif, misalnya,
pernah memperkirakan aksi menuntut penggulingan Presiden Mesir ketika itu, Hosni
Mubarak, akan merembet ke sejumlah negara di Timteng, khususnya yang
mempunyai karakter pemerintahan mirip dengan Mesir.
Syafii Maarif mengatakan, pada Februari 2011, krisis Mesir sudah merembet ke Yaman dan
Yordania. Sementara Saudi Arabia lolos dengan alasan peran keluarga raja dan
para bangsawannya sangat dominan. "Sedangkan Turki tidak, karena sudah
berubah dan lebih modern," ujarnya (http://news.detik.com/read/2011/02/05/162051/1560781/10/syafii-maarif-krisis-mesir-akan-merembet-di-negara-timur-tengah-lainnya).
Krisis Suriah diawali dengan aksi unjuk rasa warganya yang semula berjalan damai. Belakangan, aksi itu berubah menjadi
bentrokan bersenjata yang telah merenggut banyak korban jiwa sejak awal 2011 (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/28/m6b58d-italia-cemas-krisis-suriah-merembet). Krisis ini diawali dari Mesir, kemudian merembet ke negara-negara
tetangganya. Selain ke Yaman dan Yordania, juga ke Bahrain, Tunisia, hingga Oman.
Ketika negara lain mereda, Suriah berlanjut menjadi perang saudara (http://buletininfo.com/?menu=news&id=5972).
Alotnya perang saudara di Suriah, karena dukungan senjata dari luar negeri nyata-nyata mengalir ke Suriah. Jika Kementerian
Luar Negeri Suriah menuduh ada “negara tertentu” yang mempersenjatai pemberontak,
maka Barat juga menuding pemerintah berkuasa Suriah mendapat dukungan senjata
dari Rusia dan Iran. Kekuatan dua blok dunia memang sudah runtuh, namun
bertransformasi dalam gaya berbeda.
Bahkan Amerika
Serikat (AS), yang pada Maret lalu masih "malu-malu" mendukung persenjataan ke Suriah, dan mengatakan hanya akan menawarkan bantuan pangan dan medis, pada Kamis (2/5) telah berubah pikiran dan bersiap mengirim senjata mematikan ke pihak oposisi. Pejabat Senior Pemerintah AS mengatakan, Presiden Barrack Obama (akhirnya) mempererat hubungan dengan
para sekutunya untuk menggulingkan Bashar
al-Assad. AS akan lebih agresif dalam berperan di antara sekutu. Para pejabat tidak menentukan apa peralatan yang akan dikirim AS.
Meskipun, pejuang oposisi secara khusus meminta senjata antitank dan
rudal (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/02/mm5zjs-obama-akan-kirim-senjata-ke-oposisi-suriah)
GlobalPost pada Maret lalu (15/3) melansir, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan, AS mendukung rencana Inggris dan Perancis untuk menyuplai senjata bagi pemberontak Suriah, dan juga menyambut baik rencana meringankan embargo senjata yang diterapkan Uni Eropa (UE). Namun kata Nuland, AS sudah membuat keputusan sendiri dengan hanya menyediakan bantuan militer non-mematikan.
"AS jelas tidak akan menempatkan diri di tengah-tengah diskusi internal mereka. Tetapi, kami pasti ingin melihat pemerintah sebanyak mungkin memberikan dukungan pada koalisi oposisi Suriah," ujar Nuland. Sebelumnya, Presiden Prancis, Francois Hollande, telah mendesak para pemimpin UE untuk mencabut embargo senjata ke Suriah, demi membantu pejuang pemberontak menggulingkan rezim Bashar al-Assad (http://international.sindonews.com/read/2013/03/15/42/727750/as-dukung-rencana-suplai-senjata-bagi-pemberontak-suriah).
GlobalPost pada Maret lalu (15/3) melansir, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan, AS mendukung rencana Inggris dan Perancis untuk menyuplai senjata bagi pemberontak Suriah, dan juga menyambut baik rencana meringankan embargo senjata yang diterapkan Uni Eropa (UE). Namun kata Nuland, AS sudah membuat keputusan sendiri dengan hanya menyediakan bantuan militer non-mematikan.
"AS jelas tidak akan menempatkan diri di tengah-tengah diskusi internal mereka. Tetapi, kami pasti ingin melihat pemerintah sebanyak mungkin memberikan dukungan pada koalisi oposisi Suriah," ujar Nuland. Sebelumnya, Presiden Prancis, Francois Hollande, telah mendesak para pemimpin UE untuk mencabut embargo senjata ke Suriah, demi membantu pejuang pemberontak menggulingkan rezim Bashar al-Assad (http://international.sindonews.com/read/2013/03/15/42/727750/as-dukung-rencana-suplai-senjata-bagi-pemberontak-suriah).
Sehari sebelumnya (14/3), Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, mengatakan, embargo tersebut mesti diperbaharui bulan Mei
2013. Namun dalam wawancara dengan satu radio Prancis, Fabius mengatakan Prancis
ingin itu segera dilakukan. Hal ini dikatakannya seraya menyebutkan bahwa
jumlah korban sudah mengerikan; lebih dari 70.000 orang tewas, dan lebih dari
satu juta mengungsi dalam krisis Suriah.
Ia mengatakan, jumlah senjata yang tidak
berimbang tidak dapat diterima, dan menekankan kembali tuduhan negara-negara Barat
bahwa Iran dan Rusia memasok senjata kepada pemerintah Suriah. Sementara itu,
katanya, pemberontak Suriah tidak memiliki sarana yang memadai untuk membela
diri. Fabius juga mengatakan, Perancis dan Inggris akan bertindak sepihak jika
gagal membujuk negara-negara UE lainnya untuk mencabut embargo. Ini dikatakan
Fabius karena Jerman telah menolak bergabung, dengan alasan khawatir jika makin
banyak senjata akan menyebabkan konflik menyebar secara regional.
Selasa (12/3), Perdana Menteri Inggris,
David Cameron, berharap, Inggris bisa bergerak sepihak jika UE gagal mencabut
embargo. Reuters melaporkan, rudal
anti-pesawat termasuk dalam senjata yang mungkin akan disediakan kepada para
pejuang pemberontak. Inggris telah membujuk UE menyediakan bantuan dalam bentuk
non-senjata kepada pemberontak, yang kemungkinan mencakup kendaraan lapis baja (http://m.voaindonesia.com/a/1621762.html).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar