5/25/2013

Teknologi Mobil Hibrida Masih Tak Sesuai Kocek Orang Indonesia



Managing Director Ford Indonesia: kalau dipaksakan harganya akan selangit. Sampai hari ini regulasinya juga masih belum jelas"

Harga mobil hibrida yang mahal, merupakan kendala bagi komitmen negara-negara di dunia, khususnya negara dunia ke-3, terhadap iklim Bumi yang kian mencemaskan. Karena itu, jika ingin mengembangkan mobil ramah lingkungan, harus didukung negara. Managing Officer Toyota Motor Corporation Satoshi Ogiso mengatakan, ketika mobil hibrida berkontribusi mengurangi dampak iklim karbon karena membebaskan diri dari ketergantungan pada BBM, maka negara harus memberikan insentif sebagai imbal baliknya.

Prius sedang di-charge (media.treehugger.com)
"Faktor negara sangat penting dalam memproduksi dan mengembangkan mobil hibrida. Itu yang kami rasakan di Toyota," kata Ogiso kepada puluhan wartawan dari lima negara Asia, termasuk Indonesia, di kantor pusat Toyota Motor di Toyota City, dekat Nagoya, Prefektur Aichi, Jepang. Menurut Ogiso, pengembangan mobil hibrida di Jepang mendapat insentif pembebasan pajak sampai sekitar tahun 2005. Dukungan negara seperti ini membuat Toyota ketika itu sangat leluasa berinovasi mengembangkan mobil hibrida sampai akhirnya pasar mau menerimanya.

Sejak raksasa otomotif dunia ini memperkenalkan Prius, generasi pertama mobil hibrida yang dikembangkannya pada 1997, penjualannya terus meningkat. Sampai akhir Maret lalu saja, penjualan akumulatif Priu secara global sudah mencapai  5 juta unit. "Kami telah memasuki fase baru dalam sejarah mobil hibrida," kata Ogiso (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/05/23/mn8kj3-mobil-hibrida-butuh-dukungan-negara).

Bagaimana dengan Indonesia? Menteri Perindustrian, MS Hidayat, Mei 2012 lalu, mengaku (akan) mengeluarkan kebijakan mengenai mobil hibrida pada Juni 2012. “Salah satu insentif yang kami tawarkan adalah insentif PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)," kata Hidayat. Dikatakan Hidayat waktu itu, keringanan pajak akan diberikan untuk impor mobil hibrida CBU (Completely Built-Up/diimpor utuh) dalam periode waktu tertentu, agar produsen dapat melakukan tes pasar.

Namun selanjutnya, kata Hidayat, produsen di Indonesia harus bersedia merakit sendiri (Completely Knock-Down/CKD).  Kebijakan tersebut kata Hidayat, berlaku untuk semua merek. Dengan pemberian insentif ini, harga mobil hibrida diharapkan Hidayat akan semakin kompetitif (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/otobiz/12/05/28/m4qp8m-juni-pemerintah-umumkan-kebijakan-mobil-hibrida). Ihwal tes pasar mobil hibrida, Kemenperin dan PT Toyota Astra Motor (TAM) tampaknya belum mencapai kata sepakat. Mei 2012, seusai dengar pendapat dengan TAM, MS Hidayat mengatakan, pihaknya menginginkan tes pasar dilaksanakan dalam waktu satu tahun, sementara TAM maunya dua tahun. (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/16/m4358t-harga-hybrid-murah-sekitar-rp-250-jutaan).

Sementara itu Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Budi Darmadi, menambahkan, pemerintah memiliki paket kebijakan Low Carbon Emmision Technology (LCET) yang berlaku tak hanya untuk mobil hibrida, tetapi semua mobil ramah lingkungan. Untuk mobil kemungkinan akan dilihat dari tingkat konsumsi bahan bakar atau besarnya karbon yang dihasilkan, bukan dari kapasitas mesin.

Menurut Hidayat, LCET akan memayungi kebijakan tak hanya terhadap mobik hibrida, tapi juga  mobil irit Bahan Bakar Minyak (BBM), mobil listrik, dan mobil gas, serta mobil dengan teknologi advanced diesel engine dan biofuel. Hibrida yang dimaksud adalah jenis mobil yang menggunakan dua mesin, yaitu bensin dan listrik (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/otobiz/12/05/28/m4qp8m-juni-pemerintah-umumkan-kebijakan-mobil-hibrida / http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/06/20/m5w00p-pemerintah-segera-terbitkan-aturan-mobil-hybrid).

Hidayat mengungkapkan, dari jenis mobil-mobil “hijau” itu, jenis yang paling memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia adalah mobil listrik. Akan tetapi mobil jenis ini, kata Hidayat, terkendala infrastruktur karena akan membutuhkan banyak tempat untuk mengisi ulang listrik, layaknya telepon genggam.

Sedangkan hibrida, jelas Hiidayat, karena penghematan yang mampu dilakukan mobil ini membutuhkan teknologi sedemikian rupa, harganya menjadi mahal. "Mobil hybrid yang selama ini dijual Toyota dinilai masih terlalu mahal. Jadi rencananya Toyota akan membuat mobil hybrid sejenis MPV yang harganya bisa dijangkau masyarakat Indonesia. Bukan Prius, tetapi yang harganya sekitar Rp 250 juta," kata Hidayat.

Disinggung tentang program Low Cost Green Car (LCGC), Hidayat menambahkan, ada perbedaan antara mobil hibrida dan LCGC, terutama pada segmen pasarnya (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/16/m4358t-harga-hybrid-murah-sekitar-rp-250-jutaan). Dengan hanya berpatokan pada faktor irit bahan bakar, sejumlah merek LCGC kini sudah berani bermain di pasar Indonesia. Sebut saja Toyota Agya dan Daihatsu Ayla yang dibanderol di kisaran Rp 75-120 juta, tanpa insentif pajak (http://selasarselusur.blogspot.com/2013/03/low-cost-green-car-bakal-makin-padatkan.html).

Sementara itu Budi Darmadi mengatakan, mengenai harga mobil hibrida pihaknya masih harus menyamakan persepsi dengan perusahaan-perusahaan produsen mobil di Indonesia. "Harga mobil hybrid yang beredar di pasaran masih cukup mahal. Satu unit Toyota Prius saja dibanderol Rp 600 juta lebih," kata Budi. Meski begitu, pemerintah kata Budi akan mengupayakan mobil hibrida bisa dipasarkan dengan harga murah di Indonesia. Salah satu faktor yang bisa membuat harganya murah adalah produksi massal.

Budi mengatakan, pihaknya akan melakukan pembicaraan lebih lanjut mengenai mobil hibrida ini dengan perusahaan mobil Jepang lainnya, Honda dan Daihatsu, serta dengan beberapa produsen mobil Eropa seperti Mercedes, VW, BMW, atau Audi. Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk tim untuk mengembangkan mobil hibrida di Indonesia yang melibatkan kementerian perindustrian dan kementerian keuangan, untuk bernegosiasi dengan sejumlah produsen mobil (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/12/05/15/m42lpi-pemerintah-ingin-harga-mobil-hybrid-murah).

Mahalnya harga mobil hibrida, tampaknya membuat produsen curiga bahwa pasar mobil ini belum terbentuk di Indonesia. Ford Motor Indonesia (FMI) misalnya, meskipun di negaranya (Amerika Serikat) salah satu produk hibridanya, Ford C-Max (jenis MPV), laris manis, bahkan sempat mengungguli penjualan Toyota Prius, namun FMI belum tertarik memasarkannya di Indonesia. “Kalau dipaksakan harganya akan selangit. Sampai hari ini regulasinya masih belum jelas," ujar Bagus Susanto, Managing Director FMI. Menurutnya saat ini paling relevan adalah menyediakan produk yang mampu memberikan efisiensi bahan bakar. Jadi, alih-alih hibrida, FMI malah akan memasarkan mobil irit bahan baka, yakni Ford Ecosport, jenis SUV  (http://otomotif.kompas.com/read/2013/01/31/6394/Ford.Belum.Berniat.Jual.Mobil.Hibrida.di.Indonesia).

Sementara itu Honda menantang pemerintah. Direktur Marketing and After Sales Service PT Honda Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandy, menyatakan siap bermain di segmen hibrida jika pemerintah memang telah siap memberikan insentif. "Kami sudah punya pengalaman dengan menghadirkan Civic hybrid waktu itu," kata Jonfis, seraya menekankan bahwa Honda bukan pemain baru mobil hibrida, meskipun dia menolak membeberkan harga dan tipe mobil hibrida apa yang akan ditawarkan Honda.

Yang menjadi pertanyaan, kata Jonfis, justru kesiapan pemerintah mematangkan dan merealisasikan insentifnya. "Sistem hybrid yang dikenalkan pada tahun 1999 di Amerika dapat berjalan mulus karena dukungan pemerintah dengan melakukan insentif pada perusahan otomotif," kata dia (http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/327969-honda-siapkan-mobil-hybrid-murah-di-indonesia).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar