6/30/2013

Inggris Tolak Kedatangan Blogger Penyebar Kebencian

"Inggris tidak perlu menjadi panggung penyebaran pesan kebencian”

Pihak berwenang Inggris telah melakukan tindakan yang menyejukkan bagi umat Islam, khususnya di inggris. Mereka melarang dua blogger sayap kanan, Pamela Geller dan Robert Spencer, memasuki wilayahnya. Ini dilakukan guna mencegah penyebaran pesan kebencian terhadap Islam dan Muslim. Ketua Komite Seleksi Kementerian Dalam Negeri Igggris, Keith Vaz, menilai, larangan bagi Geller dan Spencer memasuki Inggris merupakan keputusan yang tepat.

Pamela Geller (islamophobiatoday.com)
"Inggris tidak perlu menjadi panggung penyebaran pesan kebencian," kata Vaz, seperti dikutip Onislam.net, Jumat (28/6). Kedua blogger tersebut dikenal keras menyampaikan pendapatnya tentang Islam dan Muslim. Keduanya semula akan datang ke Inggris setelah menddapat undangan dari Liga Pertahanan Inggris (EDL), guna berbicara soal Islam dan Muslim.

Mereka dijadwalkan berbicara bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Inggris, pada 29 Juni, di Woolwich. Woolwich adalah satu distrik di London, tempat dua pria kulit hitam mualaf membunuh seorang tentara Inggris pada Mei lalu (lihat: http://www.selasarselusur.blogspot.com/2013/05/mualaf-bunuh-tentara-inggris-komunitas.html).

Pemerintah Inggris menilai kunjungan mereka sangat rentan memicu Islamofobia. Karenanya, pemerintah menetapkan status kunjungan keduanya “tidak kondusif” untuk kepentingan publik. "Kami mengutuk siapapun yang ingin menantang nilai kebersamaan," kata juru bicara pemerintah. Peneliti Matthew Collins menilai, larangan itu akan membantu proses penerimaan kohesi masyarakat. "Mereka ini aktivis anti-Islam paling ekstrem. Mereka datang tanpa niatan baik," tuturnya.

Belum lama ini, serangan Islamofobia kembali meningkat setelah seorang tentara Inggris tewas. Pembunuhan itu membuka kembali ketegangan antara masyarakat Inggris dan umat Islam (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/06/28/mp3o3x-inggris-tolak-kunjungan-blogger-antiislam-dan-muslim). Setelah kejadian ini, EDL rupanya semakin memiliki alasan untuk melancarkan pesan-pesan anti-Islam. 

EDL adalah kelompok anti-Islam di Inggris yang gencar mengampanyekan  “perang melawan islamisasi”. Satu penyelidikan yang dilakukan Observer mengungkapkan, EDL sudah menjalin koalisi dengan kelompok ultra kanan sejenis yang berada di Amerika Serikat (AS), yaitu Tea Party. Oktober 2010, EDL mengundang rabi senior AS dan aktivis Tea Party, Nachum Shifren, untuk datang ke London bulan ini. Shifren adalah pembicara regular di konvensi Tea Party. Dia diundang untuk berbicara tentang hukum syariah dan masalah pendanaan. Dalam satu demonstrasi anti-Islam di Leicester, Inggris, Tea Party membela aksi kekerasan yang dilakukan EDL.

EDL juga membangun hubungan dengan Pamela Geller, tokoh yang ikut memrotes rencana pembangunan masjid di dekat lokasi Ground Zero WTC. Geller, direktur eksekutif organisasi AS yang dinamai Freedom Defense Initiative (FDI) dan Stop Islamization of America, ini, baru saja bertemu dengan pimpinan EDL di New York. Geller, yang menyangkal dirinya anti-Islam, dalam blog-nya mengatakan bahwa dia berbagi tujuan dengan EDL untuk mendorong kelompok yang memadai untuk menentang Islamisasi di Barat.

Devin Burghart, Wakil Presiden Institut Riset dan Pendidikan HAM yang berpusat di Kansas, AS, mengatakan, Geller bertindak sebagai jembatan antara EDL dan Tea Party. Dia berperan penting membawa sentimen anti-Islam ke dalam Tea Party. Popularitas Geller meningkat pesat setelah isu penolakan Masjid di Ground Zero mencuat. (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/10/12/139544-kelompok-anti-islam-inggris-dan-amerika-bersatu-menolak-islamisasi).

Iklan-iklan Anti Islam Geller di Subway
Pada  April 2013, FDI menawarkan aplikasi kampanye  “Stop Islamisasi Amerika”. Namun aplikasi ini ditolak Kantor Paten dan Merek Dagang AS. Kantor yang terletak di Virginia, AS, ini, memandang kampanye tersebut tidak masuk akal secara harfiah. “Merek dagang itu akan meremehkan Muslim dan menghubungkan mereka dengan terorisme," begitu pernyataan kantor tersebut. Atas penolakan ini, Pusat Hukum Kebebasan AS yang menjadi kuasa hukum Geller mengajukan banding di Pengadilan Banding AS.

Namun penolakan kantor tersebut tak sebanding dengan iklan-iklan anti-Islam Geller yang sudah bertebaran sejak lebih lama. Pada Desember 2012, Geller meluncurkan iklan kampanye berbau anti-Islam yang dipasang di stasiun kereta api bawah tanah (subway) di New York, AS. Dalam iklan itu ditulis potongan terjemahan ayat Alquran: “segera akan Kami lemparkan ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir” (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/10/ml0j5l-otoritas-as-tolak-kampanye-setop-islamisasi-amerika).

Iklan-iklan yang dibiayai FDI ini juga bermunculan di stasiun-stasiun subway di Westchester County, New York,sejak Agustus 2012. Materi iklan antara lain menuding orang-orang Islam berada di balik puluhan ribu serangan teroris di seluruh dunia. Salah satunya, seperti dilansir laman CBS News, Sabtu (18/8), bertuliskan:  “19,250 Deadly Islamic Attack Since 9/11. It Is Not Islamophobia. It Is Islamorealism” (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/08/18/m8xc4g-iklan-antiislam-nongol-di-stasiun-subway-new-york). Poster lainnya misalnya bertuliskan: In any war between the civilized man and the savage, support the civilized man. Support Israel defeat jihad.

Awalnya Otoritas Transportasi Metropolitan New York menolak memasang poster-poster provokatif ini, karena dianggap merendahkan Islam. Namun, seorang hakim federal Juli lalu memutuskan poster-poster tersebut sah dipublikasikan karena sesuai dengan Konstitusi AS yang menjamin kebebasan berekspresi. Anehnya, ketika seorang jurnalis AS berdarah Mesir bernama Mona Eltahawy (45) mencoreti poster tersebut, dia ditangkap polisi. Padahal kata dia, aksi mencoreti poster kebencian juga merupakan kebebasan berekspresi.

Ada puluhan poster anti jihad yang bertebaran di 10 stasiun subway sepanjang Kota Manhattan, Washington DC, dan San Fransisco. Geller atas nama FDI, merogoh koceknya sendiri untuk membuat poster yang satu lembarnya seharga 6.000 dolar AS itu. Tiga organisasi mendukungnya, yaitu atlasshrugs.com, jihadwatch.com, dan sior.us (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/09/28/mb0ltm-melawan-poster-antiislam-di-new-york).

Syukurlah, Kongres AS tidak tinggal diam. Anggota Kongres, Mike Honda, menyerukan pemboikotan sistem layanan publik yang memuat iklan anti-Islam. Honda meminta masyarakat memboikot layanan Metrorail dan Mentrobus di Washington DC, Maryland, Virginia, New York. ''Kami belajar dari sejarah bahwa pidato atau iklan berbau kebencian memiliki konsekuensi yang mengerikan,'' kata dia seperti dikutip dari Press TV. Dia menyatakan penolakan terhadap iklan tersebut juga merupakan sebuah hak. ''Itulah sebabnya saya mendorong orang untuk memboikot sistem layanan publik itu,'' lanjut dia (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/10/11/mbpkmw-anggota-kongres-as-boikot-iklan-antiislam).

Gerah pada Surat Annisa di Harvard
Tak sebatas iklan-iklan anti-Islam, tentu saja. Geller juga diduga termasuk sosok yang ada di belakang peluncuran film anti-Islam ''Innocence of Muslims''. Dr Webster Griffin Tarpley, seorang analis politik AS, seperti dikutip dari Press TV, mengatakan, Geller adalah tokoh anti-Islam yang sangat dekat dengan Israel. ''Aku pikir, tokoh utama dari film ini adalah Pamela Geller,” kata Tarpley, seraya menyebut sejumlah nama lembaga dan tokoh terkenal yang mensponsori film tersebut, seperti Mitt Romney (pesaing Barrack Obama pada pemilu yang lalu), Brent Scowcroft (tangan kanan seorang Yahudi yang sangat berpengaruh di AS, Henry Kissinger), Terry Jones (pembakar Al-Quran), hingga Benjamin Netanyahu; Perdana Menteri Israel (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/09/16/mag5n4-analis-cia-dan-zionis-di-balik-innocence-of-muslim).

Lalu pada Januari 2013, kaum Islamofobia mengecam habis-habisan Fakultas Hukum Universitas Harvard, AS, yang memasang kutipan dari Surat Annisa ayat 135, pada dinding gerbang masuk fakultas dari universitas tertua dan ternama di AS tersebut. Alasan pemampangan salah satu ayat dari kitab suci umat Islam tersebut adalah, ayat suci merupakan salah satu ekspresi terhebat tentang keadilan sepanjang sejarah.

Para kaum Islamofobia AS ini menuliskan kecamannya itu melalui situs Atlas Shrugs, situs yang menjadi tempat mereka menuliskan berbagai pesan anti-Islam. Sang dedengkot anti-Islam, Geller, pun, angkat bicara. ''Hukum syariah bertentang dengan nilai-nilai kemanusiaan,'' kecamnya (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/01/19/mgtskz-komentari-ayat-quran-di-gerbang-harvard).

Pada 2011, Geller meluncurkan buku berjudul “Stop the Islamization of America: A Veteran Freedom Fighter's Groundbreaking Guide to Defending Our Nation”. Buku dengan gambar sampul patung Liberty mengenakan jilbab dan penutup muka itu, menyediakan panduan praktis menghentikan penyebaran syariat Islam dan supremasi Islam di AS (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/08/14/lpx1cw-buku-stop-the-islamization-of-america-mendapat-dukungan).**

6/29/2013

Pangeran Saudi: Wanita Boleh Menyetir Bisa Kurangi Pekerja Asing



Pangeran Alwaleed bin Talal telah mengisyaratkan dukungannya untuk mengizinkan perempuan di negaranya mengemudi kendaraan/mobil. Miliarder Arab Saudi ini mengatakan, hal tersebut akan membantu kampanye negaranya dalam mengurangi jumlah pekerja asing lebih dari 500 ribu orang.

stiker larangan wanita menyetir (ROL)
Melalui akun Twitter-nya, seperti dilansir situs VOA, Pangeran Alwaleed menyatakan akan ada manfaat sosial dan ekonomi bila perempuan Arab Saudi diizinkan mengemudi lagi. Ribuan pekerja asing telah di-PHK dan kemudian dideportasi, sebagai bagian dari kampanye pemerintah menghadapi orang-orang asing yang menjadi pemukim dan pekerja gelap di kerajaan tersebut.

Pekan lalu, Raja Abdullah memberi waktu tiga bulan bagi para pekerja asing untuk melegalisasi kehadiran mereka di sana. Sekarang ini ada lebih dari delapan juta pekerja asing di Arab Saudi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/15/ml9kok-perempuan-saudi-akhirnya-boleh-mengemudi-sendiri). Seperti diketahui, Arab Saudi telah menerapkan aturan larangan bagi wanita menyetir/mengemudi kendaraan/mobil sejak 2011.

Sesuai hukum negeri tersebut, wanita diwajibkan ditemani oleh muhrim pria bila hendak bekerja atau bepergian ke luar negeri atau bahkan untuk menjalani operasi medis. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/09/28/ls8ava-nekat-menyetir-sendirian-seorang-wanita-saudi-dijatuhi-hukum-cambuk-10-kali). Pada 17 Juli 2011, dua wanita Oman ditahan karena mengemudikan mobil di Arab Saudi, ketika melakukan perjalanan dengan keluarga mereka di jalan yang menghubungkan Riyadh dengan Taif di Saudi Barat. "Seorang warga memberi informasi pada patroli polisi bahwa kedua wanita itu mengendarai mobil dengan SIM Oman," tulis surat kabar Saudi, Al-Hayat.

Kaum wanita Arab Saudi tak tinggal diam atas aturan yang diskriminatif ini. Akhir Juni 2011, aparat keamanan Arab Saudi menangkap lima wanita Saudi yang menyetir mobil. Tindakan mereka itu terjadi sebagai tanggapan atas seruan di internet pada wanita di Saudi untuk menyetir mobil. Akibat seruan ini 42 wanita turun ke jalan pada 17 Juni itu. "Sejak itu, kaum wanita setiap hari menantang di sejumlah kota berbeda di Saudi," kata seorang aktivis yang enggan disebutkan namanya. "Ibu saya juga telah melakukan hal seperti itu di Riyadh."

Tidak ada undang-undang  (UU) yang secara resmi melarang wanita mengemudikan mobil di Arab Saudi, tapi dekrit keagamaan menetapkan wanita harus diantar oleh seorang supir atau anggota keluarga laki-laki (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/07/18/loid0u-asyik-nyetir-mobil-dua-wanita-oman-ditangkap-polisi-arab-saudi). Dan ketika surat izin mengemudi (SIM) tidak dikeluarkan bagi wanita, maka secara efektif ilegal bagi wanita  untuk menyetir.

Pada Mei 2011, protes pro demokrasi menyapu negeri kerajaan konservatif ini. Satu kampanye bernama Woman2Drive, menyeru di beberapa situs jejaring sosial seperti Twitter dan Facebook untuk menggugat larangan tersebut. Beberapa wanita memuat postingan di Twitter bahwa ia berhasil berkendara sendiri di jalanan Jeddah, Riyadh, dan Khobar. Sementara yang lain mengaku dihentikan polisi yang kemudian dilepaskan setelah meneken surat pernyataan tak akan menyetir lagi. Pada 22 Mei 2011, seorang wanita Saudi, Manal Alsharif yang memuat video di YouTube menunjukkan ia tengah menyetir mobil di Jalan Khobar, lalu ditahan. Ia kemudian dilepaskan. Namun kasus itu menjadi pelemah semangat bagi wanita lain (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/09/28/ls8ava-nekat-menyetir-sendirian-seorang-wanita-saudi-dijatuhi-hukum-cambuk-10-kali).

Women2Drive
Jika bersatu, apa yang tak mungkin menjadi mungkin. Begitu slogan organisasi wanita di Arab Saudi. Setelah sukses dengan tuntutan mereka agar toko pakaian mempekerjakan wanita sebagai pramuniaganya, kaum wanita Saudi meluncurkan kampanye teranyar, Women2Drive. Kampanye ini mendesak wanita yang mengendarai mobil merekam dirinya saat menyetir di jalanan, lalu meng-upload videonya ke jejaring sosial.

Seorang wanita yang tinggal di Riyadh, mengunggah video dirinya yang “berhasil” mengemudi menuju supermarket, meskipun gugup. "Kami hanya ingin menjalankan kehidupan kami sendiri. Kami tidak perlu diatur oleh sekitar. Kami bisa pergi bekerja, berbelanja, dan menjalankan tugas tanpa harus bergantung pada sopir," katanya dalam video. Meski Kampanye dianggap gagal oleh aparat berwenang, namun mereka terus melancarkannya. "Hanya ada 40 wanita yang berani berkendara sendiri di Arab Saudi.  Kami berharap lebih," kata Essam Bayan, salah satu wanita pendukung kampanye.

Kolumnis surat kabar Al-Watan dan profesor linguistik di kampus King Abdul Aziz University, Amira Kashgari, juga mengendarai mobilnya di Jeddah. "Saya mengambil anak saya dan membuat sopir saya duduk di kursi belakang dan melaju di sekitar Jeddah untuk mendukung kampanye ini. Ini masalah penyampaian pesan dan menegakkan prinsip. Ini bukan masalah apakah kampanye itu merupakan kegagalan atau tidak," katanya.

Sementara itu, sekelompok pemuda mengatakan kepada Arab News, mereka siap melaporkan ke polisi setiap wanita yang dipergoki mengemudi. "Kami akan mengambil gambar mereka dan memberikan polisi pelat nomor mereka berikut waktu dan tempat di mana mereka melaju," kata Hattan Abu Ras, salah satu nara sumber. "Mereka perempuan yang melawan syariah dan Dewan Tinggi Ulama, dan kami akan melakukan apa saja untuk menjaga mereka dari jalanan," ujar para pemuda itu.

Hillary Clinton Mendukung
Dari luar negeri, dukungan datang antara lain dari Hillary Clinton, yang ketika itu masih menjabat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS). Clinton memuji kampanye itu, namun menekankan bahwa mereka bertindak atas kemauan sendiri, atas nama hak-hak mereka, bukan atas perintah orang luar seperti dirinya. Komentar Clinton datang setelah aktivis meminta dia untuk menggunakan posisinya sebagai diplomat top AS dan berdiri sebagai advokat terkenal untuk kesetaraan perempuan untuk berbicara dalam mendukung tujuan mereka (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/06/23/ln7yts-women2drive-bentuk-pemberontakan-baru-wanita-arab).

Amnesti International  (AI) turut angkat bicara. Organisasi non pemerintah untuk perjuangan hak asasi manusia (HAM) ini terutama mengecam ketika seorang wanita Saudi divonis hukum cambuk 10 kali karena menantang larangan tersebut dengan menyetir sendiri.  Ironisnya, vonis tersebut dilaporkan dua hari setelah Raja Abdullah (akhirnya) memberi wanita hak untuk memilih dan terjun dalam pemilihan umum (pemilu) wilayah kota. Raja juga menjanjikan akan menyertakan wanita dalam pemilihan anggota Dewan Syura 2013 yang bertugas sebagai lembaga penasihat negara.

"Membolehkan wanita memberikan suara dalam pemilihan anggota dewan tentu sangat baik, namun jika mereka masih harus menghadapi hukuman karena mencoba memperjuangkan hak mereka dan kebebasan untuk bergerak dan berpindah,maka reformasi Saudi yang 'terlalu dielu-elukan' sesungguhnya sangat kecil maknanya,” demikian AI. (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/09/28/ls8ava-nekat-menyetir-sendirian-seorang-wanita-saudi-dijatuhi-hukum-cambuk-10-kali).

Efek Arab Spring
Ihwal perubahan hukum syariah pemerintah Arab Saudi yang akhirnya membolehkan wanita ikut berpartisipasi dalam pemilu, disampaikan seorang pejabat Saudi, pada 28 Desember 2011. Pernyataan itu menyebutkan, perempuan Arab Saudi berhak ikut pemilu tanpa perlu meminta persetujuan dari wali laki-laki—meskipun UU adanya wali laki-laki secara umum tidak berubah. Hak itu akan mulai berlaku pada pemilu 2015.

“Pada saat itu, perempuan juga akan diperkenankan pergi ke kantor untuk pertama kalinya,” kata seorang pejabat Arab Saudi. Perubahan itu merupakan langkah penting bagi penghapusan berbagai pembatasan yang diterapkan Kerajaan Saudi terhadap perempuan selama ini. Perubahan ini disinyalir merupakan bagian dari reformasi yang dipengaruhi peristiwa Arab Spring di Timur Tengah.

Anggota Dewan Syura, Fahad al-Anzi, mengatakan, pemberian hak pemilu bagi wanita ini berasal dari penjaga situs tersuci Islam, Raja Abdullah. Raja Abdullah terus mendorong sejumlah perubahan bagi hak-hak perempuan, namun dia melakukannya secara hati-hati. Pasalnya, dia tidak mau terlalu berlawanan dengan ulama ultrakonservatif Saudi yang tidak setuju dengan perubahan sosial, sementara  ulama-ulama ini merupakan pendukung religiusnya selaku pemimpin Arab Saudi.

 Seorang wanita profesor di bidang sejarah di Riyadh, Hatoun al-Fasi, mengatakan, pengumuman ini masih debatable. “Namun ini dapat menjadi pintu pembuka untuk diskusi selanjutnya. Dan kami sudah siap untuk memberikan hak tersebut kepada perempuan,” katanya (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/12/29/lwytjx-akhirnya-perempuan-saudi-boleh-ikut-pemilu).**

Tulisan terkait:

6/28/2013

Negeri "Sejuta" Larangan bagi Kaum Hawa



“Jangan jadikan dunia Arab sebagai titik pusat. Betul Islam lahir di sana, tapi bukan berarti apa yang dari sana pasti lebih baik. Islam Indonesia dengan segala kekhasannya jauh lebih menarik untuk zaman ini.” Kutipan ini diambil dari tulisan Nasihin Masha di rubrik Resonansi ROL. Nasihin memang menulis dalam konteks konflik di Suriah. Akan tetapi, kalimat yang dikutip dari tulisannya itu agaknya bisa mewakili pandangan umum tentang “Islam dan Arab” yang tidak bisa disimilarkan; termasuk dalam hal larangan-larangan “aneh” negeri tempat lahirnya  agama Islam tersebut, terhadap kaum wanitanya.

ROL
Belakangan ini, seiring dengan semakin mudahnya informasi diakses melalui unternet, kian banyak hal  “aneh” dikabarkan dari negeri emas hitam ini. Belum lama ini, meskipun menimbulkan kontroversi atas kebenaran kabar tersebut, seorang pria yang katanya berwajah terlalu tampan dilarang masuk ke tanah Arab, dengan alasan takut memancing histeria kaum wanitanya. Larangan tersebut memang ditujukan pada seorang pria, namun tetap saja berhubungan dengan wanita.

Sementara itu larangan-larangan yang ditujukan langsung pada kaum wanitanya, tak pernah surut. Selalu ada yang baru. Tujuannya katanya untuk melindungi kaum wanita dari pelecehan. Pertanyaannya, sedemikian parahnyakah kecenderungan pelecehan terhadap wanita oleh pria di sana. Atau, ada apa dengan pria dan wanita Arab? Atau mungkin ini juga setidaknya sedikit banyak membuktikan sisa-sisa sejarah mengapa Islam diturunkan di Arab Saudi? (lihat: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1647/1/arab-nasrah.pdf). Sebagian bisa juga berpendapat bahwa ada upaya pendiskreditan terhadap “Islam dan Arab” dalam pemberitaan-pemberitaan ini. Karena setidaknya beberapa kabar mengenai fatwa “aneh”, berujung kontroversi karena kemudian muncul penyangkalan.

Satu kabar teranyar dari sana menyebutkan, wanita Arab Saudi dilarang bekerja sebagai pelayan dan kasir di restoran yang berhubungan langsung dengan pengunjung, kecuali di bagian dapur. Menurut media lokal, asisten wakil pengembangan di Kementrian Tenaga Kerja, Fahad Al-Tuhkaifi, mengatakan, keputusan menteri ini dikeluarkan tahun lalu.

ArabNews mengutip seorang anggota Kamar dagang dan industri Jeddah, Aisha Natto, yang mengatakan, institusinya menghormati keputusan tersebut. Sementara itu, seorang pengusaha Saudi, Dalal Kaaki mengatakan, dia mendukung keputusan tak mengizinkan perempuan bekerja sebagai pelayan, namun tidak untuk kasir. Meskipun dia mengakui dengan mengatakan,"Pelecehan terjadi di seluruh dunia. Pejabat khawatir perempuan akan terkena pelecehan, sehingga mereka melarang mereka dari bekerja," ujarnya (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/06/28/mp3exa-wanita-saudi-dilarang-jadi-kasir-dan-pelayan-restoran). Larangan ini mungkin masih bisa diterima. Namun bagaimana dengan larangan wanita tamasya di taman dan menyetir mobil?

Stasiun televisi Al Alaam pada 27 Agustus 2012 melaporkan bahwa Badan Amar Makruf Nahi Munkar Saudi mengancam akan menutup taman-taman dan tempat rekreasi jika larangan terebut tidak dipatuhi. Badan ini telah mengeluarkan larangan bagi perempuan Arab Saudi di atas usia 12 tahun, berekreasi di taman-taman. Koran Al Quds Palestina, menulis, badan ini mengeluarkan peringatan kepada pengelola taman-taman dan tempat bermain untuk melaksanakan instruksi tersebut.

''Jika tidak mematuhi, badan itu akan menutup tempat-tempat tersebut atau membayar denda berat,'' tulis Al Quds Palestina. Menurut pengakuan warga Saudi, seperti ditulis situs irib.ir, pelarangan itu telah diberlakukan selama beberapa bulan terakhir, dan menuai protes keras dari warga Saudi (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/08/27/m9fats-wanita-saudi-dilarang-tamasya-di-taman).

Larangan berikutnya adalah, wanita Arab Saudi dilarang menyetir mobil. Alasannya, "Bila mereka dizinkan berkendara, hasilnya bencana besar dan mengarah pada 'ketiadaan perawan' demikian ujar dewan keagamaan tertinggi negara, Majelis al-Ifta al-Aala. Selain itu sebut majelis ini, dengan membolehkan wanita berkenda akan “memprovokasi peningkatan praktik prostitusi, pornografi, homoseksual hingga peceraian". Merespon larangan ini, sejumlah wanita melakukan aksi protes. Protes itu menuai konsekuensi cukup berat. Beberapa wanita pemrotes terancam dihukum cambuk, dipenjara, dan dikucilkan secara resmi. Begitu pula bagi mereka yang kepergok menyetir.

Satu riset di negara tersebut mengklaim, dalam 10 tahun saja jika larangan ini dicabut, tidak akan ada lagi “perawan' di negara kerajaan tersebut. Laporan riset itu keluar setelah laporan sebelumnya yang menyebut bahwa wanita diseru kuat untuk menutup seluruh wajah demi menghindari terlihatnya “mata menggoda” mereka terhadap kaum adam di negara itu. Menurut juru bicara Komite Promosi Moral Baik dan Pencegahan Tindak Imoral (CPVPV) di kerajaan teluk itu, wanita bisa jadi segera diwajibkan untuk menggunakan penutup seluruh wajah.

Jurubicara dari distrik Ha'el, Sheikh Motlab al Nabet, mengatakan, CPVPV memiliki hak menghentikan seorang wanita yang matanya “terlihat menggoda” dan memerintahkannya segera menutupinya. Wanita Saudi kini telah diwajibkan mengenakan jubah hitam dan menutup rambut dan wajah mereka. Pelanggaran dalam aturan itu bisa mengakibatkan denda atau sanksi lebih berat yakni hukum cambuk di tempat umum (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/12/07/lvtwm4-ini-alasan-wanita-saudi-dilarang-menyetir-sendiri-bakal-tak-ada-lagi-perawan).

Larangan ini lebih “aneh” lagi, meskipun kemudian ada bantahan. Seorang ulama Arab Saudi, Allamah Abu al-Barra, merilis sebuah fatwa yang mengharamkan seorang perempuan menyalakan pendingin udara (AC) ketika suaminya tidak ada di rumah. Seperti dilaporkan Al Alam, Allamah Abu al-Barra menulis fatwa haram tersebut di akun Twitter-nya. "Menyalakan pendingin oleh seorang perempuan tanpa kehadiran suaminya haram hukumnya,'' tulis Abu Al Barra seperti dikutip Al Alam.

Dia menyebutkan, tindakan perempuan yang menyalakan AC ketika suaminya tidak ada, sangat berbahaya;  dapat menyebarkan kemunkaran di tengah masyarakat. "Ketika seorang istri yang sendirian menyalakan AC di rumah, tetangga bisa saja menganggap si perempuan sedang berada di rumah. Hal ini  bisa menimbulkan tindakan perzinaan serta kemungkaran lainnya."  (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/06/26/mmtlie-ulama-saudi-istri-haram-nyalakan-ac-saat-suami-tidak-di-rumah).

Namun seorang yang pernah mengajar di Jeddah Da'wah Center, Fariq Gasim Anuz, dalam suratnya kepada Republika Online (ROL), mengatakan, dia tak mengenal ada ulama di Arab Saudi bernama Allamah Abu Al Barra. Selain itu dia mengritik bahwa berita ini bisa menimbulkan salah paham serta kebencian kepada saudara sesama Muslim (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/06/26/mozyni-tak-ada-yang-mengenal-ulama-bernama-abul-bara).

Pada 18 November tahun lalu, situs berita Bikya Masr melaporkan, perempuan di Arab Saudi dilarang menghiasi matanya dengan apapun. Jika ketahuan, akan diproses secara hukum. Langkah tersebut dinilai sebagai upaya represif baru terhadap perempuan di Arab Saudi yang merupakan negara Islam. Juru bicara CPVPV, Syekh al Motlab Nabet, mengatakan, pihaknya memiliki hak menghentikan perempuan menghiasi matanya kala berada di depan umum.

CPVPV beberapa kali dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Komite tersebut didirikan pada 1940 lalu. Fungsinya adalah memastikan hukum Islam tidak rusak dalam kehidupan sehari-hari di Arab Saudi. Pada 2002, sebuah laporan mengatakan, komite ini menolak memungkinkan siswa perempuan keluar dari sebuah sekolah yang terbakar di Makkah karena mereka tak mengenakan jilbab. Keputusan tersebut dikabarkan menyebabkan banyaknya jumlah yang tewas dalam kebakaran itu,  yakni 15 orang (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/11/18/luumse-perempuan-arab-saudi-dilarang-menghiasi-matanya).

Larangan berikut ini mungkin lebih “masuk akal” jika dikaitkan dengan sejarah penindasan kaum wanita, khususnya di jazirah Arab, yakni wanita Arab dilaporkan tak lagi diizinkan memberikan suara pada pemilihan umum anggota dewan Arab Saudi pada 2005. Pada 2009, sistem pemilihan sempat mengalami perubahan, perempuan kembali diberi hak pilih dan dapat dipilih. Namun dengan alasan kesulitan dan butuh waktu terlalu lama untuk mengatur logistik bagi perempuan, sistem baru pun tak jadi diberlakukan.

Para pejabat terkait menolak mengonfirmasi atau membantah laporan tersebut. "Kami tidak berbicara tentang jajak pendapat sampai peraturan baru untuk mengorganisasi pemilu dikeluarkan," kata seorang anggota dewan yang tak ingin disebutkan namanya. Menurut dia, peraturan baru nanti akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti jumlah anggota di setiap dewan, partisipasi perempuan, dll (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/03/24/likbep-kini-perempuan-saudi-tak-punya-hak-pilih).**

Tulisan terkait:
Negeri "Sejuta" Larangan bagi Kaum Hawa