"Suara adzan yang
terdengar sayup-sayup terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara
yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita. Al-Quran pun
mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika
berdoa memohon bimbingan dan petunjukNya”. Kutipan tersebut berasal dari pidato
Wakil Presiden (Wapres) Boediono saat saat memberikan
pengarahan sekaligus membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama
Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, 27 April lalu.
Speaker masjid ke segala arah (ROL) |
Secara umum, dalam
pidatonya itu Wapres meminta DMI membuat aturan soal pengeras suara masjid (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38ijc-inilah-pidato-wapres-tentang-pengaturan-azan).
Umat Islam pun bereaksi, meskipun syukurlah tidak terlalu berlebihan. Kritik
terhadap hal-hal menyangkut agama seperti ini, meskipun benar adanya, memang
menjadi sensitif jika disampaikan orang yang kurang pas. Hati kecil Muslim pada
umumnya, terutama yang tempat tinggalnya bertetanggaan dengan masjid, akan membenarkan
apa yang disampaikan Boediono itu—yaitu ketika corong Masjid bagai seperti
berada tepat di samping telinga kita.
Beberapa
selebritas politik Senayan pun segera bereaksi atas pidato Wapres ini, seolah
merasa paling bisa mewakili dan paling mengerti rakyat, dengan komentar yang tampaknya
berasal dari pengetahuan yang dangkal. Ketua Komisi VIII DPR, Ida Fauziyah,
menyatakan, masalah pengeras suara di masjid dan mushola tidak perlu diatur. "Mereka
tahu seberapa besar penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola
dibutuhkan," ujarnya. Menurutnya, pengelola masjid pasti berkomunikasi
dengan masyarakat sekitar terkait penggunaan pengeras suara. “Penggunaannya
untuk membunyikan tilawah al-Qur'an misalkan, sangat dibutuhkan karena lantunan
ayat suci memang menyejukkan hati. "Masyarakat memang membutuhkan hal
itu," paparnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38tng-masalah-pengeras-suara-masjid-tak-perlu-regulasi).
Anggota Komisi
III DPR, Dimyati Natakusumah, bahkan melontarkan kritik dengan kata-kata tak enak.
Anggota DPR dari Fraksi PPP yang sempat mencicipi jeruji besi ini, ketika itu
mengatakan, pernyataan Wapres ini kurang penting. "Wapres jangan
bawel," ujar politisi yang pernah
menjadi terdakwa dalam kasus korupsi senilai Rp 200 miliar pada 2006 ini, saat dia
menjadi Bupati Pandeglang (lihat kabarnya di sini: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/166737-badan-kehormatan-belum-selesai-periksa-as-ad).
Wapres kata dia,
lebih baik mengurus hal-hal yang lebih penting ketimbang urusan yang telah
menjadi bagian dari syariat agama serta kultur. "Lebih baik memberikan
masukan positif untuk kegiatan di masjid, jangan speaker-nya yang dikomentari," ujar pria yang juga pernah
berurusan dengan hukum karena kasus asmara dengan seorang siswi SMA di
Pandeglang ini (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/27/m350hh-soal-speaker-masjid-wapres-diminta-jangan-bawel).
Dimyati
Natakusumah pernah didakwa jaksa penuntut umum dengan tiga pasal berlapis
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman paling lama
seumur hidup. Dimyati dinilai jaksa terbukti bersama Mantan Ketua B-P-K-D
Pandeglang menyuap anggota dewan periode 2004-2009, untuk melancarakan pinjaman
daerah Pemkab Pandeglang ke Bank Jabar banten senilai 200 miliar (http://news.liputan6.com/read/257494/sidang-kasus-suap-dimyati-diputuskan-dilanjutkan).
Tapi entah bagaimana orang ini bisa duduk lagi di kursi DPR.
Sementara itu, Ketua
Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Prof Dr H Muhammad Baharun, mengatakan,
wacana yang dilontarkan Boediono tidak bisa diterapkan di Indonesia. "Tradisi
umat Islam, azan itu adalah syiar dan harus dilantunkan dengan syahdu dan
keras. Sehingga menggunakan pengeras suara untuk azan memang layak dilakukan. Adzan
memang harus begitu," ujarnya. Menurut Baharun, yang seharusnya
diatur adalah soal penggunaan pengeras suara untuk kegiatan masjid lainnya di
luar adzan. Misalnya, pengeras suara untuk pengajian , ceramah, atau kasidahan (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/04/29/m38xv3-mui-azan-lewat-pengeras-suara-tak-perlu-diatur).
Ketua
MUI, Amidhan, juga menyatakan, itu sudah ciri Islam di Indonesia. “Bahkan saya
rasa tidak hanya di sini saja tetapi di semua mayoritas negara muslim, termasuk
juga di Malaysia.'' Amidhan menduga, keluhan wapres ini mungkin karena ada keluhan
pihak lain. Selain, ''Mungkin saja korps diplomatik,'' ujarnya. Amidhan
memahami tempat kediaman Wapres dekat dengan masjid Sunda Kelapa. “Tapi kalau
(azan) itu dilamatkan, tidak keras, ya nanti fungsi (dari azan) itu menjadi
hilang. Meski harus diakuinya, hukum azan sebenarnya tidak wajib,'' katanya.
Amidhan mengakui, penggunaan pengeras suara seperti memutar pengajian pada dini hari, terkadang memang mengganggu, apalagi jika sudah “ramai” sejak masih pukul 03.00. Sementara azan subuh baru berkumandang sekitar pukul 04.00. ''Kalau masalahnya seperti ini, ya itu memang kurang baik juga,'' ujarnya. Namun dia kemudian membandingkan dengan lonceng tanda waktu kebaktian di kota Roma, Italia, yang juga cukup mengganggu telinga, begitu juga di negara-negara mayoritas nasrani lainnya. ''Sebagai (negara) mayoritas muslim, sebenarnya tidak perlu keberatan. Apalagi subuh. Harusnya merasa terbantu karena dibangunkan,'' katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38oui-wapres-keluhkan-soal-azan-ini-komentar-mui).
Amidhan mengakui, penggunaan pengeras suara seperti memutar pengajian pada dini hari, terkadang memang mengganggu, apalagi jika sudah “ramai” sejak masih pukul 03.00. Sementara azan subuh baru berkumandang sekitar pukul 04.00. ''Kalau masalahnya seperti ini, ya itu memang kurang baik juga,'' ujarnya. Namun dia kemudian membandingkan dengan lonceng tanda waktu kebaktian di kota Roma, Italia, yang juga cukup mengganggu telinga, begitu juga di negara-negara mayoritas nasrani lainnya. ''Sebagai (negara) mayoritas muslim, sebenarnya tidak perlu keberatan. Apalagi subuh. Harusnya merasa terbantu karena dibangunkan,'' katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38oui-wapres-keluhkan-soal-azan-ini-komentar-mui).
Untunglah
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, cukup aspiratif. Menurut
Jusuf, pihaknya kini tengah membahas detail teknis dan konsep pengaturan
penggunaan pengeras suara di masjid-masjid, terutama untuk selain kumandang
azan. Jusuf, seperti dikutip onislam.net yang mengutip The Jakarta
Post pada Rabu (29/5/13), mengatakan, pembicaraan sedang berlangsung untuk
melarang masjid menggunakan pengeras suara untuk khotbah agama dan pembacaan
Alquran.
"Kalau
untuk Azan, itu baik-baik saja di mana-mana di dunia masjid menggunakan speaker untuk Azan," kata mantan
wakil presiden Indonesia ini. Di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar,
terdapat hampir 80.000 masjid. Masjid-masjid ini sayangnya tak hanya
menggunakan pengeras suara saat azan, namun juga kadang saat ceramah keagamaan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/31/mnmy3d-aturan-pengeras-suara-buat-masjid-bakal-disahkan).
Timur Tengah Juga Galau
Ihwal pengeras
suara, ternyata juga menjadi kegalauan di negara-negara mayoritas Muslim
lainnya. Wacana larangan penggunaan pengeras suara di masjid ini bahkan menjadi
pembahasan serius negara-negara Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah
(Timteng). "Kekuatan iman tidak diukur dengan seberapa keras panggilan
untuk shalat. Masjid yang tidak menggunakan pengeras suara tetap bisa
menjalankan aktivitasnya," kata Saeed Lakhal, seorang pakar Agama Islam
asal Maroko, seperti dikutip Al-Arabiya, Kamis (1/9).
Sementara
itu, selama hampir satu dekade, rezim mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak
berjuang untuk melaksanakan proyek yang akan menyinkronkan panggilan shalat di
4.000 masjid di Kairo. Harapannya akan menurunkan hiruk-pikuk sehari-hari
di ibukota Mesir. Namun Mubarak
terlanjur ditumbangkan sehingga proyek tersebut terancam tidak berlanjut.
Di
Arab Saudi, Kementerian Urusan Islam tengah menyelidiki keluhan masyarakat
terkait tingkat kebisingan akibat penggunaan pengeras suara. Sebelum teknologi
pengeras suara diperkenalkan, suara adzan diucapkan oleh muadzin dalam menara
sehingga dapat menjangkau umat dalam radius yang cukup jauh (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/09/01/lqu3y6-larangan-pengeras-suara-di-masjid-jadi-wacana-muslim-timur-tengah).
Di Dubai Uni
Emirates Arab (UAE), rupanya banyak juga warga yang mengeluhkan penggunaan
pengeras suara di masjid, bahkan saat adzan Subuh. "Saya mendapatkan
banyak keluhan soal ini. Namun saya perlu meminta pendapat masyarakat dan ulama
soal masalah ini," ujar Anggota Dewan Tertinggi Emirat Sharjah, Dubai, UEA,
Shaikh Sultan bin Mohammed al-Qasimi, seperti dikutip khaleejtimes.com
(http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/08/09/m8hg4k-sharjah-gelar-voting-soal-pengeras-suara-masjid).
Otoritas
Bahrain memperbaharui aturan mengenai larangan penggunaan pengeras suara di
masjid selama shalat. Aturan ini mengakhiri debat panjang dan isu sensitif yang
telah berlangsung selama bertahun-tahun di kerajaan tersebut. Putusan itu
dibuat oleh Bahraini Sunni Endowment Department, semacam Direktorat Jenderal
Bimas Islam di Indonesia, Kementerian Agama di Bahrain.
Dalam amar putusannya, Kementerian Agama Bahrain melarang penggunaan pengeras suara selain digunakan sebagai kumandang azan. Putusan itu kemudian disebarkan melalui pesan singkat kepada para muazin di masjid untuk menghormati aturan baru tersebut (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/08/17/130360-bahrain-larang-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid).**
Dalam amar putusannya, Kementerian Agama Bahrain melarang penggunaan pengeras suara selain digunakan sebagai kumandang azan. Putusan itu kemudian disebarkan melalui pesan singkat kepada para muazin di masjid untuk menghormati aturan baru tersebut (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/08/17/130360-bahrain-larang-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar