Selang beberapa hari setelah mengungkap
operasi pengangkatan kedua payudaranya, aktris Angelina Jolie (37) berencana
melakukan operasi lagi. Kali ini, teman hidup aktor Brad Pitt ini akan
mengangkat ovarium atau indung telurnya. Seperti dilansir di New York Times, Jolie selain mengaku berisiko tinggi
terkena kanker payudara, juga memiliki risiko cukup tinggi terpapar kanker
ovarium.
Siapkah Brad Pitt melihat Jolie cepat tua? |
"Saya
mulai dengan payudara di mana risiko kanker payudara saya lebih tinggi daripada
kanker ovarium, dan operasinya lebih kompleks. Pada 27 April, saya
menyelesaikan tiga bulan prosedur mastektomi," ujarnya seperti dilansir Huffingtonpost (http://www.republika.co.id/berita/senggang/blitz/13/05/17/mmxtcn-setelah-payudara-angelina-jolie-niat-angkat-ovarium). Saat
mengumumkan menjalani mastektomi ganda itu, peraih Oscar ini ini
mengatakan dokternya memperkirakan ia memiliki 87 persen risiko kanker payudara
dan 50 persen kanker indung telur
(ovarium).(http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/13/05/14/mmsfza-angelina-jolie-akui-baru-jalani-mastektomi-ganda).
Dikutip dari majalah People, ibu dari enam orang
anak tersebut akan menjalani prosedur operasi pengangkatan ovarium yang dikenal
dengan istilah ooforektomi. Ooforektomi umumnya dilakukan sebagai bagian dari
histerektomi atau pengangkatan rahim. Namun, perempuan cenderung lebih memilih ooforektomi
untuk alasan kesehatan. Operasi ooforektomi juga dapat mengurangi risiko
kanker payudara bagi perempuan, karena pengangkatan ovarium akan membuat suplai
estrogen berkurang.
Namun
demikian, operasi ooforektomi bukannya tanpa risiko. Pengangkatan ovarium
memiliki efek samping antara lain menopause prematur, penuaan dini, penyakit kardiovaskular,
hingga osteoporosis (keropos tulang). Karena itu, pasien pasca-operasi harus
diberikan pengobatan untuk menjaga tulang dari pelemahan (http://www.republika.co.id/berita/senggang/blitz/13/05/17/mmxtcn-setelah-payudara-angelina-jolie-niat-angkat-ovarium).
Beberapa kasus juga menyebabkan kematina dini, parkinsonisme, penurunan
kesejahteraan psikologis, hingga penurunan fungsi seksual.
Wanita yang telah menjalani ooforektomi
biasanya didorong untuk mengambil obat-obatan penggantian hormon untuk mencegah
kondisi lain yang sering dikaitkan dengan menopause. Bagi wanita dengan usia
kurang dari 45 yang ovariumnya diangkat, berisiko mati muda 170% lebih tinggi
daripada wanita yang mempertahankan ovariumnya. Mempertahankan ovarium ketika
melakukan histerektomi (pengangkatan rahim/uterus) juga akan berkaitan dengan
kelangsungan hidup jangka panjang yang lebih baik (http://www.news-medical.net/health/Oophorectomy-Risks-%28Indonesian%29.aspx).
Ovarium adalah kelenjar kelamin pada wanita. Manusia
memiliki dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan
hormon seperti estrogen dan progesterone. Kedua hormon ini penting dalam proses
pubertas wanita. Estrogen dan progesteron berperan dalam persiapan dinding
rahim untuk implantasi telur yang telah dibuahi. Selain itu juga berperan dalam
memberikan sinyal kepada hipotalamus dan pituitary dalam mengatur siklus
menstruasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Ovarium).
Ovarium termasuk organ reproduksi wanita
yang seringkali mengalami keganasan. Insiden kanker ovarium perlahan meningkat
di banyak negara maju. Dilaporkan, 28,7% dari semua kanker ginekologi (organ
reproduksi wanita) terjadi di negara maju, dan 18,8% di negara berkembang. Angka
kejadian tertinggi ditemukan di negara maju, dengan rata-rata 10 kasus per
100.000 wanita, kecuali di Jepang (6,4 per 100.000).
Kanker ovarium saat ini menduduki
peringkat kelima sebagai penyebab kematian pada wanita akibat kanker (Jemal,
2007). Di seluruh dunia, terdapat 204.000 wanita yang terdiagnosis dan 125.000
diantaranya meninggal. Dari angka tersebut, 90-95% disebabkan kanker ovarium
jenis epitel (http://www.deherba.com/apa-itu-kanker-ovarium.html). Epitel adalah salah satu dari tiga
jaringan pada ovarium. Lainnya adalah sel germinal dan sel stroma. Awal dari
keganasan pada epitel dimulai dari sel-sel yang menutupi permukaan luar
ovarium, meskipun biasanya tumor yang tumbuh di jaringan epitel cenderung jinak
(http://id.prmob.net/kanker-ovarium/kanker/indung-telur-2228648.html). Tumor ini lebih dikenal dengan istilah
kista. Level menjadi berat jika sudah terbentuk miom.
Tumor pada ovarium, bisa menghambat
kehamilan. Tak heran, karena ovarium adalah pabrik ovum (sel telur). Belajar
dari kasus seseorang bernama Dewi, ternyata ketika dia terpaksa mengangkat satu
ovariumnya, dia masih bisa hamil bahkan melahirkan bayinya dengan selamat (http://www.vemale.com/inspiring/lentera/14566-keajaiban-datang-setelah-indung-telurku-diangkat.html).
Risiko mendapatkan kanker ovarium lebih
besar pada wanita yang: haid pertama lebih awal dan menopause lebih lambat,
tidak pernah atau sulit hamil, memiliki riwayat keluarga menderita kanker
ovarium, dan yang pernah menderita kanker payudara atau kolon. Untuk tindakan
pencegahan, sebaiknya wanita dengan risiko di atas segera melakukan prosedur
pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan biasania berupa: pemeriksaan klinis
genekologik untuk mendeteksi adanya kista atau pembesaran ovarium lainnya,
pemeriksaan ultrasonografi (USG) bila perlu dengan alat Doppler untuk
mendeteksi aliran darah, pemeriksaan petanda tumor (tumor marker), dan
pemeriksaan CT-Scan/MRI bila dianggap perlu (http://kistaovarium.org/).
Menua
dengan Cepat
Kondisi buruk wanita yang memutuskan
mengangkat kedua ovariumnya dialami Debbie Harvey, seperti dilansir Daily Mail, Senin
(14/1/2013). Hanya dalam hitungan empat hari sejak kedua ovariumnya (berikut
rahimnya) diangkat, Debbie merasa 10 tahun lebih tua: rambut rontok, kulit
keriput, gusi menyusut, bahkan gigi-giginya goyah hingga kemudian tanggal (http://health.detik.com/read/2013/01/14/102632/2141114/1202/tubuh-jadi-10-tahun-lebih-tua-gara-gara-operasi-angkat-rahim). Kondisi yang terjadi pada Debbie tidak
mengherankan. Ketika kedua ovariumnya diangkat, maka tak ada lagi organ yang
bisa menghasilkan hormon “kehidupan” bagi wanita, yakni estrogen dan progesteron.
Prof.dr.Wimpie Pangkahila, Sp.And, seorang pakar kesehatan organ
reproduksi, juga mengatakan,
pengangkatan ovarium akan menyebabkan penurunan kadar hormon
seks (estrogen, progesteron, dan testosterone). Tak heran jika fungsi seksual wanita menjadi terganggu.
Berbeda jika hanya rahim yang diangkat, karena kata Wimpie, hubungan seksual
tak ada kaitannya dengan rahim. Hubungan seksual berlangsung di dalam vagina,
yang tidak banyak dipengaruhi oleh pengangkatan rahim (http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/23/15204252/Rahim.Diangkat..Tak.Berpengaruh.pada.Seks).
Ketika estrogen hilang dari tubuh, maka
hilang pula kegunaanya bagi tubuh wanita. Sementara hormon buatan belum ada
yang mampu menggantikannya. Dalam kaitan dengan organ seksual, estrogen
berfungsi: merangsang pertumbuhan payudara beserta fungsinya, mengatur siklus
menstruasi secara normal, menjaga kondisi dinding vagina dan elastisitasnya,
memproduksi cairan yang melembabkan vagina, serta mencegah gejala menopause
seperti hot flushes (rasa panas
didaerah tubuh bagian atas dan gangguan mood.
Sementara di luar fungsi seksual, estrogen
juga akan mempertahankan fungsi otak, mengatur pola distribusi lemak di bawah
kulit sehingga membentuk tubuh wanita yang feminin, meningkatkan
pertumbuhan dan elastisitas serta sebagai pelumas sel jaringan (selain pada
vagina, saluran kemih, dan pembuluh darah). Dalam kaitannya dengan kulit,
estrogen selain memproduksi sel pigmen kulit, juga akan melancarkan sirkulasi
darah pada kulit, mempertahankan struktur normalnya agar tetap lentur, dan
menjaga kadar kolagen sehingga kulit kencang serta mampu menahan air.
Sedangkan fungsi progesterone adalah : mengatur siklus haid, mengembangkan
jaringan payudara, menyiapkan rahim pada waktu kehamilan, serta melindungi
wanita dari kanker endometrium pasca menopause (http://doctorjflazz.blogspot.com/2011/03/fungsi-hormon-pada-wanita.html).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar