Bank
Indonesia (BI) ingin belajar dari sejarah lepaskan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan ke tangan Malaysia. Karena itu BI, bekerjasama dengan lembaga terkait, kini
getol menggerojok pulau-pulau terluar sekaligus terdepan ini dengan pasokan
uang kartal. "Kita pernah kehilangan dua pulau, Sipadan dan Ligitan. Saat
itu yang menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional (MI) hanya satu poin yaitu
bahwa transaksi di sana tidak menggunakan rupiah, tapi mata uang negara
tetangga," Deputi Gubernur BI, Ronald Waas, di Gedung BI, Jakarta, Rabu
(5/6/13).
Warga perbatasan lebih suka pakai ini (ROL) |
Karena
tu kata dia, distribusi rupiah ke daerah-daerah pelosok, khususnya daerah
perbatasan, menjadi sangat penting untuk memastikan kecukupan dan penggunaan
rupiah di daerah tersebut. Saat ini BI telah membangun kerja sama dengan
kementerian dan lembaga lain untuk bisa mendistribusikan rupiah ke pulau
terluar dengan aman dan efisien. "Saat ini kami sudah bekerja sama dengan
TNI AL untuk distribusinya, karena kalau menggunakan ekspedisi komersial,
distribusinya bisa tertunda karena masalah teknis," kata dia.
Dia
mengatakan, sekali melakukan distribusi, BI dapat membawa Rp 15-20 miliar uang
kartal dengan beragam pecahan. Saat pendistribusian, BI biasanya membuka
kesempatan bagi masyarakat setempat untuk menukar uang lusuh yang masih
berlaku. "Sejauh ini kami telah melakukan distribusi ke Pulau Miangas di
Kepulauan Natuna, melalui jalur Batam, dan juga ke perbatasan di Papua,"
paparnya.
Ke depan, kata Ronald, BI akan memperluas
kerja sama distribusi dengan TNI AU, terutama untuk menjangkau daerah-daerah
yang tak memiliki pantai, seperti misalnya di perairan Papua. "Di Papua
itu ada wilayah yang sulit untuk kapal mendekat, maka harus dari udara,"
tuturnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/05/mnwndn-indonesia-pernah-kehilangan-pulau-karena-rupiah).
Sementara kerja sama dengan TNI AD dilakukan untuk perbatasan yang jauh dari perairan laut, bahkan di
pergunungan seperti yang terjadi antara Papua dan Papua Nugini.
Daerah
lainnya yang belum terjangkau, kata Ronald, adalah di garis perbatasan
Kalimantan Utara, kepulauan di atas Manado, kemudian arah Timur dan selatan
Maluku, hingga ke Nusa Tenggara dan pulau-pulau terluar. Demi kelancaran upaya
ini, BI menitipkan pekerjaan rumahpada bank-bank di seluruh Indonesia agar
memberikan perhatian khusus pada daerah perbatasan dan terpencil ini.
Hingga
Mei 2013, BI telah mengedarkan uang rupiah ke seluruh Indonesia senilai Rp 403
triliun. Tiap tahun peredaran uang rupiah meningkat 15-16 persen. "Kalau
mampu menjangkau seluruh daerah perbatasan dan terpencil, maka meningkat
lagi," ucapnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/05/mnwrw9-bi-berikan-tambahan-pekerjaan-kepada-perbankan-nasional).
Agus
Martowardojo, ketika masih menjadi Menteri Keuangan pada 2011 (sekarang
Gubernur BI) menegaskan bahwa segala transaksi yang dilakukan di wilayah hukum
Indonesia harus menggunakan rupiah, tak terkecuali di wilayah perbatasan dan
lokasi wisata. "Masyarakat di daerah perbatasan atau daerah wisata yang
tidak mau menggunakan rupiah dalam kegiatan ekonominya dinilai melanggar
hukum," kata Agus. Hal itu mengacu
pada telah disahkannya Undang-undang (UU) No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. UU
tersebut menegaskan bahwa rupiah adalah tuan rumah di negeri sendiri. Adanya
kebijakan ini menegaskan bahwa hanya rupiah yang bisa diperdagangkan di dalam
negeri serta dijamin oleh pemerintah dan BI (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/11/12/06/lvrvf5-menkeu-transaksi-di-perbatasan-harus-pakai-rupiah).
Penggunaan
mata uang negara tetangga ini diakui cabang-cabang BI di daerah yang memangku
wilayah perbatasan. BI Kalimantan Barat (Kalbar) misalnya, mengaku kesulitan
menumbuhkan kesadaran masyarakat di daerah perbatasan untuk bertransaksi menggunakan
rupiah. Purjoko, Kepala Bidang Moneter BI Kalbar, di Singkawang, mengatakan,
kesulitan tersebut karena masyarakat
perbatasan melakukan transaksi langsung dengan masyarakat negara tetangga.
Apalagi
kata Purjoko, warga perbatasan dari Indonesia juga ada yang bekerja di Malaysia
dan mendapatkan upah ringgit. Maka ketika membeli kebutuhan hidup di Indonesia,
yang masih melingkupi wilayah perbatasan, dia akan menggunakan ringgit. Namun
mereka juga tidak bisa disalahkan karena di daerah perbatasan, apalagi yang terpencil, belum memiliki tempat
pertukaran mata uang.
Di
samping memang kondisinya lebih memudahkan melakukan transaksi dengan ringgit,
baik di Indonesia maupun di Malaysia. Akibatnya masyarakat menganggap pembelian
barang dengan mata uang asing sah sah saja. Purjoko mengakui, perlu upaya keras
menumbuhkan kesadaran masyarakat di wilayah perbatasan untuk lebih mencintai
menggunakan rupiah. (http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/12/09/lvxkb7-warga-ri-di-perbatasan-lebih-mudah-bertransaksi-dengan-ringgit).
Akses Sulit
Sebagai
contoh, warga Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalbar, yang menghuni
kawasan perbatasan dengan Malaysia, banyak menyimpan ringgit. Alasannya, lebih
mudah bertransaksi dengan ringgit daripada rupiah. Rusmin, salah satu warga
Temajuk, mengakui warga di tempatnya yang bekerja sebagai pedagang lebih suka menyimpan
ringgit. Hal itu lantaran mereka lebih sering berbelanja ke Pasar Malanau,
Serawak, karena aksesnya lebih mudah, daripada ke Sambas, apalagi Pontianak.
Untuk
ke Malanau, kata Rusmin, warga hanya
butuh perjalanan sejam menggunakan speedboat. Jika menggunakan perahu
biasa, waktunya 30 menit lebih lama dengan melewati garis pantai Laut Natuna.
Sementara jika ke Sambas, warga harus menyusuri garis pantai yang menjadi akses
ke Kecamatan Paloh sepanjang 40 km, dengan waktu tempuh hampir dua jam kendaraan.
Setelah itu, warga harus menyeberangi Sungai Ceremai selebar 1 km menggunakan
perahu kayu.
Sesampainya di Kecamatan Paloh, mereka masih harus menyeberangi sungai menuju Tanjung Harapan menggunakan kapal feri. Kemudian, mereka butuh lagi waktu 45 menit menuju pusat administrasi Kabupaten Sambas dengan jalan aspal separuh rusak. "Inilah mengapa warga lebih senang bertransaksi di Pasar Malanau," dalih Rusmi. Ia menyebut sebagian besar pasokan bahan kebutuhan pokok warga didapat dari pasar Malanau, mulai beras, telur, gula, minyak goreng, daging ayam, bawang, dll (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/17/lt6ugh-warga-perbatasan-transaksi-pakai-ringgit).
Sesampainya di Kecamatan Paloh, mereka masih harus menyeberangi sungai menuju Tanjung Harapan menggunakan kapal feri. Kemudian, mereka butuh lagi waktu 45 menit menuju pusat administrasi Kabupaten Sambas dengan jalan aspal separuh rusak. "Inilah mengapa warga lebih senang bertransaksi di Pasar Malanau," dalih Rusmi. Ia menyebut sebagian besar pasokan bahan kebutuhan pokok warga didapat dari pasar Malanau, mulai beras, telur, gula, minyak goreng, daging ayam, bawang, dll (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/17/lt6ugh-warga-perbatasan-transaksi-pakai-ringgit).
Kondisi
sama terjadi di Pulau Sebatik. Asisten
Deputi Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan
Perbatasan (BNPP), Ir Sunarto MM, mengungkapkan, secara de jure, pulau
seluas sekitar
50 ribu hektar ini terbagi dua, bagian utara milik Malaysia, bagian selatan
milik Indonesia. Tetapi secara ekonomi, kata Sunarto, semuanya dalam penguasaan
Malaysia. Diungkapkannya, Masyarakat Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan setiap
hari berbelanja kebutuhan sehari-hari , termasuk membeli elpiji, di Tawau,
Malaysia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/19/mf93ue-bnpp-belajarlah-dari-lepasnya-sipadanligitan).
Akibatnya,
pada 2012 saya ada lima desa di Kabupaten Nunukan yang terancam direbut oleh
Malaysia, bahkan Malaysia sudah mengklaimnya. Kelima desa tersebut adalah Desa
Labang, Logos, Ngawol, Simantipal, dan Bulu Lawun Hilir. Jika Malaysia sampai
membawanya ke pengadilan Mahkamah Internasional (MI), bisa jadi kelima desa ini
akan senasib dengan Sipadan dan Ligitan. Ketika itu, 17 Desember 2002, MI di
Den Haag, mengeluarkan putusan memenangkan Malaysia ((http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/02/lyrry2-lima-desa-perbatasan-terancam-direbut-malaysia).
Maka, lepaslah kedua pulau mungil itu dengan tak ada penyesalan dari warganya.
Indonesia harus belajar lagi, bahwa persentase nasionalisme boleh jadi
mayoritas ditentukan kesejahteraan ekonomi.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar