5/02/2013

Kewalahan Hadapi Pemberontak, Suriah Curhat ke PBB


Krisis Timur Tengah (Timteng) terkini yang semula berawal di Mesir, telah merembet secara mengherankan hingga Suriah. Bahkan Presiden Libya, Moamar Kadafi (alm), bagai menjadi tumbal bagi perjalanan sejarah konflik dan drama umat manusia teranyar ini. Kini masyarakat dunia, khususnya Islam, dibingungkan atas krisis di Suriah; tak tahu harus membela yang mana. Keduanya sama-sama meneriakan Allahu Akbar saat menembakkan senjatanya.

Warga Suriah, bertahan di reruntuhan rumahnya
Rezim Presiden Bashar al-Assad tampaknya memang korup. Namun para pemberontak alias koalisi oposisi, diduga didukung negara-negara Barat yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Kewalahan dengan perlawanan para pemberontak, Kementerian Luar Negeri Suriah menyurati PBB. Isinya berupa tuduhan bahwa di balik berlanjutnya aksi terror, ada bermacam bentuk dukungan yang diberikan kepada kelompok bersenjata yang (mereka duga) berkaitan dengan Alqaidah, dalam bentuk uang kontan, pelatihan, dan senjata.

Dalam dua surat yang ditujukan kepada Presiden Dewan Keamanan (DK) dan Sekretaris Jenderal PBB, Kementerian itu menyatakan, dukungan yang diberikan oleh “negara tertentu” ini merupakan pelanggaran nyata negara tersebut terhadap peraturan internasional dan resolusi PBB dalam hal memerangi terorisme.

Kementerian tersebut merujuk terutama pada peristiwa pemboman mobil yang ditujukan kepada Perdana Menteri (PM) Wael al-Halqi di dekat Ibn Rushd Park di Darah Al-Mazzeh, Damaskus, pada Senin (29/4). Ledakan bom ini merenggut empat nyawa serta melukai 16 lainnya, tapi sang PM sendiri selamat. Pemboman itu, kata Kementerian tersebut, mengakibatkan kerusakan besar pada Gedung Kementerian Perhubungan, serta satu sekolah dan taman kanak-kanak di daerah yang berpenduduk padat ini. Surat Kementerian itu juga merujuk kepada pemboman yang terjadi di permukiman Marjeh, pusat sejarah dan komersial di Damaskus, Ibu Kota Suriah, pada Selasa (30/4), yang menewaskan 13 warga sipil dan melukai lebih dari 70 orang (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/02/mm61fv-suriah-kecam-negara-yang-persenjatai-gerilyawan).

Krisis Suriah telah diprediksi sejumlah pengamat sebagai rembetan dari krisis yang terjadi di Mesir pada 2011. Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof Dr Syafii Maarif, misalnya, pernah memperkirakan aksi menuntut penggulingan Presiden Mesir ketika itu, Hosni Mubarak, akan merembet ke sejumlah negara di Timteng, khususnya yang mempunyai karakter pemerintahan mirip dengan Mesir.

Syafii Maarif mengatakan, pada Februari 2011, krisis Mesir sudah merembet ke Yaman dan Yordania. Sementara Saudi Arabia lolos dengan alasan peran keluarga raja dan para bangsawannya sangat dominan. "Sedangkan Turki tidak, karena sudah berubah dan lebih modern," ujarnya (http://news.detik.com/read/2011/02/05/162051/1560781/10/syafii-maarif-krisis-mesir-akan-merembet-di-negara-timur-tengah-lainnya).

Krisis Suriah diawali dengan aksi unjuk rasa warganya yang semula berjalan damai. Belakangan, aksi itu berubah menjadi bentrokan bersenjata yang telah merenggut banyak korban jiwa sejak awal 2011 (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/28/m6b58d-italia-cemas-krisis-suriah-merembet). Krisis ini diawali dari Mesir, kemudian merembet ke negara-negara tetangganya. Selain ke Yaman dan Yordania, juga ke Bahrain, Tunisia, hingga Oman. Ketika negara lain mereda, Suriah berlanjut menjadi perang saudara (http://buletininfo.com/?menu=news&id=5972).

Alotnya perang saudara di Suriah, karena dukungan senjata dari luar negeri nyata-nyata mengalir ke Suriah. Jika Kementerian Luar Negeri Suriah menuduh ada “negara tertentu” yang mempersenjatai pemberontak, maka Barat juga menuding pemerintah berkuasa Suriah mendapat dukungan senjata dari Rusia dan Iran. Kekuatan dua blok dunia memang sudah runtuh, namun bertransformasi dalam gaya berbeda.

Bahkan Amerika Serikat (AS), yang pada Maret lalu masih "malu-malu" mendukung persenjataan ke Suriah, dan mengatakan hanya akan menawarkan bantuan pangan dan medis, pada Kamis (2/5) telah berubah pikiran dan bersiap mengirim senjata mematikan ke pihak oposisi. Pejabat Senior Pemerintah AS mengatakan, Presiden Barrack Obama (akhirnya) mempererat hubungan dengan para sekutunya untuk menggulingkan Bashar al-Assad. AS akan lebih agresif dalam berperan di antara sekutu. Para pejabat tidak menentukan apa peralatan yang akan dikirim AS. Meskipun, pejuang oposisi secara khusus meminta senjata antitank dan rudal (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/05/02/mm5zjs-obama-akan-kirim-senjata-ke-oposisi-suriah)

GlobalPost pada Maret lalu (15/3) melansir, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland, mengatakan, AS mendukung rencana Inggris dan Perancis untuk menyuplai senjata bagi pemberontak Suriah, dan juga menyambut baik rencana meringankan embargo senjata yang diterapkan Uni Eropa (UE). Namun kata Nuland, AS sudah membuat keputusan sendiri dengan hanya menyediakan bantuan militer non-mematikan. 

"AS jelas tidak akan menempatkan diri di tengah-tengah diskusi internal mereka. Tetapi, kami pasti ingin melihat pemerintah sebanyak mungkin memberikan dukungan pada koalisi oposisi Suriah," ujar Nuland. Sebelumnya, Presiden Prancis, Francois Hollande, telah mendesak para pemimpin UE untuk mencabut embargo senjata ke Suriah, demi membantu pejuang pemberontak menggulingkan rezim Bashar al-Assad (http://international.sindonews.com/read/2013/03/15/42/727750/as-dukung-rencana-suplai-senjata-bagi-pemberontak-suriah).

Sehari sebelumnya (14/3), Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius, mengatakan, embargo tersebut mesti diperbaharui bulan Mei 2013. Namun dalam wawancara dengan satu radio Prancis, Fabius mengatakan Prancis ingin itu segera dilakukan. Hal ini dikatakannya seraya menyebutkan bahwa jumlah korban sudah mengerikan; lebih dari 70.000 orang tewas, dan lebih dari satu juta mengungsi dalam krisis Suriah.

Ia mengatakan, jumlah senjata yang tidak berimbang tidak dapat diterima, dan menekankan kembali tuduhan negara-negara Barat bahwa Iran dan Rusia memasok senjata kepada pemerintah Suriah. Sementara itu, katanya, pemberontak Suriah tidak memiliki sarana yang memadai untuk membela diri. Fabius juga mengatakan, Perancis dan Inggris akan bertindak sepihak jika gagal membujuk negara-negara UE lainnya untuk mencabut embargo. Ini dikatakan Fabius karena Jerman telah menolak bergabung, dengan alasan khawatir jika makin banyak senjata akan menyebabkan konflik menyebar secara regional.

Selasa (12/3), Perdana Menteri Inggris, David Cameron, berharap, Inggris bisa bergerak sepihak jika UE gagal mencabut embargo. Reuters melaporkan, rudal anti-pesawat termasuk dalam senjata yang mungkin akan disediakan kepada para pejuang pemberontak. Inggris telah membujuk UE menyediakan bantuan dalam bentuk non-senjata kepada pemberontak, yang kemungkinan mencakup kendaraan lapis baja (http://m.voaindonesia.com/a/1621762.html).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar