“Dari
sembilan kota yang menjadi responden, kota dengan jumlah pesantren banyak , mendominasi
kasus pernikahan di bawah umur”
Di
Singapura, mahalnya harga mobil berikut tetek bengek pajaknya, membuat jalanan
lengang. Kenapa? Karena warga memilih naik kendaraan umum yang lebih murah. Sayangnya,
logika semacam itu tidak berlaku untuk menekan jumlah penduduk di Indonesia. Di
berbagai daerah, sebut saja Garut, Ungaran, Jember, Semarang, atau Cirebon, hingga Jambi, warga mengeluhkan
tingginya biaya pernikahan. Namun di sisi lain, pemerintah mengeluarkan data
bahwa angka pencapaian program Keluarga Berencana (KB), stagnan, cenderung
mengkhawatirkan. Malah Menteri Kesehatan
(Menkes) sudah menyatakan bahwa program KB gagal.
Lutfiana Ulfa dinikahi Sek Puji di usia 12 (ROL) |
Apakah tren nikah
siri bisa dijadikan kambing hitam kegagalan? Atau program “dua anak cukup”
sudah dilupakan? Selain memang ada laporan bahwa kecenderungan menikah dini
(mungkin di antaranya secara siri juga), kian meningkat di negeri ini, termasuk
juga menikah dini karena “kecelakaan”. Menkes, Nafsiah Mboi, menyebut, usia
pernikahan saat ini cenderung turun (lebih muda). “Makin banyak remaja dibawa
20 tahun yang sudah melakukan seks dan pernikahan akibat pergaulan bebas,"
ujarnya, April lalu. Pernikahan dini kata Nafsiah, banyak terjadi di wilayah
rural, sementara pada daerah urban tidak begitu tinggi (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz7fl-menkes-nilai-program-kb-gagal).
Deputi
bidang KB dan Kesehatan Reproduksi, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Julianto Witjaksono, mengungkapkan,
pelaksanaan program Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Nasional dalam 10
tahun terakhir menunjukkan angka yang tidak memuaskan. "Situasi ini perlu
diwaspadai dan ditanggapi secara serius," ujar Julianto, di Gorontalo,
Senin (3/6/13).
Ia mengatakan, total fertility rate (tingkat kelahiran
anak oleh seorang wanita usia subur) stagnan pada angka 2,6 persen. Sementara
penggunaan kontrasepsi hanya merangkak naik 0,5 persen selama lima tahun
terakhir dari 61,4 persen (2007) menjadi 61,9 persen (2012). Hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012, sebut Julianto, juga
memperlihatkan indikasi mengkhawatirkan, yakni persentase wanita yang hamil di
usia 15-49 tahun meningkat dari 3,9 persen (2007) menjadi 4,3 persen (2012).
Penggunaan
kontrasepsi moderen juga menurun pada wanita usia 25-29 dari 60,7 persen (2007)
menjadi 60,4 persen (2012), di usia 30-34 turun dari 64,7 persen (2007) menjadi
61,8 persen (2012). Kebutuhan ber-KB pada Pasangan Usia Subur (PUS) yang masuk kelompok
usia muda yakni 20-24, juga turun dari 71,5 persen (2007) menjadi 68,6 persen
(2012), sedangkan usia 25-29 tahun turun dari 74,0 persen (2007) menjadi 71,9
persen (2012). "Bahkan di usia 30-34 tahun penurunannya lebih besar, yaitu
dari 78,5 persen (2007) menjadi 74,1 persen (2012)," jelas Julianto.
Julianto
mengakui, di lapangan juga terjadi penurunan upaya penyuluhan progam KB baik
kuantitas maupun kualitas. Berkaca pada fakta tersebut, ia meminta semua pihak
termasuk jajaran pemerintah daerah, para PLKB/PKB, Kader PKK-Kesehatan, tokoh
masyarakat serta seluruh jajaran mitra program kerja KB, untuk terus semangat
dan berjuang. "Ajak semua keluarga untuk ikut KB,” seru Julianto (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/04/mnucjj-angka-pencapaian-program-kb-mengkhawatirkan).
Berdasarkan
laporan-laporan itu, Nafsiah menilai program KB telah gagal. Angka fertilitas
(harfiah: kesuburan) di Indonesia kata Nafisah, tidak menurun seperti yang
diharapkan. "Pada sekitar 2012, angka fertilitas di Indonesia sebesar 2,6,
dan angka tersebut masih bertahan hingga saat ini. Artinya program KB dalam 10
tahun terakhir gagal," kata Menkes. Kegagalan ini mengacu pada target
program Millenium Development Goals
(MDGs) yang menargetkan angka 2,1 pada 2014 (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz7fl-menkes-nilai-program-kb-gagal).
Millennium
Development Goals (MDGs) atau diterjemahkan menjadi Tujuan Pembangunan
Milenium, adalah sebuah paradigma pembangunan global yang dideklarasikan 189 negara
anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Konperensi Tingkat Tinggi
Milenium di New York, September 2000 (http://mdgs-dev.bps.go.id/main.php?link=home).
Dengan demikian, target MDGs merupakan janji pemerintah negara-negara anggota
PBB itu kepada dunia.
Berkaitan dengan
fenomena menikah dan melahirkan di usia dini, BKKBN mencatat bahwa ada peningkatan
10 persen indeks kehamilan usia remaja (15-19 tahun) dibanding 2012. BKKBN
memantau, angka 35 anak per 1000 kehamilan di kalangan remaja, meningkat
menjadi 48 anak per 1000 kehamilan pada 2013. Sementara target (MDGs) yang
hendak dicapai pada 2014 yaitu 30 per 1000 kehamilan. Penurunan angka ini
dinilai cukup sulit mengingat semakin banyak wanita usia muda yang melahirkan
dini.
Deputi Bidang
Advokasi Penggerakan Informasi BKKBN, Hardiyanto, mengakui, selain upaya petugas
PLKB/PKB dan Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) dalam menyosialisasikan
program KB masih belum maksimal, juga karena berbenturan dengan perilaku seks
bebas di kalangan remaja yang makin mengkhawatirkan.
Dokter dari
Direktorat Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan, Dr Elsa Pongtuluran, mengatakan,
semakin bebas pergaulan semakin banyak wanita yang hamil di usia dini.
''Padahal pada usia itu organ reproduksi wanita masih sangat rentan,'' kata Dr
Elsa. Usia matang seorang wanita bereproduksi kata Elsa, adalah 20-35 tahun. Di
bawah dan di atas usia tersebut, rentan komplikasi (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/30/mnkkr5-fenomena-nikah-dini-menjadi-konsentrasi-bkkbn/ http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/19/mlif4l-angka-perempuan-melahirkan-di-usia-dini-masih-tinggi).
Menurut peneliti
dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Prof Abdurahman
Masud, penyebab terjadinya pernikahan di bawah umur antara lain juga
karena rendahnya pendidikan; belum cukup
umur sudah bekerja karena harus mengurangi beban keluarga. Penyebab lainnya,
lanjut dia, terjadinya pernikahan tidak tercatat (nikah siri), karena ada anggapan
pernikahan sudah sah jika dilakukan oleh kiai atau ulama. Ia lalu menyarankan
agar kerja sama dengan pengadilan agama digalakan selain untuk sosialisasi
bahaya menikah di bawah umur, juga memperbanyak sidang isbat (pengesahan) nikah keliling (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/26/mitgub-wah-makin-banyak-orang-menikah-muda-mengapa).
Hasil penelitian
Balitbang dan Diklat Kemenag terkait pernikahan di bawah umur menunjukkan hasil
mengejutkan. Dari sembilan kabupaten yang menjadi responden, kota dengan jumlah
pesantren banyak justru mendominasi. Kesembilan kabupaten tersebut adalah Tangerang,
Indramayu, Cianjur, Brebes, Yogyakarta, Bangkalan, Malang, Lombok Tengah dan
Balangan. Kabupaten Indramayu dan Malang merupakan yang tertinggi kasus nikah
di bawah umur. Abdurrahman mengatakan, jumlah kasus di Indramayu sebanyak 825
kasus. Sedangkan di Malang 474 kasus. "Kota ini (Indramayu dan Malang)
adalah kota santri, banyak pesantrennya," kata Abdurrahman (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/26/mitizp-nikah-di-bawah-umur-justru-marak-di-kota-santri).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar