“Di
Indonesia sebenarnya sudah diterapkan oleh bus Trans Pakuan, Bogor. Pemkot
Bogor ketika itu membeli minyak jelantah dari restoran-rentoran besar dan
menukarnya dengan minyak goreng baru”
Dunia
kuliner Shanghai, Cina, sedang diramaikan skandal penggunaan minyak goreng
bekas dari restoran. Istilah untuk minyak goreng bekas yang digunakan lagi ini,
seperti disebutkan media resmi setempat, adalah "minyak comberan". Di
Indonesia, minyak goreng bekas ini lebih dikenal dengan nama minyak jelantah. Seorang
produsen BBM jelantah di Bogor bahkan sudah menjadi pemasok untuk perusahaan
peleburan timah dan tekstil di seluruh Indonesia.
ROL |
Permasalahan penggunaan kembali minyak jelantah untuk memasak ini telah memancing upaya positif pemerintah Shanghai, yakni menseriusi konversi minyak
comberan ini menjadi BBM biodiesel untuk kendaraan. Pemerintah daerah Shanghai
melalui Komite Keamanan Pangan Kota Shanghai, pun menggaet salah satu
universitas paling terkemuka di Cina, Universitas Tongji, serta enam perusahaan,
untuk menyukseskan produksi BBM minyak
comberan ini. Nantinya, BBM cap minyak comberan ini akan digunakan untuk bus,
taksi, dan truk. Harian Cina Daily menyebut,
Universitas Tongji, setidaknya tiga
tahun terakhir ini telah melakukan
percobaan guna menghasilkan campuran yang pas untuk biodiesel tersebut.
Ide
minyak comberan sebagai bahan baku BBM ini mulai mengemuka ketika pada 2011
pihak berwenang Cina menangkap 32 orang terkait minyak goreng bekas restoran
yang dipakai lagi memasak ini. Padahal minyak jelantah diduga sudah mengandung
senyawa karsinogen dan berbagai polutan lainnya, yang dapat memicu berbagai
penyakit berat seperti stroke hingga kanker.
Maret lalu, pihak berwenang Shanghai juga melakukan penggerebekan terkait penanganan minyak limbah dan kualifikasi perusahaan yang menangani limbah itu. Saat kasus "minyak comberan" marak tahun 2010, para ahli memperkirakan konsumsi minyak goreng bekas di Cina setiap tahun mencapai dua atau tiga juta ton (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/05/27/mngugb-shanghai-niat-sulap-minyak-comberan-jadi-bbm).
Maret lalu, pihak berwenang Shanghai juga melakukan penggerebekan terkait penanganan minyak limbah dan kualifikasi perusahaan yang menangani limbah itu. Saat kasus "minyak comberan" marak tahun 2010, para ahli memperkirakan konsumsi minyak goreng bekas di Cina setiap tahun mencapai dua atau tiga juta ton (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/05/27/mngugb-shanghai-niat-sulap-minyak-comberan-jadi-bbm).
Dikutip
dari Car News China, Jumat (31/5/13), BBM dari hasil pengolahan minyak
jelantah ini akan mulai diterapkan dua tahun ke depan. Berhubung biaya konversi
jelantah ke BBM relatif tinggi dibandingkan menggunakan gas, pemerintah Cina berencana memberi subsidi bagi
kendaraan yang akan menggunakan biodiesel tersebut.
Setelah
meneliti selama tiga tahun terakhir, Professor Universitas Tongji, Lou Diming, menemukan
bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan BBM minyak comberan. "Di
satu sisi, kami menekankan perlunya ‘membersihkan’ para penimbun limbah minyak
goreng. Di sisi lain, kita mencari cara yang ideal untuk menggunakan minyak
goreng bekas, salah satunya adalah menggunakannya untuk bahan bakar
kendaraan," ungkap Lou. Saat ini, Lanjut Lou, timnya telah bereksperimen
dengan menggunakan bahan bakar solar campuran pada lebih dari 300 taksi, bus
dan truk.
Bukan Hal Baru di
Indonesia
Wacana
memroduksi biodiesel dari minyak jelantah sebenarnya telah mengemuka di
Indonesia sejak 2007, bahkan sudah diterapkan oleh bus Trans Pakuan, Bogor. Pemkot
Bogor ketika itu membeli minyak jelantah dari restoran-rentoran besar dan
menukarnya dengan minyak goreng baru dengan perbandingan 1:8 (http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/417277-china-olah-minyak-goreng-bekas-jadi-bahan-bakar)
Tapi entah kenapa upaya positif seperti ini tidak pernah benar-benar
menggempita di negeri ini.
Pada
2009, Sjazli Arsyad Abdis, anggota Komisi III DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel),
yang juga membidangi pertambangan dan energi, menyebutkan, BBM dari jelantah
jauh lebih murah dari BBM jenis premium dan solar, yakni hanya Rp 3.000 per
liter. Ini jauh lebih murah ketimbang harga premium dan solar sekarang Rp 4.500
per liter, apalagi jika harga BBM dinaikkan tak lama lagi.
Sjazli
bahkan mengaku sudah menggunakan biodiesel ini untuk kendaraannya. Oleh
karenanya dia tidak ambil pusing ketika pada 2009 pemerintah sudah berkoar-koar
akan melarang mobil pribadi menggunakan premium dan solar bersubsidi. "Untuk
keperluan bahan bakar mobil saya kini menggunakan jalantah, karena harganya
jauh lebih murah dari harga premium dan solar saat ini," ujarnya ketika
itu di Banjarmasin.
Ia
menerangkan, untuk menggunakan jelantah sebagai BBM mobil, tidak perlu mengubah konstruksi mesin mobil,
tapi cukup menambah satu alat untuk pemanas. "Sifat jelantah itu kan dingin
dan agak kental daripada premium maupun solar, sehingga memerlukan alat pemanas
agar jalantah tersebut panas dan sedikit mencair," tuturnya.
Namun
dia mengakui pengembangan jelantah sebagai BBM mobil ini akan terkendala oleh
jumlah jelantah yang bisa dikumpulan, apalagi jika dibanding perkembangan
jumlah kendaraan bermotor. Maksimalisai pemanfaatan jelantah sebagai BBM
kendaraan bermotor, bagaimana pun bisa menjadi upaya meminimalisasi penggunaan
kembali minyak gorieg bekas yang berbahaya untuk kesehatan (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/09/01/30/28693-jelantah-alternatif-bbm-murah).
Puluhan Juta Rupiah dari Jelantah
Di Indonesia, seorang
produsen biodiesel asal Jonggol, Kabupaten Bogor, bahkan meraup hingga puluhan
juta rupiah per bulan dari bisnis konversi jelantah menjadi BBM biodiesel ini.
Menangkap adanya peluang bisnis ini, Toniaga Djie, sang produsen biodiesel,
sengaja menampung minyak jelantah dari pengepul dan kemudian mengolahnya
menjadi biodiesel.
Seperti dikutip
dari situs Kontan, Toniaga membeli
minyak jelantah dari para pengepul dengan harga Rp 4.250 per liter. Sebelum
diolah, jelantah itu disaring dahulu, untuk kemudian diberi zat tertentu untuk
menghilangkan warna dan bau. Setelah jernih, dilakukan proses esterifikasi yang
mengubah jelantah menjadi biodiesel. "Rendemen minyak jelantah 70%.
Artinya, seliter jelantah menghasilkan 0,7 liter biodiesel," kata Toniaga.
Selain mudah,
biaya produksinya juga murah, yakni Rp 2.000 per liter. Dalam sehari, Toniaga
mampu menghasilkan 6-9 ribu liter minyak biodiesel. Ia menjualnya Rp 9.000 per
liter dengan keuntungan Rp 2.750 per liter. Alhasil, dalam sebulan Toniaga
mampu mendulang omzet antara Rp 54-81 juta. "Produksinya banyak karena
permintaannya juga besar," kata Toniaga. Konsumen biodiesel Toniaga ini antara
lain perusahaan peleburan alumunium dan timah, serta produsen tekstil di
Kalimantan, Medan, Lampung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Mutu biodiesel
jelantah kata Toniaga, sejauh diolah dengan prosedur yang benar, akan bagus.
Sementara itu,
Puji Sudarmaji, warga Sidoarjo, memilih menjadi pengepul jelantah untuk dipasok
ke produsen minyak biodiesel. Paling banter dalam sebulan ia hanya mengumpulkan
200-500 kilogram jelantah dari perorangan. Tidak semua jelantah sama
kualitasnya. Untuk ini Puji memberikan peringkat mutu jelantah lewat warna dan
baunya. "Yang grade-nya rendah itu sekitar Rp 3.500 per kg,
sedangkan grade yang tinggi Rp 7.500 per kg," kata Puji. Alhasil,
saban bulan Puji mampu mendulang omzet mulai Rp 17,5 juta hingga Rp 45 juta (http://peluangusaha.kontan.co.id/news/meraup-laba-dengan-menyulap-minyak-jelantah-menjadi-biodiesel-).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar