5/01/2013

Muslim AS Kembali Sibuk Redakan Islamophobia


"Gelombang kecurigaan dan tuduhan telah dimulai ketika seorang mahasiswa Saudi yang turut cedera oleh ledakan bom Boston, diberi label tersangka oleh New York Post"

Minoritas muslim di dunia, khususnya di Amerika Serikat (AS), kecewa begitu mengetahui bahwa pelaku peledakan bom di Boston 15 April lalu adalah muslim. Pasalnya, mereka baru saja mulai bangit dari tekanan islamophobia akibat peristiwa peledakan menara WTC di New York pada 11 September 2001 (9/11). Atas situasi yang kembali menempatkan posisi muslim dalam situasi sulit ini, tiga remaja muslim AS misalnya, mencoba mengajak masyarakat AS untuk lebih mengenal Islam dan Muslim.

Demi itu, ketiga remaja yang terdiri dari Adam Saleh, Sheikh Abdullah Akbar, dan Ghuman, membuat video yang mereka unggah di Youtube. Ketiga remaja yang menyebut diri mereka TrueStoryASA ini, berharap agar setiap orang yang melihat video mereka, baik itu Muslim maupun non-Muslim untuk saling berjabat tangan, berbicara, dan mengambil gambar (http://www.republika.co.id/berita/video/berita/13/05/01/mm3os6-aksi-damai-tiga-remaja-muslim-amerika).

Dalam video itu, tampak ketiga remaja ini berdiri di pedestrian New York dengan membawa poster bertuliskan “meet a muslim person”. Dalan video yang mereka unggah itu sebagian besar warga bereaksi positif. Namun ada saja warga yang berkomentar negatif (lihat: http://www.youtube.com/watch?v=Z4U1dWtmHBM).

Seperti diketahui, Senin (15/4) petang waktu setempat, dua bom meledak di tengah pertandingan lari maraton di Boston, AS. Bom meledak sesaat sebelum peserta mencapai garis finis. Ribuan penonton pun serta merta berhamburan. Aksi pengeboman ini menewaskan tiga orang dan mencederai lebih dari 144 orang. Saat ini, AS merupakan rumah bagi 2,45 juta Muslim, atau sekitar 0,8 persen dari total penduduk.

Ketika FBI sibuk mengidentifikasi dua tersangka pelaku bom Boston sebagai Tamerlan Tsarnaev (26) dan Dzokhar Tsarnaev (19), yang adalah Muslim Chechnya, komunitas Muslim AS bersiap untuk serangan sentimen anti-Islam yang telah berlangsung sejak peristiwa  “9/11. Bahkan, gelombang kecurigaan dan tuduhan telah dimulai ketika seorang mahasiswa Saudi yang turut cedera oleh ledakan bom Boston, diberi label tersangka oleh New York Post. Di media sosial Twitter, hashtag #Muslim menjadi trending topic, sebagai reaksi atas tweet kontributor Fox News, Erik Rush, yang menjawab komentar tweep lainnya dengan menulis, "Ya, mereka jahat. Mari kita bunuh mereka semua."

Komite Anti-Diskriminasi Arab Amerika (ADC), mengeluarkan pernyataan keprihatinan mendalam atas berbagai  laporan ancaman terhadap Arab dan Muslim AS (http://news.nationalgeographic.com/news/2013/13/130426-boston-marathon-bombing-racism-hate-anti-arab-muslim-tamerlan-dzokhar-tsarnaev/). Beberapa jam setelah ledakan misalnya, seorang pria Bangladesh mengatakan kepada polisi ia diteriaki "Arab" dan dipukuli di New York. Seorang wanita Muslim berjilbab di sebuah kota dekat Boston mengatakan, ia dipukul di bagian bahu dan disebut teroris. Ketika masyarakat mengetahui bahwa FBI mengejar dua pria Muslim keturunan Chechnya, Muslim AS takut yang terburuk akan terjadi.

Pemimpin hak-hak sipil Muslim mengatakan, reaksi anti-Islam (sebenarnya) telah lebih diredam saat ini dibanding setelah peristiwa "9/11", yang telah memicu ledakan vandalisme, pelecehan dan kekerasan. Ibrahim Hooper dari Dewan Hubungan Amerika-Islam, yang memonitor bias dan kejahatan
kebencian terhadap umat Islam, mengatakan, organisasinya telah melihat tidak ada tren naik dalam laporan pelecehan, serangan, atau kerusakan masjid sejak insiden Boston. Namun mereka mencatat "paduan suara" yang meluas di AS dalam hal generalisasi kesalahan terhadap umat Islam (http://abcnews.go.com/US/wireStory/muslims-backlash-boston-bombing-19052518).


Raed Jarrar, direktur komunikasi ADC, berharap, kekerasan fisik terhadap Arab dan Muslim akan mereda, meskipun pesimistik. Terlebih ketika mantan anggota Kongres dari Partai Republik asal Illinois, Joe Walsh, pada 23 April, mengelurakan pernyataan provokatif,  "Musuh kitapemuda Muslim."

Jarrar mengungkapkan, ada kecenderungan tindakan diskriminasi, khususnya terhadap Arab-Amerika, memburuk setiap tahun. FBI melansir, jumlah tertinggi kejahatan kebencian anti-Islam terjadi pada 2001 sebagai reaksi atas tragedi “9/11. Tahun ini, ada 481 insiden yang dilaporkan, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 28 insiden. Pada 2002, jumlah insiden turun menjadi 155. Penurunan ini disebabkan adanya pernyataan Mark Potok, seorang ahli ekstremisme di Southern Poverty Law Center, yang mengamini pidato Presiden George Bush yang  mengatakan bahwa Arab dan Muslim bukanlah musuh AS seperti halnya Alqaeda.

Meskipun tokoh masyarakat dapat memberi pengaruh baik, kata Potok, namun dia menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi kekuatan buruk, yang memungkinkan pengguna Internet yang jumlahnya jutaan orang, mengatakan hal-hal buruk. Itu kata Potok, membuat orang lebih mudah berpartisipasi dalam Islam bashing”. (http://news.nationalgeographic.com/news/2013/13/130426-boston-marathon-bombing-racism-hate-anti-arab-muslim-tamerlan-dzokhar-tsarnaev/).

Tak dimungkiri, tragedi bom Boston telah memberikan tekanan psikologis terhadap Muslim AS. “Kami menemukan banyak jamaah yang merasa tertekan. Untuk itu, kami datang ke masjid menenangkan diri," ujar Imam Islamic Center Boston, William Suhaib Webb, seperti dikutip Boston Globe, Ahad (28/4). (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/13/04/28/mlyefz-tertekan-karena-bom-boston-muslim-as-gelar-pengajian).

Sebelum pelaku pemboman Boston diketahui sebagai muslim, komunitas Muslim AS terus berdoa dan berharap pelakunya bukan muslim. Mereka sempat lega, karena berdasarkan foto yang dirilis FBI (biro penyelidik federal), pelakunya diketahui berkulit putih. Namun ketika akhirnya tersiar kabar bahwa pelaku pemboman berasal dari muslim Chechnya, harapan mereka pupus. Perjuangan komunitas muslim AS untuk menepis anggapan dan stigma negatif terhadap mereka kembali ke titik nol.

Ketua Nahdatul Ulama (NU) di Amerika Utara, Shalahudin Kafrawi, mengatakan, pandangan publik AS terhadap Islam setelah peristiwa "9/11" berlalu, sebenarnya mulai ada perubahan. "Ini bisa terlihat ketika publik dan pejabat AS sangat berhati-hati sekali dan tidak mudah mengasumsikan dalang pengeboman," kata pria yang telah bermukim di AS sejak 1998 ini. Hal ini kata Shalahudin, sempat membuat lega dan senang teman-temannya sesama akademisi yang berasal dari komunitas muslim (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/407530-muslim-as-kecewa-dalang-bom-boston-dari-komunitas-islam).

Mantan Senator asal Missouri, Christopher S.“Kit” Bond, juga mengkhawatirkan pandangan rakyat AS terhadap Islam kembali memburuk. Padahal  kata Bond, masyarakat AS sudah mulai menerima nilai-nilai Islam moderat, tidak seperti seusai kejadian terorisme "9/11". “Saya takut ini akan melahirkan kembali kecurigaan terhadap Muslim, padahal ini adalah tindakan orang yang mengatasnamakan Islam untuk keyakinan mereka sendiri,” kata Bond di kantor PBNU Jakarta, 24 April lalu.

Bond berada di Jakarta untuk menerima penghargaan dari NU atas upayanya mempromosikan nilai-nilai Islam moderat di AS. Bond dikenal sebagai pakar Asia Tenggara. Kedekatan dan kekerapannya berkunjung ke negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara membuatnya dijuluki Senator dari ASEAN. Bersama dengan pemenang hadiah Pulitzer, Lewis Simons, Bond pernah menulis buku “The Next Front: Southeast Asia and the Road to Global Peace with Islam”. (http://www.tempo.co/read/news/2013/04/23/116475396/Kekhawatiran-Bekas-Senator-AS-Pasca-Bom-Boston).

Menanggapi insiden ini, Rabbi Marc Schneier, pemimpin umat Yahudi di AS, juga melihat adanya kecenderungan berbahaya untuk menyalahkan komunitas Muslim AS secara keseluruhan atas perbuatan keji segelintir Muslim. Salah satu indikasinya kata Schneier, Anggota Kongres AS, Peter King, telah kembali membuat generalisasi yang mencap semua Muslim AS sebagai radikal. "Ancaman teroris berasal dari komunitas Muslim, seperti halnya Mafia datang dari masyarakat Italia,” komentar King, lima hari setelah insiden bom terjadi.  

Schneier adalah presiden The Foundation for Ethnic Understanding, AS. Dia juga co-authoring buku berjudul “Sons of Abraham” yang dibuatnya bersama dengan Shamsi Ali, Imam Islamic Center New York asal Indonesia (http://www.huffingtonpost.com/rabbi-marc-schneier/boston-bombers-do-not-represent-american-muslims_b_3139374.html).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar