5/15/2013

Beroperasi di Daerah “Basah”, LS Bisa Miliki Rekening Gendut



Seorang anggota Polres Sorong, Papua, berpangkat Ajun Inspektur Polisi Satu  (Aiptu), terendus memiliki perputaran dana tak wajar dalam aktivitas transaksinya lewat bank. Ditengarai, selama kurun 2007-2012, Aiptu bernama Labora Sitorus (LS) ini, melakukan transaksi dengan nilai aliran dana Rp 1,5 triliun.

ROL
Jumlah yang fantastis itu menuai kecurigaan setelah  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengumpulkan data transaksi dan menganalisis aliran transaksi LS. Polda Papua yang menerima laporan lantas melakukan pemeriksaan pada kondisi keuangan anggotanya. 

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Papua, Kombes Pol Setyo Budiyanto, menyampaikan, LS sudah diperiksa terkait kepemilikan rekening yang saat ini diduga mencapai Rp 900 miliar. “Sudah ditarik (diusut) oleh Polda Papua. Kini dalam tahap pengembangan,” kata dia Selasa (14/5).  

Setyo mengatakan, LS diketahui sebagai polisi yang merangkap pebisnis. Harta yang ia miliki pun diduga berasal dari usahanya di dunia bisnis, namun praktik bisnisnya tampaknya dijalankan dengan cara haram. LS diduga menyelundupkan kayu dan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijualnya ke pabrik-pabrik. Uang yang mencapai ratusan miliar rupiah itu, kata Setyo, sedang dalam tahap penyelidikan. 

Hasil sementara pemeriksaan menurutnya masih belum bisa disebutkan. Mabes Polri sebagai induk kepolisian, melalui keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Boy Rafli Amar, mengaku belum mengetahui persoalan rekening gendut milik salah satu anggotanya ini (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/14/mmsjd4-transaksi-triliunan-rupiah-polisi-berpangkat-aiptu-diperiksa).

Dari informasi yang dikumpulkan Republika, LS ditengarai terlibat dalam sejumlah aksi pembalakan hutan di beberapa kabupaten, yakni Sorong, Waigeo, hingga Raja Ampat. LS disebut memengaruhi pemerintah daerah (pemda) setempat membuat peraturan daerah (perda) yang menghalalkan penebangan pohon untuk kebutuhan masyarakat. Selain menyelundupkan kayu dan BBM, LS juga diketahui memiliki tempat usaha karaoke. Cara-cara melanggar hukum yang dilakukan LS dalam mengumpulkan harta hingga tercatat mencapai ratusan miliar itu, kini sedang diselidiki.

“Kami masih selidiki, bekerja sama dengan pusat (Badan Reserse dan Kriminal/Bareskrim Polri), sekarang masih kumpulkan alat bukti,” ujar Setyo kepada Republika, Rabu (15/5/13). Setyo mengatakan, kecurigaan bahwa dana yang dimiliki LS adalah hasil usaha melanggar hukum harus terlebih dahulu dibuktikan. Sehingga penyelidikan yang dilakukan dapat berangkat dengan bukti yang cukup (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/15/mmtw0d-cara-aiptu-ls-kumpulkan-harta-ratusan-miliar).

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, menjelaskan, jumlah rekening yang dimiliki LS sangat mengherankan bisa dimiliki oleh polisi yang hanya bintara ini. Namun, bila menilik dari perkaranya, polisi pemilik harta melimpah sebenarnya bukan lagi rahasia umum. “Seperti fenomena gunung es, bukan lagi rahasia banyak oknum (polisi) yang seperti ini,” katanya kepada Republika, Rabu (15/5/13).

LS bisa mengumpulkan harta hingga ratusan miliar rupiah ujar Neta, sudah tentu berasal dari cara-cara illegal. Terlebih kata Neta, LS berdomisili di wilayah yang dinilai amat “basah”. Dia menjelaskan, Papua yang menyimpan banyak potensi alam selalu menyedot pengusaha-pengusaha untuk membuka bisnis di sana. Sehingga perputaran uang di sana tak pernah main-main jumlahnya. 

Sayangnya, para pengusaha ini tak sepenuhnya menjalankan bisnis dengan bersih. Banyak pengusaha kotor, sebut Neta, yang memanfaatkan kekayaan Papua dengan mengandalkan praktek illegal, sehingga oknum polisi korup ikut menggeruk hasil (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/15/mmu9l0-ipw-selain-aiptu-ls-masih-banyak-polisi-punya-rekening-gendut).

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengultimatum Polda Papua agar tidak membiarkan permasalahan rekening gendut anggotanya di Polres Sorong ini. Kompolnas mengaku akan ikut mengawasi perkembangan dari pemeriksaan yang dilakukan kepada LS. Anggota Kompolnas, Hamidah Abdurrahman, mengatakan, jikapun uang di rekening LS hanya berasal dari bisnis kayu dan BBM tersebut, tetap harus diselidiki karena sarat unsur pidana. Dia mengaku akan sangat heran jika Polda Papua hanya menjadikan LS sebagai pelaku tunggal dalam kasus ini (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/15/mmu3io-kasus-aiptu-ls-harus-jadi-perhatian-kapolri).

Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, rekening gendut polisi yang masih berpangkat Aiptu, menjadi preseden buruk bagi Polri. ICW menilai LS “memainkan” sesuatu. Kordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW,  Firdaus Ilyas, menjelaskan, publik bakal mencap betapa mudahnya polisi menggunakan wewenangnya untuk mengumpulkan kekayaan.

“Ini menjadi tugas berat Polri untuk membersihkan nama intitusi. Perlu cepat diusut apakah jumlah tersebut berasal dari cara halal atau tidak. Publik kini ikut mengawasi” kata Firdaus kepada Republika, Rabu (15/5/13). Dengan banyaknya potensi kasus yang bisa saja menyeret polisi lain, ICW meminta agar permasalahan rekening LS diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya kata dia, polisi bisa kesulitan mengungkap kasus ini jika ada nama petinggi Polri yang ternyata ikut terseret ke dalamnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/05/15/mmu2wg-polri-diminta-serahkan-kasus-aiptu-ls-ke-kpk).

Celengan Babi Enam Jendral
Istilah rekening gendut di Indonesia berkibar ketika majalah Tempo edisi 28 Juni - 4 Juli 2010 memuat laporan utama berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi". Gambar  sampulnya menunjukkan seorang polisi sedang menggiring celengan babi. Waktu itu Polri memprotes, dan meminta Tempo meminta maaf. Ketika majalah itu hilang dengan cepat dipasaran, muncul dugaan pihak kepolisian memborongnya. "Gak ada yang borong majalah. Dari mana polisi punya duit untuk memborong majalah sebanyak itu," kata Kepala Divisi Humas Polri yang saat itu masih dijabat Irjen Pol Edward Aritonang, Selasa (29/6/10).

Aritonang menilai, tuduhan Polri memborong majalah hanya strategi pemasaran agar majalah itu dicari masyarakat. Menurut dia, jika benar ada pihak yang memborong majalah itu maka itu bagian dari upaya menutup keterbukaan informasi kepada masyarakat. "Nah, Polri tetap konsisten mendukung keterbukaan informasi," katanya.
Dalam edisi itu, Tempo menyebutkan adanya enam jenderal polisi dan beberapa perwira menengah yang memiliki rekening bank berisi puluhan miliar bahkan hingga Rp 54 miliar padahal gajinya tidak sampai Rp10 juta per bulan. Kapolda Jawa Tengah waktu itu, Irjen Pol Alex Bambang Riatmodjo, membantah salah satu anak buahnya, Kapolwiltabes Semarang,Kombes Pol Edward Syah Pernong, memiliki rekening yang jumlahnya mencurigakan. Sementara Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, mengatakan, pihaknya akan mencetak ulang majalah itu sejumlah yang hilang di pasaran (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/06/30/122284-polri-bantah-borong-majalah-tempo-yang-bahas-rekening-gendut-polisi).

Keenam jendral yang disebut dalam majalah Tempo edisi 28 Juni - 4 Juli 2010 tersebut, yang diduga memiliki kekayaan mencurigakan itu adalah: Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Tuduhannya, memiliki rekening Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tak jelas. Kedua adalah Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Kepala Korps Brigade Mobil Polri. Dari rekeningnya mengalir uang Rp 10.007.939.259 kepada orang yang mengaku sebagai Direktur PT Hinroyal Golden Wing. Terdiri atas Rp 3 miliar dan US$ 100 ribu pada 27 Juli 2005, US$ 670.031 pada 9 Agustus 2005.

Berikutnya adalah Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian, dengan tuduhan melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Bersama anaknya, Budi disebutkan telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar. Lalu tersebutlah nama Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian. Tuduhannya, membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar. Asal dana dari pihak ketiga. Menarik dana Rp 700 juta dan menerima dana rutin setiap bulan.

Nama Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal, yang belum lama ini menghebohkan negeri karena sempat buron, dituduh  menerima kiriman dana dari seorang pengacara sekitar Rp 2,62 miliar dan kiriman dana dari seorang pengusaha. Total dana yang ditransfer ke rekeningnya Rp 3,97 miliar. Terakhir adalah Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri. Tuduhannya, membeli polis asuransi dengan jumlah premi Rp 250 juta pada Mei 2006. Ada dana masuk senilai total Rp 11,4 miliar sepanjang Januari 2006 hingga Agustus 2007. Ia menarik dana Rp 3 miliar pada November 2006 (http://www.tempo.co/read/news/2010/06/29/063259301/Inilah-Polisi-yang-Disebut-Memiliki-Rekening-Gendut).**

Newspeg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar