5/08/2013

Ciri Kota Sakit: Warga Ogah "Main" di Jalanan



“Di negeri kita, fungsi trotoar sudah sedemikian parah bahkan banyak ‘dilecehkan’ oleh pengendara motor hingga pedagang kaki lima (PKL)”

Sejumlah aktivis peduli pejalan kaki dari Road Safety Association Indonesia (RSAI) melakukan aksi simpatik dengan membentangkan spanduk di depan pengendara di kawasan Lampu Merah Tugu Tani, Jakarta Pusat, Senin (6/5). Dalam aksinya, mereka membentangkan spanduk di titik yang rawan bagi pejalan kaki, seperti trotoar dan zebra cross.

detik.com
Dalam kesempatan berorasi, mereka mengajak seluruh pengguna jalan untuk lebih peduli pada keselamatan sesama pengguna jalan terutama para pejalan kaki (pedestrian). Para pejalan kaki juga dihimbau agar berperilaku aman dan selamat serta menyeberang pada tempatnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/05/06/mmdqrd-pejalan-kaki-di-jakarta-butuh-perlindungan).

 Mereka membentangkan spanduk saat lampu merah menyala. Meski begitu, ada saja pengendara motor yang beringas dan nyaris menabrak para aktivis ini. Aksi ini bagian dari program keselamatan jalan di seluruh dunia, Global Road Safety Week (GRSW) yang pada 2013 bertajuk Pejalan Kaki/Pedestrian (http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/06/15091389/Yuuk.Mari.Hormati.Pejalan.Kaki).

Apa itu pedestrian? Secara harfiah, pedestrian berarti “person walking on the street“ yang berarti orang yang berjalan di jalan alias pejalan kaki (http://eprints.undip.ac.id/33406/). Di Indonesia istilah pedestrian kadang menjadi similar (atau salah kaprah) dengan trotoar yang artinya adalah jalur untuk pejalan kaki—berbeda arti, namun keduanya saling berkaitan erat.

Di negeri kita, fungsi trotoar sudah sedemikian parah bahkan banyak “dilecehkan” oleh pengendara motor hingga pedagang kaki lima (PKL). Lebih parah lagi, di beberapa ruas jalan di kota-kota besar di Indonesia, bahkan tak ada trotoar sama sekali. Pada 2009, laman-laman Facebook diramaikan tautan dari Youtube, berupa video yang diambil oleh kamera ponsel Shantonio Siagian. Video tersebut memperlihatkan seorang perempuan berjilbab menghalau motor-motor yang naik ke trotoar di salah satu ruas trotoar di kawasan jembatan Semanggi, Jakarta (lihat: http://www.youtube.com/watch?v=_Q84iAN0WVY).

Kekesalan pejalan kaki terhadap pengendara motor bahkan direspon Anthony Lajar, dengan sengaja tidur terlentang di trotoar sehingga para pengendara motor tidak bisa melewati trotoar di sekitaran kawasan Kota Tua, Jakarta. Aksi Anthony itu kemudian dipotret oleh Deddy, seorang konsultan yang juga pengguna KRL Commuter Serpong-Kebayoran Lama. Sebagai masyarakat yang menggunakan transportasi masal seperti kereta dan bus TransJ, Anthony dan Deddy mau tak mau harus akrab dengan aktivitas jalan kaki, dan mendambakan trotoar yang nyaman (http://www.merdeka.com/peristiwa/aksi-koalisi-pejalan-kaki-usir-motor-hingga-pkl-dari-trotoar.html).

Kemacetan lalu lintas, dan sisi praktis dari kendaraan jenis sepeda motor, menjadi alasan yang disadari atau mungkin juga agak tidak disadari oleh para pengendara motor, untuk naik ke trotoar. Ajaibnya, para pengendara motor, seperti yang juga terlihat di video tersebut, bukannya segera berkompromi ketika ditegur, tapi malah sempat meladeni teguran itu, seolah tak mau mengakui bahwa dia salah.

Di Indonesia, kondisi ini bukan “monopoli” Jakarta. Hampir setiap kota besarnya memiliki masalah ini, khususnya kota yang pemerintahnya kurang memedulikan pembangunan infrastruktur perkotaan. Salah satu kota yang keberpihakannya pada pedestrian tergolong parah, adalah Bandung. Pada 2008, Guru Besar bidang ilmu Arsitektur dan Rancang Kota (urban design) pada Program Studi Arsitektur ITB (Institut Teknologi Bandung ), Mohammad Danisworo, menilai, kondisi pedestrian di kota Bandung sudah parah. “Kalau dihitung dalam skala 1-10, nilainya sembilan” ujar Danisworo.

Mantan Ketua Tim Penasehat Arsitektur Kota DKI Jakarta ini menilai, pembagian ruang untuk para pejalan kaki sudah tidak terasa lagi. “Kondisinya tidak fair, pejalan kaki sering disisihkan,” ujarnya.  Kondisi ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah kota Bandung memberi fasilitas bagi pejalan kaki. Danisworo mengusulkan, pemerintah dapat membangun pedestrian yang ideal dengan cara membuat dulu proyek percontohan di salah satu ruas trotoar. Cara ini, kata Danisworo, pernah dia lakukan saat membenahi trotoar yang ada di kawasan Jalan Thamrin Jakarta.  Wakil Ketua Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kota Bandung, Jumono, juga mengeluhkan bahwa trotoar rusak dan sempit terlihat di hampir semua jalan di Kota Bandung. Ini membuat banyak penyandang cacat dan juga lansia, sulit mengaksesnya.

Waktu itu, Yod Mintaraga yang menjabat Ketua Komisi C DPRD Kota Bandung menyatakan, bulan depan pihaknya akan mulai merumuskan Rancangan Peraturan Daerah tentang Bangunan. “Saya kira semua penilaian ini akan menjadi masukan dalam penyusunan perda itu,” katanya. Kenyataannya, pada 2013 ini kondisi trotoar kota Bandung malah makin parah. PKL semakin seenaknya berjualan di sembarang tempat, apalagi sekedar sepeda motor yang naik ke trotoar yang sepi karena pejakan kaki juga jadi segan sering-sering menggunakan trotoar (http://www.tempo.co/read/news/2008/04/27/058122071/Kondisi-Pedestrian-di-Bandung-Dinilai-Parah).

Padahal kata Ridwan Kamil, arsitek tata kota yang berpengalaman menata lansekap kota di Indonesia maupun mancanegara, ciri kota yang baik adalah yang mampu membuat warganya sukarela keluar rumah untuk bermain. “Kalau warga sebuah kota lebih suka di rumah ketimbang di jalanan untuk menikmati suasana kota, jelas kota itu adalah kota sakit,” ujar dosen arsitektur di ITB ini. (http://jejakridwankamil.wordpress.com/2013/04/01/peran-ridwan-kamil-dlm-surabaya-menata-kota/).  Boleh jadi apa yang dikatakan Ridwan benar. Sekarang ini, banyak warga yang untuk menempuh jarak  satu kilometer saja lebih memilih naik angkot atau menggunakan sepeda motor (http://www.jurnalbdg.blogspot.com/2009/03/rame-rame-pake-mobil-yu.html).

Entah mencoba mengikuti saran Danisworo atau tidak, pada 2008 pemkot Bandung menerapkan kawasan Jalan Braga untuk proyek pedestrian yang akhirnya menjadi seperti proyek trial and error (cenderung tertebak error-nya). Penggatian jalan aspal dengan batu andesit pada waktu itu bertujuan untuk menghidupkan Braga menjadi kawasan wisata kota. Anehnya, meskipun mengusung konsep pedestrian, kenyataannya jalan itu sampai sekarang masih terus digunakan sebagai lalu lintas kendaraan bermotor. Tak heran jika batuan andesit menjadi cepat rusak. 

Komisi C DPRD mengungkap data, pada 20120 lalu, belanja pemkot untuk terus-menerus memperbaiki batu andesit yang rusak di Jalan Braga sudah memakan uang rakyat sampai Rp 100 juta. Komisi C DPRD Bandung lalu seperti dengan mudah saja mengatakan bahwa proyek Jalan Braga sebagai kawasan wisata kota, adalah proyek gagal dan pemborosan (http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/pedestrian-jalan-braga-proyek-gagal).

Seperti apa kota yang ramah pada pedestrian? Tim dari Lonely Planet mendata 10 kota surga bagi pejalan kaki. Ke-10 kota tersebut, seperti dilansir Shine adalah: Venesia (Italia), Boston (Amerika Serikat/AS), San Francisco (AS), Barcelona (Spanyol), Amsterdam (Belanda), Praha (Ceko), Roma (Italia), Paris (Prancis), New York (AS), dan London (Inggris). (http://rebellis-amici.blogspot.com/2011/11/10-kota-ternyaman-bagi-pejalan-kaki.html). Bagaimana dengan Indonesia? Seorang blogger menyebut Jakarta, Surabaya, dan Medan, sebagai kota dengan fasilitas trotoar yang nyaman.**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar