Kebutuhan
yang meningkat jelang Idul Fitri (Lebaran), rupanya berbanding sejajar dengan
maraknya perburuan harimau. Memasuki Juni 2013, Tim Program Pelestarian Harimau Sumatra (PHS) menemukan
16 jerat Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di wilayah Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS). Koordinator PHS untuk Wilayah Jambi, Moehd Subchan,
mengatakan, tren perburuan satwa di Sumatra, selalu meningkat menjelang bulan
puasa. Satwa yang diburu ini tak hanya yang bisa dimakan seperti rusa, kijang,
dan kambing hutan, namun juga Harimau Sumatra; satwa yang dilindungi.
ROL |
Kepada
ROL, Selasa (18/6), Moehd menjelaskan, operasi sapu jerat merupakan kegiatan
rutin setiap tahun yang berlangsung menjelang Ramadhan hingga mendekati Idul
Fitri. Tahun ini oprasi sapu jagat akan dilakukan antara Juni-Juli. Dikatakan
Moehd, peningkatan tren perburuan satwa di TNKS ini dipicu meningkatnya
kebutuhan ekonomi jelang Lebaran, baik berupa uang maupun daging.
Jumlah
Harimau sumatra yang diperkirakan hidup di TNKS berkisar 145-165 ekor.
Peningkatan perburuan ini tentunya sangat mengancam kelestarian satwa endemik
ini. Operasi sapu jerat itu digelar berkat kerjasama PHS Kerinci Seblat dengan
Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat (BB TNKS), Kementerian Kehutanan
dengan Fauna dan Flora International. Operasi yang digelar sejak 2000 itu
dilengkapi enam unit tim patrol; tiga unit di Jambi dan tiga unit lainnya di
Bengkulu. Aktivitas yang dilakukan adalah patroli rimba, penanganan konflik
satwa Harimau Sumatra, dan investigasi kejahatan terhadap satwa liar (http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/06/18/moka1v-jelang-ramadhan-16-jebakan-harimau-sumatra-ditemukan).
Kepala
TNKS Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV Solok Selatan, M Zainudin,
mengatakan, populasi Harimau Sumatera yang berada di seluruh wilayah TNKS diperkirakan
tinggal 165 ekor. Dia merinci, untuk
wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah IV dan Kerinci,
Provinsi Jambi, yang berbatasan lansung dengan Sumbar, diperkirakan jumlahnya
32 ekor. Di Solok Selatan, Pesisir Selatan, dan Kerinci, diperkirakan ada 22
ekor.
Sedangkan
di wilayah Solok Selatan, Kerinci, Marangin Bungo 33 ekor, dan di Sipurak
Bangko 10 ekor. Sementara untuk wilayah Kerinci, Merangin, Mukomuko, Bengkulu
Utara, Lebong, Rejang Lebong, Musi Rawas, dan Lubuk Linggau, mencapai 95 ekor. “Berdasarkan
rekaman kamera trap yang dipasang di
SPTN IV terekam enam ekor di Muara Labuh, Kecamatan Sungai Pagu,” ujarnya.
Selain
itu, kata dia, pada Februari 2013 masyarakat juga menemukan empat ekor harimau
di Blok P area perkebunan PT Sumatera Jaya Agro Lestari (SJAL). Untunglah masyarakat
maupun pekerja di perusahaan itu tidak membunuhnya karena ada yang cepat
melaporkan kepada petugas, satu hal yang sangat disarankan pihak TNKS. Harimau yang masuk ke kawasan perkebunan
tersebut, kata dia, kemungkinan sedang berburu mangsa atau melatih anaknya,
karena di sekitar tempat itu ditemukan banyak babi hutan. "Karena sudah
masuk dalam pekarangan warga maka kita melakukan penanganan konflik antara
manusia dan harimau dengan cara menghalaunya kembali ke hutan," katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/26/mlvcl8-populasi-harimau-di-tnks-165-ekor).
Babi
hutan memang merupakan sumber utama pangan harimau Sumatra. Karena itu, ancaman
populasi mereka tak hanya akibat perburuan langsung, melainkan juga maraknya perburuan
babi oleh masyarakat. Koordinator Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Badan
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar, Rusdiyan Aritonga, mengatakan, seekor
Harimau Sumatra akan membutuhkan konsumsi babi sebanyak 50 ekor dalam setahun. “Kalau
babi tersebut diburu dan ditangkap oleh masyarakat, maka Harimau Sumatra
tersebut akan kehilangan makanan," kata Rusdiyan Maret lalu di Universitas
Andalas, Padang.
Jika
kehabisan sumber makanan, dalam jangka waktu lama, ujarnya, harimau tersebut
akan bermigrasi ke tempat lain. Menurut data BKSDA, untuk wilayah Sumbar
terdapat 77 persen habitat harimau yang tersebar di seluruh daerah, kecuali Kota
Bukittinggi, Padang Panjang dan Kepulauan Mentawai. Adiyanto dari Lembaga
Perlindungan Spesies Liar menambahkan, selain perburuan babi, faktor lain yang dapat
mempercepat kepunahan Harimau Sumatra adalah perburuan dan perdagangan liar.
Rusdiyan
mengatakan, masih rendahnya kepedulian masyarakat, dan minimnya dana menjadi
faktor pembatasnya. Usaha yang paling tepat untuk mencegah kepunahan hewan ini
kata Rusdiyan, harus melalui mekanisme hukum. "Pelaku perburuan dan
pedagang liar harimau itu harus dihukum seberat-beratnya," kata dia. Diungkapkannya,
sejak 1994 keberadaan Harimau Sumatra di Sumatra diduga tinggal 500 ekor (http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/03/26/mk8orz-perburuan-babi-percepat-kepunahan-harimau-sumatra).
Masih 400-500 Ekor
sejak 1994?
Apakah
jumlah ini masih bertahan hingga sekarang? Kepala Balai Konservasi Sumber Daya
Alam (BKSDA) Jambi, Tri Siswo, pada Juli
2012 lalu menyebutkan, data yang dilaporkan berbagai lembaga swadaya masyarakat
(LSM) lingkungan hidup yang ada di Sumatera, menyebutkan bahwa jumlah Harimau Sumatera
yang tersisa saat ini sekitar 400 ekor lagi, baik yang di TNKS maupun hutan
lindung lainnya di Sumatera. Data ini seolah-olah bertahan sejak penelitian
yang dilakukan Tilson et AL pada 1992 yang memperkirakan jumlahnya tinggal 400-500
ekor lagi, yang tersebar di lima taman nasional dan dua kawasan hutan lindung.
Untuk
memperkuat gambaran keterancaman populasi harimau dari masa ke masa,meskipun
buka merupakan serial data (karena lokasi penelitiannya berbeda), pada 1978 penelitian
Borner melalui survei kuesioner menyebutkan bahwa jumlah harimau Sumatra
mencapai 1000 ekor. Sementara hasil
penelitian Santiapilia dan Ramono pada 1985 menyebutkan bahwa populasi harimau
Sumatra yang tersebar di 26 kawasan hutan lindung ini mencapai sekitar 800 ekor.
Untuk saat ini menurut Tri Siswo, ada kondisi ekstrim mengenai populasi harimau Sumatera. Di satu sisi, konflik dengan manusia semakin tajam. Dua tahun terakhir saja (2010-1011) ada empat ekor harimau Sumatera yang mati akibat konflik dengan manusia. Konflik ini semakin potensial mengingat masifnya upaya perluasan perkebunan sawit (dan konversi hutan menjadi lahan pertanian). Akan tetapi di sisi lain, berdasarkan penelitian LSM, ditemukan adanya peningkatan populasi harimau Sumatera. Sejumlah LSM melaporkan adanya induk harimau dan anak-anaknya yang melintas di hutan yang terekam oleh kamera tersembunyi (http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/07/14/m753sq-duhharimau-sumatera-tinggal-400-ekor).
Mengenai jumlah populasi harimau Sumatra
sebesar 400-500 ekor tersebut, Ketua Dewan Pengawas Forum HarimauKita, Hariyo
T. Wibisono, mengatakan, data tersebut merupakan lansiran pemerintah sejak 1994,
yang menggunakan metode ekstrapolasi. “Angka tersebut diumumkan 1994 dan
penghitungan pada 1992, tetapi setelah dilakukan analisa kelangsungan hidup
populasi, penggunaan metode ekstrapolasi (jumlah individu dikalikan
dengan luas wilayah) tidak comparable,”
jelasnya. Karena itu kata dia, pihaknya sangat hati-hati menyebutkan jumlah
pasti populasi harimau tersebut dengan benar-benar memperhatikan metode yang
digunakan. Apalagi metode ekstrapolasi saat itu tak secanggih sekarang.
Sementara dari survei yang dilakukan
sejumlah LSM pada 2007-2009 yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah pada
2011, yakni melalui kompilasi data untuk penghitungan populasi dari camera trapping, ditemukan individu
harimau sebanyak 600. Namun kata dia, angka ini juga bukan berarti ada
peningkatan populasi. Apalagi metode camera
trapping memiliki banyak kelemahan dalam hal cakupan luas yang harus
diawasinya yang tidak sepadan dengan alat, waktu, manusia, dan biayanya (http://www.beritasatu.com/nusantara/60365-tak-penting-tahu-jumlah-harimau-sumatera.html).
Tidur-tiduran di
Pekarangan Warga
Ihwal
rusaknya habitat mereka oleh manusia, tak heran jika harimau menampakkan diri
di lokasi-lokasi tak lazim, bahkan ke pekarangan penduduk. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi
Bengkulu misalnya September tahun lalu mencatat 29 ekor harimau Sumatera di
sekitar hutan di Provinsi Bengkulu. Penampakkan mereka ini kata Kepala Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu, Anggoro Dwi Sujianto, akibat
kerusakan hutan di daerah ini selama Januari 2011 hingga pertengahan September
2012, yang berubah menjadi kebun (http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/09/18/majhrw-29-ekor-harimau-sumatera-keluar-hutan).
Pada
2011 lalu dikabarkan dalam tiga hari terakhir harimau Sumatra sering
tidur-tiduran di teras rumah penduduk, seperti yang terjadi di Dusun Geniot,
Kelurahan Basilam Baru, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, Riau. "Harimau
itu tidur-tiduran di teras rumah warga sekitar 15 menit, bahkan setengah jam.
Akibatnya warga takut untuk keluar rumah dan lebih memilih mengurung diri di rumah," kata Fahmi, seorang warga
Dumai. Mereka kata Fahmi, bisa 2-3 kali menampakkan diri.
Seorang
Ketua Rukun tetangga di Dusun Geniot, Muhammad Syarif, mengatakan, sejak empat
pekan terakhir, gerombolan harimau telah melahap sedikitnya 20 ekor ternak
unggas warga terutama ayam dan itik. "Parahnya lagi, kalau sebelumnya
harimau hanya sampai perkebunan atau paling hanya numpang lewat di dusun,
sekarang justru sudah sampai ke pekarangan dan bahkan tidur-tiduran di teras
rumah warga," ucapnya (http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/06/14/lmrdcj-walahharimau-sumatra-gemar-tiduran-di-teras-rumah-warga).**
The number of Sumatran tigers are estimated to live in TNKS range 145-165 tail. Increased hunting is certainly very threaten the sustainability of this endemic species.
BalasHapus