5/23/2013

Susu Formula adalah Obat Resep Dokter


“Pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan susu formula selama dua tahun (sama dengan ASI eksklusif), bisa menghabiskan Rp 25 juta lebih per satu anak”

Docosahexaenoic Acid alias DHA dan laktoferin, kerap digadang-gadang di dalam iklan-iklan susu formula. DHA dikatakan mampu mendongkrak tumbuh kembang otak dan retina anak. Sementara laktoferin, zat yang sebenarnya hanya ada dalam air susu ibu (ASI), diiming-iming bisa membentuk kekebalan bayi.

guidepointglobal.com
Ketika susu-susu formula ini dipromosikan dengan mendompleng bahan-bahan yang ada di dalam ASI, Utami Rusli, dokter anak yang juga pegiat ASI, tentu saja menolak keras. Zat-zat yang diconteknya, kata Utami, bisa saja sama atau bahkan lebih unggul. ''Tapi kemampuannya untuk diserap usus bayi, nanti dulu,'' ujarnya. ASI, jelas Utami, dilengkapi zat yang membuat DHA dan laktoferin terserap sempurna oleh usus bayi. Sementara pada susu formula, tak ada satu zat pun yang mampu memaksa usus bayi  menyerap sempurna bahan tersebut.

DHA sebenarnya sama saja dengan asam lemak Omega 3, serta Omega 6 dan Omega 9. DHA dan saudaranya, eicosapentaenoic acid (EPA), merupakan asam lemak tak jenuh rantai panjang. Berbeda dengan asam lemak non-esensial yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh, asam lemak ini harus disuplai dari luar tubuh. Sumbernya bisa dari ikan laut sebangsa sarden atau salmon (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/05/07/mmdmsh-jangan-mudah-dirayu-iklan-susu-formula-ini-alasannya).

Kandungan Omega-3 pada ikan-ikan itu (termasuk juga pada makarel, udang, dan kerang) memang dikaitkan dengan kesehatan otak. DHA/omega-3 merupakan salah satu lemak yang membantu fungsi kognitif otak. Pada orang dewasa, fungsi kognitif akan mempengaruhi kegiatan sehari-hari seperti bekerja, belanja mengemudi, dan olahraga (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/11/12/04/lvnkol-konsumsi-ikan-salmon-biar-otak-tidak-lemot).

Ketika DHA—dan zat-zat lainnya yang menyerupai yang ada pada ASI—ada pada susu formula, tentu karena produsennya menambahkan ke dalamnya. Harapannya, susu formula akan menjadi mirip ASI. Bahkan jika perlu, susu formula dibuat mengungguli ASI baik dalam kandungannya maupun performanya. Namun kata Utami, tidak mungkin susu formula akan sama persis dan sempurna seperti ASI. Penambahan zat besi misalnya, jika usus bayi tidak sanggup menyerapnya, maka sisanya akan tertimbun dalam usus bayi yang bisa mengundang bakteri.

Keresahan Utami atas penyesatan informasi dalam iklan-iklan susu formula, memang beralasan. Pasalnya kata dia, hampir semua iklan susu ditanggapi serius oleh konsumen. Sehingga, proses yang terjadi kemudian bukan sekedar pengenalan produk tapi pembodohan konsumen. Ia mencontohkan seorang karyawati yang mengeluhkan gajinya tidak cukup untuk membeli susu kaleng untuk anaknya. ''Saat saya tanya ada apa dengan ASI-nya, ia jawab ASI saja tidak cukup untuk membuat anak cerdas karena tidak mengandung DHA,'' ujar Utami sambil geleng-geleng kepala (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/05/07/mmdmsh-jangan-mudah-dirayu-iklan-susu-formula-ini-alasannya).

Susu Formula “Eksklusif”
Senada, Inna Banani dari Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mengatakan, sampai saat ini memang masih banyak ibu muda yang sepertinya tidak puas jika hanya memberikan ASI kepada bayinya. “Dalam pemahaman mereka, susu formula jauh lebih baik daripada ASI karena adanya banyak tambahan nutrisi di dalamnya," ungkap Inna. Terlebih lagi, susu formula bukan barang murah. AIMI sebut Inna, pernah membandingkan pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan susu formula selama dua tahun (sama dengan ASI eksklusif), per satu anak bisa menghabiskan Rp 25 juta lebih. "Bandingkan dengan ASI, semuanya gratis dengan nutrisi yang paling lengkap daripada semua susu formula merek apa pun," katanya (http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/14420071/Mengapa.Banyak.Ibu.Pilih.Susu.Formula.untuk.Bayi).

Lebih mengerikan lagi, terlalu banyak mengonsumsi susu formula—terutama jika diberikan pada anak sejak lahir—alih-alih mendongkrak tumbuh kembang otak, ternyata malah berpotensi membuat otak bayi tidak berkembang. ''Risiko sistem jaringan otak tidak terbangun, mencapai 20 persen,'' kata Penasihat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) DKI Jakarta, Sri Purwanti Hubertin.

Sri mengatakan, taurin dan asam amino rantai panjang untuk proses kematangan otak banyak terdapat di ASI dan hanya sedikit pada susu sapi. Protein whey yang mudah diserap usus bayi dan digunakan 100% oleh tubuh bayi, ada pada ASI. Protein whey pada ASI mencapai 65 persen, sedangkan pada susu formula maksimal hanya 20%, sisanya protein casein. Protein whey diketahui mengandung enzim, hormon, antibodi, faktor pertumbuhan, dan pembawa zat gizi.

Dalam satu artikel Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) disebutkan, protein casein dalam susu formula yang mencapai 80 persen, sulit dicerna usus bayi. Sisanya yang tak tercerna akan dibuang melalui ginjal, karenanya ginjal bayi akan dipaksa bekerja membuang casein. Ini kata Sri, menjadi salah satu pemicu banyak kasus gagal ginjal pada anak. Saat ini kata dia, anak usia 14-15 tahun ada yang sudah menderita gagal ginjal.

Risiko lain dari konsumsi susu formula kata Sri, adalah mudahnya terjadi pengapuran pada pembuluh darah. Di dalam ASI kata Sri, ada enzim penghancur lemak-lemak yang tidak diperlukan tubuh. Pada susu formula, enzim penghancur tidak terbentuk sehingga lemak mengendap di dalam tubuh yang menyebabkan pengapuran pada pembuluh darah. “Saat ini banyak orang stroke muda. Salah satu penyebabnya adalah pengapuran yang terjadi pada pembuluh darah,'' tutur dia (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/10/08/23/131365-susu-formula-berisiko-menyebabkan-otak-tak-berkembang).

Resep Dokter

Sesuai ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), susu berlabel formula itu sebenarnya susu yang harus dibeli dengan resep dokter, alias tidak bisa dijual bebas. “Di Indonesia ada susu formula untuk bayi baru lahir sampai orang yang mau meninggal, dan dijual bebas tanpa resep dokter. Kalau ada orang WHO ya pasti terkejut,” kata Rizal Altway, dokter spesialis anak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo (RSUD).

Ia menjelaskan, sebenarnya setelah berusia 2 tahun, anak tidak membutuhkan susu. Seluruh kecukupan kalori dan nutrisinya sudah bisa dipenuhi dari makanan biasa. Kalau mau pun, lanjut dia, untuk anak usia 1-2 tahun cukup berikan 200 mililiter susu formula (sekitar 50 gram susu bubuk) pada jeda waktu antara makan siang dan makan malam. Ini bisa diberikan setelah anak menghabiskan kudapan sore, atau di antara waktu makan siang/malam dan mengudap.

Rizal mengatakan, orang tua jangan menyerahkan tanggung jawab tumbuh-kembang anak  pada susu formula/sapi. “Perlakukan susu sapi sama derajatnya dengan makanan biasa. Jangan mudah terprovokasi anjuran produsen susu agar anak minum minimal dua gelas per hari (seperti anjuran dalam label kemasan),” ujarnya (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/204181--susu-formula-seharusnya-pakai-resep-dokter).

Inna Banani juga mengatakan, susu formula sebenarnya adalah "obat" yang mengandung bahan kimia yang harus diresepkan oleh dokter. Susu formula hanya diberikan kepada bayi-bayi yang bermasalah karena tidak bisa minum ASI. Padahal dalam kasus bayi prematur pun kata Inna, ASI terbukti bisa membantu bayi meningkatkan bobot tubuh, status gizi, dan juga menutrisi tubuhnya dibandingkan susu formula (http://nasional.kompas.com/read/2013/03/14/14420071/Mengapa.Banyak.Ibu.Pilih.Susu.Formula.untuk.Bayi).

Pada Oktober 2010 lalu, kementerian kesehatan pernah mengeluarkan pernyataan melarang produsen susu formula beriklan di media massa. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat itu, Sudaryatmo, mendukung larangan tersebut untuk meluruskan mitos susu formula yang seolah lebih bagus daripada ASI. "Alangkah baiknya jika larangan ini ditingkatkan menjadi undang-undang untuk mempertegas pemberian ASI bagi bayi," ujar Sudaryatmo (http://news.detik.com/read/2010/10/25/222034/1474740/10/). Namun tampaknya harapan Sudaryatmo ini bagai menguap ke udara. Saat ini, iklan susu formula tetap saja ramai.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar