5/07/2013

Orang Miskin Mayoritas, Tapi Hanya Kebagian PDB 19,41%



“Kesejahteraan rakyat baru akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,3 persen stabil hingga tiga tahun mendatang, dan diikuti strategi pemerataan”

Managing Director New York Stock Exchange (NYSE), Marc Iyeki, menilai, dunia sedang menaruh perhatian besar kepada Indonesia. Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk Cina dan India, dinilai sangat bagus di dunia. Kondisi pasar Indonesia kata Iyaki, terus tumbuh. Ini bisa terlihat dari IHSG di pasar modal yang mencapai lima ribu rupiah. 

Warga banyak belanja, ekonomi tumbuh
Dikatakannya, Indonesia juga memiliki potensi ekonomi yang baik karena memiliki cadangan sumber daya alam memadai, termasuk proyeksi industri manufaktur yang dapat menarik investasi. Iyeki lantas menyarankan agar pertumbuhan ekonomi terus dijaga dengan cara menambah perusahaan yang listing di bursa efek, juga dengan menjaga stabilitas sosial politik.

Iyeki mengatakan itu saat berdiskusi dengan Ali Masykur Musa, yang melakukan muhibah ke Amerika Serikat (AS), Senin (29/4). Tentang investasi yang dinyatakan Iyeki, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini mengatakan, benar bahwa investasi membawa pertumbuhan ekonomi. “Tetapi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus mampu menaikan tingkat kesejahteraan rakyat. Setelah itu baru stabilitas sosial politik terjaga," ujar Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) ini. Menurut Ali, kesejahteraan rakyat Indonesia akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3 persen untuk 2012 dan stabil tiga tahun mendatang diikuti dengan strategi pemerataan (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/13/04/30/mm119y-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-diakui-dunia).

Jika dilihat dari investasi asing di Bursa Efek Indonesia (BEI), memang menunjukkan pertumbuhan yang menarik. Direktur Utama BEI, Ito Warsito, mengatakan, pelaku pasar saham asing masih mempercayai industri investasi di Indonesia terutama di pasar modal. Fundamental ekonomi domestik juga masih terus mencatatkan pertumbuhan. "Ekonomi kita masih positif di tengah kondisi global yang tidak menentu," katanya. 

Mayoritas investor asing ini kata Ito, bahkan menempatkan dananya untuk jangka panjang. Hanya sebagian kecil yang cenderung jangka pendek. "Sekitar 30-35 persen portofolio saham asing dilakukan untuk trading, dan sisanya untuk jangka panjang," ucap dia. Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota BEI, Samsul Hidayat, mengatakan, masuknya dana asing yang cukup deras ke dalam pasar modal domestikini diikuti kinerja emiten yang diekspektasikan positif (http://m.koran-jakarta.com/?id=114698&mode_beritadetail=1).

Seperti diketahui, memasuki 2013 ini, BEI mencatatkan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menembus level 5.000. Para analis melihat ini sebagai sesuatu yang cukup mengejutkan, dengan alasan level tersebut merupakan target sepanjang tahun dari para analis. Namun jika melihat dukungan fundamental ekonomi dan ekspektasi positif kondisi perekonomian kedepan baik global maupun domestic, hal ini dinilai wajar.  Analis PT Buana Capital, Alfred Nainggolan, mengatakan, pencapaian IHSG pada level 5.023 lebih tinggi dibandingkan periode sama tahun lalu. "Kontribusi terbesar bagi pertumbuhan IHSG berasal dari sektor Keuangan sebesar 16 persen. Sektor barang konsumsi memberikan kontribusi 50 persen lebih," ujar Alfred, Minggu (21/4/2013) (http://ekbis.sindonews.com/read/2013/04/21/32/740454/keuangan-dan-konsumsi-topang-kenaikan-ihsg).

Pidato Menteri Kuangan RI pada RAPBN 2011, mengemukakan, ada enam indikator makro pertumbuhan ekonomi Indonesia, a.l. adalah: IHSG, net capital inflow saham, ekspor impor, cadangan devisa, nilai tukar, dan inflasi. Melihat kinerja indikator pertumbuhan ekonomi makro pada 2012 lalu, banyak kalangan yang mengestimasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 6,7% (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/07/30/kualitas-semu-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-481920.html).

Tapi kenapa mayoritas rakyat Indonesia masih miskin? Indikator makro ekonomi memang tidak pernah bisa melihat kondisi riil perekonomian rakyat di lapangan, alih-alih pemerataan. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti diungkapkan Alfred di atas, hanya ditopang sektor yang tidak riil seperti sektor keuangan dan konsumsi. Pada 2008 misalnya, Kepala Riset Recapital Securities, Poltak Hotradero mengatakan, sektor konsumsi di Indonesia mencapai Rp 10 triliun per hari. “Bayangkan itu,” ujar Poltak.

Sementara itu, kenaikan IHSG hanya berimplikasi kepada nilai perusahaan-perusahaan yang sudah ada dan tidak memberikan tambahan produksi ataupun investasi baru. Dana yang masuk ke sektor keuangan dan pasar modal tersebut juga hanya dinikmati para pemegang saham dan orang-orang yang bekerja di sektor tersebut yang umumnya dari kalangan menengah ke atas. Jadi, di mana posisi wong cilik dalam pertumbuhan ekonomi yang seolah spektakuler dan dipuji berbagai pihak ini?

Jika melihat pembagian pendapatan domestik bruto tahun 2010 kepada seluruh penduduk Indonesia, kita mendapatkan: 40% penduduk termiskin hanya mendapatkan 19,41 % PDB Indonesia, 40% penduduk dengan pendapatan menengah mendapatkan 37,45% PDB, dan 20% penduduk terkaya atau sekitar 47,4 juta orang penduduk kaya menguasai PDB Indonesia sebesar 43,14%. Luar biasa!

Selama lima tahun sejak 2006, ternyata terjadi kenaikan kesenjangan pendapatan di antara masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dengan kenaikan Indeks Gini dari 0,33 ditahun 2006 menjadi 0,38 ditahun 2010. Kenaikan pendapatan nasional yang tinggi pun tidak menjamin adanya pemerataan dan pengurangan tingkat kemiskinan di tengah-tengah masyarakat (sumber: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/07/30/kualitas-semu-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-481920.html).

Keberhasilan pemerintah dalam mengerek pertumbuhan ekonomi diakui pengamat ekonomi dalam setahun pemerintahan SBY-Boediono. Menurut Fahmi Radhi dari Universitas Gajah Mada (UGM), pemerintah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga di atas enam persen. Namun kata Fahmi, pencapaian target pertumbuhan tersebut tidak dapat menggerakkan sektor riil dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Keberhasilan pemerintah ini, ujar Fahmi, tidak mengakibatkan menurunnya pengangguran dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang dikejar pemerintah justru menyebabkan semakin lebarnya tingkat kesenjangan ekonomi di Indonesia. Di samping tidak berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, rakyat juga harus membayar ongkos pertumbuhan ekonomi dengan semakin beratnya beban hutang pemerintah Indonesia. Fahmi mengungkapkan, pada bulan April 2010 saja, hutang obligasi pemerintah telah mencapai Rp 1.015 triliun sedangkan hutang luar negeri Rp 573 triliun. Jadi, total hutang pemerintah setara 63,54 triliun dolar AS (http://www.jurnal-ekonomi.org/keberhasilan-semu-pemerintah-dalam-pertumbuhan-ekonomi/).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar