5/21/2013

Imam Islamic Center New York Dukung Penghargaan kepada SBY


“Shamsi Ali: jangankan dengan yang berbeda agama,  sesama Muslim saja  ternyata yang “terekam” oleh internasional, Indonesia itu tidak bisa akur”

Warga Indonesia di Amerika Serikat (AS), khususnya Muslim yang sedang sibuk meredakan kembali Islamophobia, tampaknya merasa mendapat keuntungan dari isu pemberian penghargaan World Statesman Award dari lembaga Appeal for Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Karena ternyata komunitas Muslim di AS mendukung pemberian penghargaan tersebut. Sementara itu, kecaman keras muncul dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia, mulai  dari rohaniwan Katolik, hingga Muhammadiya dan Nahdlatul Ulama (NU).

Imam Mesjid New York, Shamsi Ali
Imam Islamic Center New York, Shamsi Ali, mengatakan, anugerah tersebut adalah kebanggaan bagi Indonesia. ''Mari kita menilai penghargaan ini tidak diberikan kepada pribadi (Presiden SBY). Tapi menilai penghargaan ini diberikan kepada negara dan bangsa Indonesia,'' kata Shamsi melalui surat terbuka yang dirilisnya, tertanggal Minggu (19/5/13).

Kata dia, selama ini internasional hanya mengakui Indonesia sebagai negara dengan umat Muslim terbesar dengan segala kemelorotan toleransi dan “kengerian” situasi. Internasional bahkan menuding Indonesia sebagai sekumpulan orang-orang yang tidak pernah akur dalam banyak hal. Jangankan dengan yang berbeda agama, sesama Muslim saja kata Shamsi, ternyata yang “terekam” oleh internasional adalah tidak bisa akur.

''Kalaupun merasa tidak puas dengan Bapak SBY (secara pribadi), harusnya merasa bangga dengan penghargaan atau pengakuan dunia ini untuk negara dan bangsa (Indonesia),'' kata Shamsi lagi. Untuk menerima penghargaantersebut, SBY bakal pergi ke New York 30 Mei.

ACF adalah yayasan pemerhati kemajemukan bangsa-bangsa dan agama di satu negara, berbasis di AS. Yayasan mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antarkepercayaan ini, didirikan seorang Rabbi (pemuka agama Yahudi) bernama Arthur Schneier pada 1965 silam. Penghargaan tersebut dikatakan imbas dari keberhasilan SBY merawat dan mengembangkan toleransi beragama di Tanah Air (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/20/mn3mlu-imam-masjid-new-york-dukung-penghargaan-untuk-sby).

Schneier dikenal sebagai Rabbi yang moderat dan toleran. Pada saat peristiwa bom Boston, dia termasuk yang memberikan imbauan agar peristiwa itu tidak memukul rata ke semua Muslim (lihat: http://www.huffingtonpost.com/rabbi-marc-schneier/boston-bombers-do-not-represent-american-muslims_b_3139374.html). Sedangkan Shamsi Ali adalah orang Indonesia yang menjadi Imam di Mesjid terbesar di New York, karena itu pernyataan-pernyataannya oleh warga AS dianggap menjadi corong Muslim pada umumnya, Indonesia khususnya. Saat di AS muncul isu bahwa wanita-wanita AS yang beralih ke agama Islam karena dipaksa mengikuti suaminya (berkenaan dengan kisah istri Tamerlan Tsarnaev, terduga pelaku bom Boston), Shamsi Ali menjadi salah satu nara sumbernya (lihat: http://live.huffingtonpost.com/r/segment/american-female-converts-to-islam/517fd3bc2b8c2a74eb00001b).

ACS memberikan penghargaan World Statesman Award  (Negarawan Dunia) kepada SBY karena Presien RI ini dinilai mereka berjasa dalam memperjuangkan kebebasan beragama dan hak asasi manusia (HAM). Ia juga dianggap berperan aktif membuka dialog antarumat beragama di level internasional. Staf khusus presiden bidang hubungan internasional, Teuku Faizasyah, mengatakan, penghargaan tersebut diberikan oleh organisasi yang independen dan tidak berafiliasi kepada kepentingan apa pun. Pemberian penghargaan kepada SBY diyakini telah melewati pengkajian, penilaian, dan pertimbangan yang memadai, hingga akhirnya mereka beranggapan SBY layak mendapatkan penghargaan tersebut (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/05/17/mmxsc3-abaikan-kritik-sby-tetap-terima-penghargaan-dari-as).

Lebih lanjut, dalam pernyataan yang juga dilansir di akun Facebook resminya, Shamsi mengatakan bahwa dia bukannya tidak setuju pada kegelisahan warga Indonesia atas gesekan-gesekan atau bahkan kekerasan-kekerasan yang terjadi  antar komunitas beragama di Indonesia. Tidak juga mengingkari ketidaksempurnaan pemerintah Indonesia dalam upaya menangani kekerasan-kekerasan itu. “Bahkan dalam beberapa kesempatan telah saya sampaikan kekecewaan, dan bahkan rasa malu saya sebagai anak bangsa, khususnya dalam kaitan dengan keaktifan saya dalam membangun hubungan dan kerjasama antar umat beragama di Amerika Serikat,” tulis Imam asa Indonesia ini.

Kekerasan-kekerasan antar Islam-Kristen, bahkan antara sesame Muslim; Sunni-Syi'ah, kata Shamsi, telah mencoreng wajah bangsa Indonesia, yang secara historis memiliki kultur yang damai dan bersahabat.  “Tentu fenomena ini menyedihkan, dan bahkan memalukan,” sebutnya.  Sebagai warga Indonesia yang tinggal di luar negeri yang cukup lama, sekitar 16 tahun, Shamsi merasa selalu disuapi berbagai informasi buruk mengenai Indonesia.

Karena itu kata Shamsi, pemberian penghargaan ini menjadi pelipur lara dan bahkan kebanggan bahwa ternyata ada perubahan yang terjadi di mata dunia. Bahwa kendati dengan berbagai kekurangan itu, dunia semakin mengakui bahwa Indonesia sedang berjuang untuk menjadi lebih baik, termasuk dalam tatanan kehidupan antar umat beragama. Shamsi mengharapkan, agar pihak-pihak yang mengecam pemberian penghargaan ini, memakai kacamata yang lebih besar. “Lihatlah pemberian penghargaan ini sebagai pengakuan dunia terhadap Indonesia dan bukan pengakuan dunia kepada Bapak SBY,” tuturnya (https://www.facebook.com/ImamShamsiAliOfficial?fref=ts).

Aliran Protes
Sementara itu, kecaman muncul dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia.  Tokoh pluralisme, Franz Magnis Suseno, melalui email, melayangkan surat protes terbuka ke ACF. Pastur Katolik dari ordo Jesuit ini mengatakan, SBY tidak pantas menerima penghargaan tersebut. Dalam suratnya, pria asal Jerman yang akrab disapa Romo Magnis ini menulis,  selama 8,5 tahun pemerintahan SBY, yang terjadi adalah meningkatnya kekerasan antar umat beragama dan tidak adanya toleransi. Dia memberi contoh perisitiwa kekerasan terhadap penganut Syiah, Ahmadiyah, dan juga sulitnya umat kristen mendirikan tempat ibadah.

Namun Romo Magnis kemudian menegaskan, bahwa sebenarnya dia bukan memrotes penghargaannya, melainkan nama penghargaan dan alasan diberinya penghargaan itu kepada SBY yang menurutnya tidak tepat (http://dennyja-world.com/2013/05/romo-magnis-protes-rencana-gelar-negarawan-untuk-sby/). Atas surat Romo Magnis ini, Mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafii Maarif, mendukung apa yang dilakukan Romo Magnis.

“Saya setuju dengan apa yang dilakukan Romo Magnis. Saya ikut protesnya. Saya juga sudah SMS beliau,” kata Buya Maarif, sapaan akrabnya. Buya bahkan memuji surat Romo itu sebagai surat protes yang sangat baik dengan makna yang mendalam. “Dia biasanya begitu halus. Kali ini dia sangat keras, dan sikap saya sama dengan dia,” katanya.

Buya Maarif pun memberi latar belakang sikapnya itu. Dia mengaku tidak setuju dengan ideologi Ahmadiyah, misalnya. Tetapi kaya Buya, itu adalah urusan mereka. Namun kata Buya, mereka juga warga negara yang sah dan wajib mendapatkan perlindungan hukum. “Secara konstitusional negara wajib memberi perlindungan hukum,” kata dia. Sementara yang terjadi lanjut Buya adalah pemerintahan yang diam saja, polisi yang  tidak berfungsi. “Hal ini terjadi karena pemerintah lembek,” katanya (http://m.satuharapan.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=1369&cHash=985e399d57c7b18fa51c6e79925d5f9e).

Bukan saja dari kalangan Muhammadiyah, protes juga meluncur dari kalangan NU. Seorang anak kyai NU bernama Imam Shofwan, meminta ACF menunda pemberian penghargaan tersebut. Imam mengajak siapa saja untuk bergabung dengan memparaf dan menyebar petisinya yang bisa diakses di www.change.org (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/17/mmy3mb-petisi-online-galang-dukungan-tolak-gelar-sby).

Sementara Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai, sebaiknya penghargaan yang ditonjolkan kepada SBY  adalah penghargaan dari rakyat, bukan dari asing. Ray menjelaskan pemimpin terdahulu pun tidak mengharap dapat penghargaan dari asing, seperti Presiden Soekarno, Jenderal Sudirman, Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta (http://www.metrotvnews.com/metronews/video/2013/05/18/1/177541/Lingkar-Madani-Indonesia-Kritik-Award-Untuk-SBY).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar