Pernah
diberi resep antibiotik? Dokter yang memberi resep antibiotik biasanya akan
memberi embel-embel bahwa obat ini harus diminum habis. Masalah timbul jika
pasien adalah anak-anak atau bahkan lansia. Mereka umumnya harus dicereweti agar
menghabiskan antibiotiknya, sementara mereka sudah merasa sehat. Robert W Steele MD, seorang dokter anak, mengatakan,
kebanyakan bakteri dari penyakit sederhana (seperti radang tenggorokan, infeksi
telinga, dll) bereaksi cepat terhadap antibiotik, sehingga pasien merasa sudah
sembuh. Padahal tata cara minum antibiotik itu harus tuntas dan tepat waktu,
karena boleh jadi si bakteri hanya mati suri.
ROL |
Dokter
anak dari St John's Regional Health Center di Springfield, Amerika Serikat (AS)
ini memperingatkan, karena konsumsi antibiotik tidak tuntas, bisa saja ada bakteri yang belum terbunuh. Dan
ini berpotensi membuat infeksi akibat bakteri datang lagi dalam kasus sakit
yang sama atau berbeda. Selain itu Steele menjelaskan bahwa bakteri berkembang
biak sangat cepat, dan ini berpotensi membuat mereka mengalami kesalahan acak
pada DNA-nya yang bisa membuat mereka resisten terhadap antibiotik.
Karena
itu kata Steele, dosis antibiotik dari dokter sebaiknya dikonsumsi tepat waktu,
sesuai aturan yang diberikan dokter. "Hal ini akan membunuh bakteri dengan
cepat dan efisien,” ujar Steele. Penjelasannya, ketika bakteri undertreated, beberapa dari mereka
mungkin memiliki cukup waktu untuk menyimpang dari yang seharunya terjadi pada DNA
mereka ketika dipapar antibiotik. Selain itu, tak tuntas dan tak tepat waktu konsumsi
antibiotik membuat bakteri makin
tangguh. Beberapa bakteri dapat membuat sistem kekebalan tubuh melakukan
hal-hal yang tidak seharusnya.
Steele
mengambil contoh kasus klasik radang tenggorokan yang menyebabkan demam rematik
(rasa sakit pada sendi-sendi saat flu, Red). Diperkirakan, ada senyawa pada tubuh
yang secara kimiawi memiliki komponen mirip dengan kuman yang menyebabkan
radang tenggorokan, yakni grup bakteri A Streptococcus. Ketika sistem kekebalan
tubuh mulai mencoba melawan bakteri penyebab radang tenggorokan, tubuh jadi kebingungan
(khususnya terjadi pada bagian-bagian tertentu dari otak, sendi, ginjal, dan
jantung). Tubuh mengalami kesulitan mengidentifikasi bakteri yang“asli”. Butuh beberapa hari untuk demam rematik akut itu
muncul setelah infeksi tenggorokan.
Mungkin
ini akan menjadi “promosi” buat penggunaan antibiotik, karena serangan ganda
ini hampir tidak pernah terjadi jika radang tenggorokan diobati tuntas oleh antibiotik.
Padahal radang tenggorokannya sendiri bisa saja sembuh hanya dengan mengandalkan
sistem kekebalan tubuh alami. Penggunaan antibiotik menjadi bersifat membantu
membunuh bakteri lebih cepat dan agar pasien terhindar dari serangan demam
rematik (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/11/01/20/159589-mengapa-obat-antibiotik-harus-dihabiskan-walau-sakit-sudah-pergi-).
Sementara
itu, Prof Dr Maksum Radji, M.Biomed, ahli mikrobiologi Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia, mengatakan, konsumsi antibiotik yang tidak tuntas
membuat bakteri sekedar pingsan atau sekarat. Bagai sudah mempelajari “gaya” si
antibiotik, sang bakteri yang bangun lagi ini akan menjadi kebal jika kelak
diberikan antibiotik yang sama, apalagi dengan dosis yang sama.
Ketua
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Drs M Dany Pratomo, MM, Apt, menambahkan, tak
ada istilah bagi antibiotik dicadangkan untuk sakit berikutnya. Juga tak boleh
ada istilah berhemat untuk sakit berikutnya. ((http://health.detik.com/read/2012/09/05/095618/2008280/775/memangnya-kenapa-kalau-antibiotik-tidak-dihabiskan).
Alih-alih mengirit pengeluaran, bisa jadi pasien malah akan terancam penyakit
yang lebih parah akibat bakteri yang telah bermutasi (kebal).
Efek Samping Antibiotik
Dokter
spesialis penyakit dalam, Zubairi Djoerban, mengatakan, tidak semua jenis antibiotik
cocok untuk setiap orang dan setiap penyakit. Karena itu kata guru besar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini, jangan minum antibiotik
yang diresepkan dokter untuk orang lain. Minum antibiotik yang keliru dapat memberi
kesempatan bakteri untuk berkembang biak lebih parah.
Antibiotik
juga kata Zubairi, bisa menimbulkan dampak buruk lain. Penisilin misalnya,
dapat menyebabkan alergi dan shock.
Tetrasiklin dapat menyebabkan perubahan besar dalam flora usus sehingga dapat memicu
infeksi jamur. Kloramfenikol bahkan dapat menyebabkan penyakit darah yang
serius. Banyak negara sudah amat membatasi penggunaan antibiotik ini (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/03/13/m0tnqz-jangan-sembarangan-minum-antibiotik-inilah-cara-yang-tepat).
Mengenai efek
samping antibiotik, spesialis patologi klinik FKUI RSCM Jakarta, Tonny Loho, menambahkan.
Antibiotik untuk paru-paru, yang akan melewati usus ketika diminum, akan berkibat
buruk bagi flora dalam usus, karena mungkin saja flora di usus ikut mati atau
malah menjadi kebal. Flora ini akan tumbuh menjadi koloni dan tentu akan
berefek buruk pada tubuh. Apa itu antibiotik? Tony menyebutkan, antibiotik
adalah segolongan senyawa alami maupun sintetik yang berefek menekan atau
menghentikan proses biokimia dalam organisme, khususnya proses infeksi oleh
bakteri. Mekanisme inilah yang memungkinkannya manjur mengobati penyakit.
Dijelsakan Tony,
antibiotik tidak efektif mengobati penyakit yang bukan disebabkan bakteri,
misalnya akibat virus, jamur, dan nonbakteri lainnya. Obat ini sebaiknya tidak
diberikan bila yang muncul adalah radang (inflamasi), alergi, atau penyakit
akibat virus seperti deman dengue. Tentunya menjadi tugas dokter menentukan
apakah satu penyakit disebabkan bakteri atau bukan.
Sementara
masyarakat juga tidak disarankan bahkan dilarang membeli antibiotik sendiri,
pasalnya mereka tidak akan pernah tahu efek-efek samping antibiotik ybs,
mengingat tidak semua antibiotik cocok pada semua orang dan pada semua penyakit/kondisi
tubuh. Misalnya saja, ada antibiotik yang diberikan kepada wanita hamil dan menyusui,
serta kepada bayi dan anak, bisa saja menimbulkan kecacatan pada anak.
Sedangkan pada si ibu bisa terancam osteoporosis. Ada pula yang jika diberikan
pada penderita penyakit terntentu, dia akan berubah menjadi racun (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/01/16/mgoyib-hatihati-ini-bahaya-keseringan-minum-antibiotik).
Ahli
dari Health Protection Agency, Dame Sally Davies, menyarankan, sebaiknya orang
menghentikan penggunaan antibiotik untuk mengatasi penyakit karena infeksi
ringan, misalnya batuk, sakit tenggorokan, sinusitis, hingga sakit telinga
(bahkan jerawat). "Pasien harus berhenti menggunakan antibiotik untuk
penyakit-penyakit tersebut," kata Davies, dikutip dari the Guardian,
Sabtu (17/11). Kebanyakan orang masih bisa sembuh dari penyakit-penyaki ringan
tersebut tanpa perlu mengonsumsi antibiotic (antara lain karena tubuh memiliki sistem
kekebalannya sendiri). Ahli mikrobiologi dari Health Protection Agency, Cliodna
McNulty, menambahkan, pasien justru lebih banyak meninggal akibat prosedur
medis (pemberian antibiotik) yang rutin (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/11/17/mdlvey-hatihati-dengan-antibiotik).
Bijak Gunakan Antibiotik
Perhimpunan Ahli
Mikrobiologi Klinik Indonesia meminta para dokter bijak menggunakan antibiotik.
“Kami ingin mengubah paradigma pemakaian antibiotik (di kalangan dokter),"
kata dokter spesialis mikrobiologi klinis, Dr dr I Dewa Sukrama SpMK(K),
seperti dikutip Antara. Terlebih karena saat ini banyak penyakit yang
disebabkan bakteri yang kebal terhadap antibotik.
Bakteri yang
kebal terhadap antibiotik ini kata Dewa merupakan jenis Metisilin
Staphylococcus Resisten Aureus (MRSA). Bakteri itu banyak tersebar di
lingkungan rumah sakit maupun masyarakat. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim extended
spectrum beta lactamase (ESBL) yang mempunyai kemampuan resisten pada golongan
antibiotik cephalosporin, metisile, serta penicillin. "Bakteri ini umumnya
mengkolonisasi (bertempat) di hidung. Dan jika menyebar ke luka operasi dapat menyebabkan infeksi yang serius,''
katanya. ''Infeksi dapat mengenai jaringan, kulit, bahkan sampai ke darah.
Biasanya kalau sudah menyerang jaringan, susah diobati." (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/10/26/mchc8y-dokter-disarankan-bijak-gunakan-antibiotik).
Selain itu,
masyarakat diharapkan juga cukup melek terhadap sejumlah informasi medis umum,
contohnya ihwal penggunaan antibiotik ini. Anesthesiologist RS Pondok Indah,
Yohanes George, mengungkapkan, masyarakat di negara-negara maju (khususnya
Barat), menganggap medical knowledge
adalah pengetahuan wajib yang harus dimiliki. Kesadaran masyarakat ini menyebabkan
antibiotik tidak bisa sembarangan diberikan, karena dokter dan pasien bisa
mendiskusikan jenis penyakit dan obat yang diberikan. (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/10/05/21/116447-tanyakan-pada-dokter-anda-perlukah-konsumsi-antibiotik-).
Yang menjadi masalah, dokter (terutama di Indonesia) seringkali ogah diajak
diskusi oleh kliennya (?). **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar