“Harga obat generik ini lanjut Iwan,
bisa sembilan kali lipat lebih murah dari yang memakai paten”
Apa
yang ada di dalam pikiran kita tentang obat generik? Karena harganya jauh lebih
murah ketimbang obat paten, timbul stigma bahwa obat generik tidak lebih manjur
ketimbang paten. Dan karena itu pula banyak kalangan kadang gengsi meminta agar
apoteker mengganti obat paten yang diresepkan dokter dengan obat generik. Padahal
Indonesia telah merilis peraturan yang menganjurkan bahkan mewajibkan dokter menuliskan
resep obat generik. Akan tetapi faktanya, nyaris tak ada dokter yang bahkan sekedar
bertanya pada pasiennya ingin menggunakan obat apa. Bahkan tidak juga
menjelaskan bahwa kandungannya tak berbeda dengan obat paten. Selain itu, ketersediaan
obat generiknya pun memang tidak terjamin.
ROL |
Khusus
bagi yang beranggapan bahwa obat generik tidak sama manjurnya dengan obat
paten, mungkin harus berpikir ulang lagi. Terlebih saat ini program Formularium
Nasional (Fornas) telah menetapkan kebijakan auto switching yang memungkinkan apoteker mengganti obat bermerek
atau paten (tanpa perlu diminta) dengan
obat generik. "Asal dengan zat
aktif yang sama," kata Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Nasional, Maura Linda Sitanggang, pada temu media Formularium Obat untuk
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Senin (17/6) di Jakarta.
Dengan
model auto switching ini, Maura
berharap bisa mengubah pandangan masyarakat tentang obat generik. Karena selama
ini masyarakat beranggapan obat generik tidak semanjur obat generik bermerek
atau obat paten. Maura menyebutkan, daftar obat dalam Fornas diambil berdasarkan
Daftar Obat Esensial (DOEN). Jadi meskipun harganya terjangkau, Fornas tetap aman dan dijamin
oleh pemerintah. "Obat kanker yang esensial juga masuk dalam Fornas,"
katanya (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/mojcdq-kebijakan-auto-switching-diharapkan-tingkatkan-minat-pada-obat-generik).
Fornas
menggunakan konsep obat esensial, artinya kriteria obat-obatan yang digunakan dalam
Fornas harus aman, efisien, dan hemat biaya. Ini mencakup kriteria obat-obatan
yang memenuhi benefit-cost ratio (rasio
manfaat biaya) tertinggi, dan memiliki benefit-risk
ratio (rasio manfaat-risiko) paling menguntungkan. Konsep ini kata Maura,
sekaligus bisa menjadi pengendali biaya dan mutu pengobatan. Hal ini dilakukan
kata Maura, sebagai awal dari rencana semua obat yang diformulasi (dalam
Fornas) akan berbentuk sebagai obat generik. "Mengingat 40-60 persen biaya
kesehatan adalah untuk obat," kata Maura (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/moj8lh-kemenkes-luncurkan-fonas-untuk-jkn-2014).
Maura
menambahkan, obat tradisional dan suplemen makanan tidak termasuk dalam Fornas.
Fornas dibuat sebagai acuan bagi setiap
fasilitas pelayanan kesehatan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKS)
2014. Fornas disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional
berdasarkan bukti ilmiah mutakhir, berkhasiat, aman, dengan harga murah (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/mojcdq-kebijakan-auto-switching-diharapkan-tingkatkan-minat-pada-obat-generik).
Seperti
dikabarkan sebelumnya, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Senin (17/6) mengumumkan Fornas dalam rangka menuju JKN 2014. Fornas antara
lain juga berisi daftar obat dan harga yang disusun oleh Komite Nasional
Penyusunan Fornas. Dengan adanya Fornas, lanjutnya, masyarakat tak perlu khawatir bakal mendapatkan obat yang tidak
sesuai dengan penyakit yang diderita. Rencananya, daftar obat dan harga ini
mulai tersedia September mendatang, yang bisa diakses melalui e-catalog. "Formularium ini
nantinya transparan. Setiap warga bisa melihat daftar obat yang terjamin,"
katanya (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/moj8lh-kemenkes-luncurkan-fonas-untuk-jkn-2014).
Kemenkes sendiri sebenarnya telah mengeluarkan pernyataan pada
2010 bahwa pada 2014, 80-90 persen resep dari dokter di rumah sakit umum
pemerintah atau puskesmas harus obat generik. Hal ini sejalan dengan Peraturan
Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 yang memang mewajibkan penulisan
obat generik. "Saat ini baru sekitar 65-68 persen resep yang menuliskan
obat generik bagi pasien," kata Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan Kemenkes, dr. Setiawan Soeparan.
Dalam peraturan tersebut, apoteker juga diberi kewenangan mengganti
obat bermerek dengan obat generik yang sama komponen aktifnya, dengan
persetujuan dokter dan/atau pasien. Pada awal diberlakukan aturan tersebut,
kata Setiawan, tren penulisan resep obat generik oleh dokter cukup tinggi yakni
sekitar 60 persen, namun peningkatannya lambat; hanya 2-3 persen tiap bulan. Salah
satu hambatannya adalah masyarakat masih meragukan kualitas obat generik
tersebut.
Apa itu Obat Generik
Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta Prof Dr Iwan Dwi Prahasto, M.Sc,PhD, menjelaskan, obat generik
sebenarnya sama dengan obat asli/paten, tapi dikeluarkan 15-20 tahun kemudian
setelah hak paten obat tersebut habis. "Setelah masa paten terlewati maka
industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama
persis dengan obat originator(asli)-nya, inilah yang disebut dengan obat copy atau obat generik," paparnya. Harga
obat generik ini lanjut Iwan, bisa sembilan kali lipat lebih murah dari yang
memakai paten (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/kesehatan/10/08/03/127972-kemenkes-targetkan-90-persen-resep-obat-generik).
Harga
yang murah ini karena perusahaan farmasi tak perlu membayar royalti atas hak
paten. Ada dua jenis obat generik: obat generik bermerek dagang dan obat
generik berlogo (OGB). Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu
diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik ”A” diberi
merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”B” memberi nama ”gatoticilin”. Mutu obat
generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya sama. Kemasan yang sederhana dan tak adanya biaya royalti
membuat harga obat generik bermerek lebih murah ketimbang obat paten.
Sementara
harga OGB lebih murah lagi. Ciri OGB adalah
logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di
bagian tengahnya. OGB merupakan program Pemerintah Indonesia yang diluncurkan
pada 1989 dengan tujuan memberikan alternatif obat dengan kualitas terjamin, ketersediaan
yang cukup, dan harga terjangkau. Nama yang tercantum
biasanya adalah nama kandungan zat aktifnya, misalnya “amoxicillin” (http://id.wikipedia.org/wiki/Obat_generik). OGB jauh lebih murah lagi karena
mendapat subsidi dari pemerintah.
Kita Belum “Well
Informed”
Di
negara maju seperti Amerika Serikat (AS), penggunaan OGB sudah sangat lumrah.
Masyarakat AS yang well informed
paham, OGB mengandung khasiat yang sama dengan obat bermerek, tetapi dipasarkan
dengan harga jauh lebih murah. Penggunaan OGB di negeri Paman Sam ini 60:40
dengan obat bermerek. Lewat program jaminan sosial dan asuransi kesehatan
konsumen, OGB di AS diminati kalangan menengah ke atas (http://health.detik.com/read/2009/10/20/100228/1224682/756/ngapain-gengsi-beli-obat-generik).
Bagimana
dengan Indonesia? Dalam survei
kecil-kecilan yang dilakukan Kompas.com di sejumlah apotek di kawasan
Jakarta Timur, 13 dari 20 orang menganggap obat generik sebagai obat kelas dua,
dan kurang berkhasiat ketimbang obat bermerek. Ditemui di salah satu apotek di Jakarta,
Doni (24) yang hendak menebus resep untuk orangtuanya mengatakan, "Ya
lebih bagus obat bermerek lah, soalnya dia punya merek. Kalau generik kan nggak
punya."
Sementara
Gunawan (34), seorang karyawan bank swasta di Jakarta, mengatakan, “Kalau
berobat saya minta diresepin obat generik. Udah murah, khasiatnya sama aja."
Bagaimana dengan pihak apotek? Rini (23), seorang asisten apoteker, mengatakan,
obat generik saat ini sudah lebih banyak dicari ketimbang obat bermerek. Meski
begitu, pihaknya tetap membatasi menjual obat generik. Pasalnya, keuntungan dari
menjual obat generik tidak sebesar obat bermerek.
Sanksi Buat Dokter
Bandel
Sekjen
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto, mengatakan, IDI, kata Slamet, selalu mengimbau anggotanya
untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin
kontrak dengan penyedia obat. Apabila terbukti ada anggotanya yang terlibat,
maka akan diberikan sanksi. "Tak dapat dipungkiri bahwa masih ada tenaga
medis yang memberikan resep obat generik bermerek. Ke depan, hal-hal seperti
ini diharapkan tidak lagi terjadi," katanya.
Slamet
juga mengamati, masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. "Apotek
harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen. Seharusnya
di atas 50 persen,” kata Slamet. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal
harus menyediakan 80 persen obat generik, agar masyarakat mudah mendapatkannya
jika dokter meresepkan obat generik. Pemerintah juga, kritik Slamet, tak juga membuat
regulasi mengenai ketentuan di apotek.
“Harusnya semua apotek diwajibkan minimal
menyediakan obat generik 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi
minimal 70 persen obat generik," ujarnya. Dirjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Nasional, Maura Sitanggang buru-buru membantah. Menurutnya,
pemerintah memang belum mengatur hal ini, tetapi di beberapa daerah pemerintah
telah menyediakan apotek khusus obat generik, meski jumlahnya masih sangat
terbatas (http://health.kompas.com/read/2012/07/24/21015322/Obat.Generik.Berlogo.Bukan.Obat.Orang.Miskin).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar