5/30/2013

Stabilitas Internasional Terancam Aksi Si Robot Terbang


“Di Afghanistan, Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun, dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai target”

PBB memperingatkan negara-negara dengan kekuatan militer maju bahwa penggunaan pesawat tanpa awak atau drone akan mengancam stabilitas internasional. Pejabat PBB khusus ekstrajudisial, Christof Heyns, meminta negara-negara menghentikan membangun industri robot terbang yang mematikan ini. Drone diketahui telah digunakan Amerika Serikat (AS) untuk membunuh manusia di negara-negara seperti Pakistan, Afganistan, Yaman, dan Somalia.

Robot terbang sedang luncurkan rudal (ROL)
"Mesin tidak memiliki moralitas dan rasa kematian, dan sebagai hasilnya mereka tidak memiliki kuasa atas hidup dan mati manusia," ungkap Heyns seperti dilansir PressTV (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional). AS sendiri sebagai salah satu produsen drone terbesar, seperti dinyatakan Presiden Barrack Obama, menjadikan program pesawat tanpa awak ini sebagai alasan “membela diri” dari serangan terorisme.

Dengan alasan itu, Senator AS dari Partai Republik, Lindsay Graham, seperti dilansir PressTV, seolah tanpa berat hati mengumumkan bahwa drone AS sudah membunuh  4.700 orang, termasuk warga sipil. "Kami membunuh 4.700 orang," ungkap Graham, seraya menambahkan bahwa drone tersebut juga terkadang membunuh warga.

 "Saya benci itu tapi kami dalam perang dan kami (dengan bantuan drone) telah (berhasil) membunuh anggota senior Al-Qaidah," kata Graham. Meski begitu Graham membela Presiden AS Barack Obama yang pernah menyatakan bahwa AS menggunakan drone untuk membunuh musuh-musuhnya di luar negeri. "Senjata itu yang kami butuhkan. Senjata taktis," sebut dia.  Akan tetapi otoritas AS menolak memublikasikan detail program dan jumlah korban serangan drone-nya.

Satu laporan dari lembaga New America mengatakan, sejak 2004 AS telah melakukan 350 serangan dengan menggunakan pesawat tanpa awak ini. Sebagian besar pesawat itu digunakan saat Obama menjabat sebagai presiden. Lembaga itu memperkirakan korban tewas sudah mencapai sekitar 1.963-3.293 orang. Sementara Biro Jurnalis Investigasi yang berbasis di London menyebutkan, korban tewas akibat serangan drone AS di Pakistan saja sejak 2004, mencapai 2.627-3.457 orang. Dari jumlah itu sekitar 475-900 orang merupakan penduduk sipil. Dari jumlah itu, 261-305 orang merupakan penduduk sipil. Yang pasti, AS sendiri telah mengakui jumlah korban yang jauh lebih besar (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/21/mijwjq-drone-amerika-bunuh-4700-orang).

Ketika berpidato di National Defense University di Washington, Kamis (23/5/13), Presiden Obama tanpa sungkan menyatakan pembenarannya dalam penggunaan pesawat drone sebagai alat untuk “membela diri”. “Kita berperang melawan satu organisasi yang sekarang 'akan membunuh sebanyak mungkin orang Amerika selama mereka bisa', jika kita tidak menghentikan mereka lebih dulu." (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/24/mnb183-pakistan-serangan-drone-as-langgar-kedaulatan).

Drone merupakan robot pembunuh hasil pengembangan lanjutan dari pesawat tanpa awak (UAV/unmanned aerial vehicle). Asal muasal drone adalah ketika Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) mengembangkan sebuah pesawat tak berawak yang sepenuhnya otonom yang disebut X-47B. Awalnya pesawat ini ditujukan untuk tujuan non-tempur,  namun belakangan malah didesain dengan persenjataan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional). Dia juga dirancang anti-radar sehingga bisa memasuki kawasan udara negara tertentu tanpa terdeteksi.

Kontrol pesawat tanpa awak ini bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan pengendalian jarak jauh oleh operator di darat, atau berdasarkan program yang dimasukan ke dalam pesawat sehingga dia dapat terbang secara mandiri. Pesawat jenis ini semula dibangun dengan misi melakukan pekerjaan yang dianggap terlalu kotor atau malah terlalu berbahaya untuk dilakukan pesawat berawak. Misalnya saja untuk memadamkan kebakaran, untuk kebutuhan keamanan non militer, atau pemeriksaan jalur pemipaan. Namun belakangan reputasi UAV ini semakin mengerikan karena bisa menyerang target manusia secara berlebihan bahkan menyerang target yang salah. Atau, reputasinya sebagai alat untuk melakukan pekerjaan terlalu “kotor” tersebut  malah cocok, yakni membunuh manusia (diinterpretasi dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Pesawat_tanpa_awak).

Namun seperti dikatakan Graham, AS sepertinya memang tidak terlalu mempermasalahkan kesalahan target drone, termasuk membunuh warga sipil tersebut, bahkan membunuh warganya sendiri meskipun dengan alasan “kontra terorisme”. Eric Holder, Jaksa Agung AS mengatakan, sudah empat warga AS yang tewas dalam operasi pembendungan terorisme dengan menggunakan pesawat tak berawak sejak 2009 lalu.

Apa yang diungkapkan Holder ini membenarkan pernyataan seorang senator AS yang mengatakan, tiga warga AS tewas dalam serangan drone, namun satu di antaranya memang ditargetkan menjadi sasaran serangan, yakni seorang warga AS bernama Anwar al-Awlaki. Holder mengatakan, Pemerintahan Obama menyadari, selain Awlaki masih ada tiga warga AS lainnya yang tewas dalam serangan drone, mereka adalah Samir Khan, Jude Kennan Mohammed, dan Abdulrahman al-Awlaki; putra Anwar al-Awlaki. "Orang-orang ini tidak secara spesifik menjadi target serangan AS," imbuh Holder (http://international.sindonews.com/read/2013/05/23/42/752013/sejak-2009-drone-sudah-bunuh-empat-warga-as).

Pilot Drone Alami Pascatrauma
Bahkan seringnya drone melakukan salah sasaran telah membuat seorang mantan pilot (operator) drone, menyatakan mundur dari tugasnya. Pilot ini mengaku melihat drone yang dikendalikannya membunuh anak kecil dan penduduk sipil di Afghanistan. Dalam sebuah wawancara dengan radio nasional, NPR, mantan pilot drone yang diidentifikasi sebagai Brandon Bryant ini mengatakan kegelisahannya melihat pemboman yang dilakukan drone di Afghanistan. Sebagai pilot drone, dia bisa melihat langsung apa yang dilakukan drone-nya ketika melalui layar monitor di samping tombol kontrol drone yang dioperasikan di suatu negara bagian AS.

"Kami menembakkan rudal. Setelah asap bersih, anda dapat melihat bagian-bagian tubuh manusia," ujarnya seperti dilansir PressTV. Di Afghanistan, Bryant mengaku membom sebuah rumah yang dicurigai milik militan. Namun, dia melihat ada anak-anak berlarian di sekitar rumah sebelum rudal mencapai target. "Tampak seperti anak kecil… dan rudal menghantam. Tidak ada tanda-tanda dari orang (militan) ini," ujarnya. Sejak meninggalkan program kontroversial AS ini lebih dari dua tahun lalu dia menjadi tunawisma, tinggal dengan teman-temannya. Dia juga didiagnosis menderita Pasca Traumatic Stress Disorder (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/20/mn38ql-pilot-drone-as-mundur-setelah-bom-anak-kecil).

Negara-negara Produsen Drone
Lembaga Human Right Watch, mengungkapkan, Pentagon telah menghabiskan sekitar 6 miliar dolar AS per tahun untuk penelitian dan pengembangan drone. Inggris juga membuat drone baru yang disebut Tarani yang bisa terbang mandiri dan membela diri terhadap pesawat musuh. Seperti model AS, pesawat tersebut tidak bersenjata tetapi dirancang untuk membawa rudal (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/30/mnla1x-pbb-drone-ancam-stabilitas-internasional). Israel bahkan merupakan produsen drone yang telah mengekspor UAV ini ke lebih dari 49 negara. Nilai ekspornya mencapai 400 juta dolar AS setahun.

Berdasarkan laporan kantor berita Ynet, Ahad (19/5/13) seperti dilansir PressTV, 80 persen drone buatan Israel, diekspor. Besarnya kontribusi eskpor drone bagi pendapatan Israel, membuat industri pesawat di negeri zionis ini kemungkinan akan tergantikan oleh drone. Israel meningkatkan investasi pada industri drone sejak 1982 ketika rezim menggunakan pesawat tersebut pada perang Lebanon (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/19/mn1axh-produk-pesawat-tanpa-awak-buatan-israel-dipakai-oleh-49-negara).

Melanggar Hukum Internasional
Saat berkampanye keduakalinya sebagai presiden,  Obama berjanji memperbaiki pendekatan Gedung Putih dalam perang melawan teroris. Alih-alih menepati,  November lalu, Obama malah menyatakan rencananya meluncurkan drone warfare rulebook. Aktivis hak asasi manusia (HAM) pun mengecam habis. Kelompok-kelompok HAM menyebut pemerintahan Obama melanggar hukum internasional, dengan terus melancarkan perang drone.

Jameel Jaffer, direktur American Civil Liberties Union’s (ACLU) Center for Democracy, mengatakan, yang sedang dila kukan pemerintah Obama bukan menuliskan kembali buku panduan perang, tapi pengingkaran terhadap hukum internasional. “Dan ini terjadi sejak Perang Dunia II,” ujar Jaffer. Jaffer mengaku frustrasi ketika mendengar Obama akan membuat buku panduan perang agar pembunuhan dengan drone bisa dibenarkan, bersamaan dengan beredarnya berita di New York Times ihwal “Kill list”. Kill List diduga berisi daftar nama tersangka teroris yang menjadi sasaran pembunuhan dengan menggunakan drone (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/18/mif51n-perang-drone-pelanggaran-hukum-internasional)**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar