Selepas invasi Amerika Serikat (AS) pada
2003 ke Irak, disusul tercapainya tujuan AS menjatuhkan dan menangkap Saddam
Husein, hingga dia diadili dan dihukum mati pada 2006, Irak bagai tanah tak
bertuan. Keamanan hidup di negeri ini sangat mengkhawatirkan. Bom mobil dan bom
bunuh diri meledak dimana-mana. Dalam satu hari bisa saja terjadi enam ledakan
bom. Jika korban kebanyakan kaum Sunni, Syiah yang dituduh, dan sebaliknya. Konflik
diperberat dengan adanya tuntutan agar Perdana Menteri Nuri al-Maliki, yang seorang Syiah, mundur.
Bom mobil dan bunuh diri, cekam Irak (ROL) |
Terakhir, Jumat
(7/6/13), sejumlah pejabat Irak melaporkan ada tiga bom mobil termasuk dua
ledakan bom bunuh diri, yang menewaskan 15 orang di Irak. Kondisi ini menyulut
kekhawatiran mengenai kemungkinan kembalinya perang sektarian besar. Dikatakan
pejabat-pejabat itu, ledakan bom mobil bunuh diri menghantam pos pemeriksan
polisi di dekat Ramadi, ibu kota provinsi Anbar yang berpenduduk mayoritas
Sunni. Bom ini menewaskan sedikitnya lima polisi dan mencederai delapan lainnya.
Di utara
Baghdad, satu kendaraan terparkir yang dipasangi bom, meledak di kota
Muqdadiyah, menewaskan 10 peziarah Iran dan melukai 30 lain. Ledakan itu
terjadi ketika bis para peziarah itu melewati kota tersebut dalam perjalanan
dari perbatasan Iran menuju kota suci kaum Syiah, Najaf. Di Najaf, yang
terletak di sebelah selatan Baghdad, terdapat tempat pemakaman keramat seorang
tokoh panutan Syiah.
Kunjungan warga
Syiah ke tempat-tempat suci dan keagamaan telah menjadi tulang punggung
industri wisata Irak, dan sebagian besar dari mereka datang dari Iran. Militan
Sunni, termasuk yang terkait dengan Al Qaida, menganggap muslim Syiah sebagai
kaum yang menyimpang sehingga menjadi alasan untuk menyerang mereka. Belum ada
kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas pemboman Jumat itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/06/08/mo1ihc-15-orang-tewas-akibat-pemboman-di-irak).
Pelaku bom
bunuh diri ini tidak saja dilakukan pria, melainkan juga wanita. Pada 2009, seorang
wanita meledakkan diri di satu rute ziarah kelompok Syiah. Serangan itu terjadi
di wilayah Iskandariyah, atau 40 km selatan ibukota Irak, Baghdad. Pada Jumat
malam itu (13/2/09), sebanyak 32 orang tewas, dan mencederai 84 lainnya. Pada Ahad (4/1/09), kantor berita Voices of Iraq, mengutip
sumber keamanan setempat, melaporkan, seorang wanita meledakkan sabuk bom yang melilit di tubuhnya di tengah pawai keagamaan dekat tempat ibadah Kakhimiyah,
Baghdad utara. Sebanyak 35 orang tewas termasuk wanita dan anak-anak.
Sehari
sebelumnya (12/2/09), ledakan bom juga menewaskan delapan orang di kota suci Syiah,
Karbala. Padahal keamanan ke rute ziarah itu sudah ketat. Ratusan ribu peziarah
sedang menuju Karbala untuk memperingati Arbain, salah satu tanggal paling
penting dalam kalender Syiah. Upacara Arbain menandakan berakhirnya masa
berkabung setelah ulang tahun wafatnya cucu Nabi Muhammad, Imam Hussein, pada
abad ke-7.
Aksi kekerasan
yang melanda Irak sempat turun tajam seusai invasi AS pada 2003. Kondisi ini sempat
membantu Al Maliki memeroleh kemenangan saat pemilihan perdana menteri di
wilayah selatan yang mayoritas Syiah. Tetapi serangan-serangan bunuh diri dan
bom mobil tetap tak terhindarkan (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/02/14/31487-bom-bunuh-diri-di-iraq-marak-kala-arbain / http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/01/05/24158-wanita-pembom-bunuh-diri-teawskan-35-orang).
Kekerasan Siap Meledak
Kini,
serangan-serangan bom di negeri ini kian meningkat tajam. Mei merupakan bulan
paling mematikan sejak 2008 yang telah menewaskan lebih dari 600 orang. Seorang
utusan PBB untuk Irak memperingatkan, kekerasan siap meledak. Ledakan-ledakan
Jumat itu merupakan yang terakhir dari gelombang pemboman dan serangan bunuh
diri.
Irak kini
dilanda krisis politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mitra-mitra
pemerintahnya. Pawai protes menuntutnya mundur mewarnai negeri 1001 malam ini selama
beberapa pekan terakhir. Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga
berselisih dengan kelompok Sunni. Al-Maliki yang Syiah, sejak Desember 2011
mengupayakan penangkapan Wakil Presiden, Tareq al-Hashemi, atas tuduhan
terorisme. Dia jua berusaha memecat Deputi Perdana Menteri, Saleh al-Mutlak. Keduanya
adalah Sunni. Tareq sempat bersembunyi di permukiamn suku Kurdi yang tidak bersedia menyerahkannya pada pemerintah.
Menurut data AFP berdasarkan keterangan dari
sumber-sumber keamanan dan medis, sepanjang 2013 ini lebih dari 450 orang tewas
dalam kekerasan pada April, sementara jumlah kematian pada Maret mencapai 271.
Sepanjang Februari, 220 orang tewas dalam kekerasan di Irak. Irak dilanda
kemelut politik dan kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang sejak pasukan
AS menyelesaikan penarikan pasukannya dari negara itu pada 18 Desember 2011,
meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan pemerintah Irak (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/06/08/mo1ihc-15-orang-tewas-akibat-pemboman-di-irak).
Serangan bom kelompok
Sunni tampaknya semakin tak kenal ampun. Tidak saja kepada pasukan keamanan dan
pemimpin kelompok Syiah, namun juga ke masjid Syiah. Hal ini tampaknya dipicu serangan
militer pemerintah Irak ke sebuah tenda demonstran kaum Sunni di Kirkuk, April lalu. Menurut
data PBB, April lalu adalah saat paling berdarah sepanjang lima tahun terakhir,
yaitu sebanyak 712 orang tewas. Pada Kamis (16/5/13), bom bunuh diri meledak di
satu masjid Syiah di Kirkuk. Delapan orang dikabarkan tewas. VOA
menyebut 13 tewas. Kebanyakan korban adalah pelayat dari korban bom yang
sebelumnya terjadi juga di daerah itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/17/mmxycl-kekerasan-sektarian-irak-diambang-perang-saudara).
Para periset AS seperti dilaporkan jurnal Inggris The Lancet, Jumat (15/3), menyatakan, setidaknya 116 ribu warga sipil Irak dan lebih dari 4.800 tentara koalisi AS tewas sejak meletusnya perang Irak pada 2003 sampai penarikan pasukan AS pada 2011. "Biaya yang dikeluarkan AS di Irak sejauh ini mencapai 810 miliar dolar AS dan bisa mencapai tiga triliun dolar," kata dua periset tersebut yang merupakan professor untuk kesehatan masyarakat. Mereka adalah Harry Levy dari Tufts University School of Medicine, Boston, dan Victor Sidel dari Albert Einstein Collge of Medicine, New York.
Data yang
mencakup hingga 15 Januari 2013 itu diperoleh dari laman costofwar.com,
yang memantau dana yang dialokasikan Kongres (DPR AS) untuk perang Irak. Mereka
mengutip data dari studi di jurnal-jurnal yang telah disiarkan, dan dari laporan-laporan
badan-badan pemerintah, organisasi-organisasi internasional, dan media. "Kami
berkesimpulan setidaknya 116 ribu warga sipil Irak dan lebih dari 4.800 tentara
koalisi tewas dalam perang delapan tahun dari tahun 2003 sampai 2011,"
papar mereka.
Diungkapkan
mereka, banyak warga sipil Irak cedera atau sakit karena rusaknya prasarana
yang mendukung kesehatan di negara itu, dan sekitar lima juta orang terlantar. Selain
itu, lebih dari 31 ribu personel militer AS cedera hingga mengalami gangguan
jiwa/psikologis (stress) dan gangguan otak. Laporan itu tampaknya dimuat dalam
satu paket penyelidikan menyangkut konsekuensi-konsekuensi kesehatan akibat
Perang Irak, yang disiarkan Lancet
untuk memperingati ulang tahun dimulainya konflik itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/03/15/mjowvx-selama-perang-as-di-irak-116-ribu-warga-sipil-tewas).
Sejak pasukan AS
ditarik pada 2011, ketegangan antara Syiah dan Sunni kian memanas. Banyak pihak
mulai merasa negara itu di ambang perang saudara. Minoritas Sunni yang
kehilangan dominasi sejak invasi AS di tahun 2003, terus menekan PM Nuri Al
Maliki, seorang Syiah, agar mundur. Warga dari kelompok Sunni merasa mereka dipinggirkan
dari pemerintahan yang dikuasai Syiah ini (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/17/mmxycl-kekerasan-sektarian-irak-diambang-perang-saudara).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar