4/26/2013

Jeruji Besi bagi Sang Sosialita Tetap Tiga Tahun

“Febri Diansyah: perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan supaya orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi,  karena jika tertangkap ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya”

Upaya kasasi  agar tebebas dari hukuman penjara, gagal didapat Miranda Swaray Goeltom. Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) ini. Miranda diharuskan menjalani hukuman pidana selama tiga tahun penjara. Sayangnya, kasasi ini tidak membuat Miranda dihukum lebih berat seperti halnya yang terjadi pada Muhammad Nazaruddin. Padahal hukuman terhadap Miranda terbilang sangat ringan.

ROL
Alasan MA tidak menerima kasasi Miranda,  karena pengadilan tingkat pertama dan banding terhadap Miranda telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan dengan benar.  “Ada fakta hukum yang membuktikan ada rangkaian perbuatan terdakwa dengan pemberian cek perjalanan (travel cheque) ke anggota DPR, sampai terpilihnya terdakwa menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI)," kata Ketua Majelis Kasasi perkara Miranda, Artidjo Alkostar, di Jakarta, Jumat (26/4).

Pada pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan denda senilai Rp 100 juta subsider tiga bulan hukuman. Atas putusan ini, Miranda mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi (PT) Tipikor pada PT DKI Jakarta menguatkan putusan pengadilan tipikor tingkat pertama tersebut.

Kasus suap cek pelawat ini telah menghantarkan setidaknya 25 anggota DPR periode 1999-2004 ke penjara. Pengadilan menyatakan Miranda terbukti menyuap 25 anggota DPR periode 1999-2004 tersebut dengan bantuan Nunun Nurbaeti yang sudah divonis 2,5 tahun. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/04/26/mlu42y-ma-tolak-kasasi-miranda-goeltom). Para anggota DPR ini terbukti menerima suap cek perjalanan senilai Rp 20,8 miliar (http://blogber.blogdetik.com/2013/02/08/rata-rata-vonis-hukuman-koruptor-hanya-35-tahun-apa-mereka-akan-jera/).

Sebelumnya, Kuasa Hukum Miranda, Andi Simangunsong, mengatakan,  kasasi dilakukan dengan harapan akan mendapatkan keputusan lebih ringan dari MA. ”Kami percaya Hakim Agung (di MA) lebih objektif secara hukum dan berani  memutus semata berdasarkan hukum,” ujarnya.  Pertimbangan hakim PT DKI menyangkut putusan itu, kata Andi, hanya didasari alasan normatif. “Ada kekeliruan hakim di tingkat pertama yang kami tuangkan dalam memori banding,” katanya.

Kekeliruan yang dimaksud Andi adalah bahwa tidak adanya hubungan langsung antara Miranda dengan Nunun Nurbaeti. ”Jelas-jelas tidak ada hubungan langsung dengan Nunun. Tindakan yang dilakukan Nunun berdiri sendiri dan tidak melibatkan Miranda,” katanya. Andi sempat menyatakan optimistis Miranda akan dibebaskan di tingkat kasasi. Nunun sendiri telah dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan memberi suap ke sejumlah anggota DPR 1999-2004 terkait pemenangan Miranda sebagai DGSBI 2004 (http://www.jurnas.com/news/81153/KPK_Siapkan_Kontra_Kasasi_Miranda_Goeltom/1/Nasional/Hukum).

Atas upaya kasasi lihak Miranda, KPK menurut juru bicaranya,  Johan Budi SP, segera akan menyiapkan memori kontra kasasi.  Meski demikian, lanjutnya, sampai saat ini KPK belum berniat mengajukan kasasi (balik). Pasalnya KPK menilai hukuman yang dijatuhkan terhadap Miranda (vonis 3 tahun penjara) bisa diterima, meski tak sesuai dengan tuntutan yang diajukan KPK yakni 4 tahun penjara bagi sang sosialita (http://nasional.inilah.com/read/detail/1950544/kpk-siap-layani-permohonan-miranda-kasasi-ke-ma).

Miranda memang santer dijuluki wanita sosialita. Dia sering mengunjungi acara-acara dengan para sosialita lainnya dengan penampilan yang selalu menarik perhatian mulai pakaian, tas, sampai warna rambutnya. Menurut Ade Syarfuan, teman sekaligus Dewan Pembina Rumah Pesona Kain, Miranda memiliki beberapa personal stylist sendiri. Salah satunya adalah anak perempuannya.

 Mengenai perancang busana favorit Miranda, Ade mengatakan Miranda menggemari hampir semua perancang busana ternama Indonesia. Sedangkan untuk tas favorit Miranda, cerita Ade, mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia ini menggemari semua tas mahal berkelas dunia (http://www.tempo.co/read/news/2012/01/27/063379984/).

Semua itu memungkinkan terbiayai mengingat gaji Miranda selama menjabat DGSBI adalah sekitar Rp 200 juta per bulan atau Rp 2,4 miliar per tahun. Meski begitu, jika melihat nilai suap Miranda sebesar Rp 20,8 miliar, lalu dibandingkan dengan hasil Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang menunjukkan bahwa kekayaan Miranda hanya sekitar Rp 7 miliar, tampaknya ada indikasi kasus cek pelawat ini disokong sekelompok orang yang memiliki kepentingan terhadap BI (http://hutte-stijl.blogspot.com/2013/02/4-tahun-10-bulan-untuk-miranda-terlalu.html).

Sebenarnya masih bagus Miranda tidak malah dihukum lebih berat di tingkat kasasi seperti halnya yang terjadi pada terdakwa korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games Palembang, Muhammad Nazaruddin.  Di tingkat kasasi, MA justru menambah hukumannya menjadi tujuh tahun dari semula hanya empat tahun bagi kepada Nazar (http://m.pikiran-rakyat.com/node/220196).

Mengenai ringannya hukuman-hukuman terhadap koruptor bahkan ada yang divonis bebas, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, menuliskan pendapatnya. Berdasarkan catatan ICW, sejak pengadilan tipikor daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis bebas/lepas. Skor tertinggi (pembebasan koruptor) dipegang Pengadilan Tipikor Surabaya dan Samarinda.

Jikapun akhirnya divonis bersalah, sanksi yang dijatuhkan pun tergolong rendah. Pada 2011, dari 55 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK, rata-rata vonis hanya 3 tahun 2 bulan. “Bahkan, untuk ‘korupsi berjemaah’ seperti skandal suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom, rata-rata vonis hanya 1 tahun 4 bulan. Padahal, pelaku korupsi orang-orang yang sebelumnya berada di posisi terhormat, mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara yang kemudian khianat,” tulis Febri.

Angka di atas terasa kian menjengkelkan ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan ”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi, sama sekali tak terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa takut korupsi?

Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada. Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya (http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/06465957/Jalan.Terjal.Pemiskinan.Koruptor).

Menutip dari tabloid The Politic edisi 24, Miranda boleh saja keberatan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di pengadilan tipikor pertama yang hanya menuntut hukuman 4 tahun 10 bulan kepada Miranda. Namun mantan Hakim Agung, Benjamin Mangkoedilaga, termasuk yang menilai bahwa tuntutan JPU itu terhitung ringan.

“Saya kecewa dengan putusan JPU. Karena bagaimana pun juga korupsi, narkoba dan terorisme merupakan tindak pidana extraordinary. Itu yang menentukan nasib bangsa di masa depan,” ujar  Benjamin. Sebagai orang yang berkecimpung dalam bidang hukum selama berpuluh tahun, Benjamin memandang saat ini perkembangan hukum di Indonesia kurang menggembirakan karena ketidaktegasan pemimpin.

Selain itu ia menilai para penegak hukum kehilangan panutan yang bisa memberikan putusan-putusan fundamental yang bagus. Selain itu, penegak hukum ini tak memiliki pembekalan memadai sehingga ada kesan mereka mengabaikan kasus korupsi engan selalu menjatuhkan vonis ringan. Menurutnya, kondisi yang terjadi di ranah hukum Indonesia zaman sekarang sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu terutama 1950-1970-an di mana tidak ada hukum yang ringan untuk kasus berat (http://hutte-stijl.blogspot.com/2013/02/4-tahun-10-bulan-untuk-miranda-terlalu.html). **


Newspeg:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar