4/22/2013

Hewan-hewan Sahabat Penyandang Autis


“Ketika anaknya mulai bisa berkomunikasi, Ifen memutuskan meneruskan terapi berkuda kepada kedua putrinya”

Terapi menggunakan hewan jinak untuk penyembuhan penderita autis, telah banyak dikembangkan. Sebut saja, hewan-hewan tersebut antara lain anjing, kuda, dan lumba-lumba. Terapi menggunakan anjing peliharaan misalnya, telah membuahkan hasil di banyak negara.
 
Psychologyface.com
Pakar lingkungan hidup dari India, Prof Nandhita Krishna, dalam seminar Kesejahteraan Hewan Menurut Agama Hindu, mengemukakan, anak-anak penderita autis umur 7-8 tahun yang belum bisa bicara, dengan sentuhan pendidikan menggunakan anjing kesayangan, mulai belajar berbicara (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/04/20/mlhrzd-hewan-inilah-yang-bantu-sembuhkan-autis).

Seorang bocah penderita autis berusia 11 tahun bernama Milo misalnya, melakukan terapi bersama anjingnya, Chad. Meskipun efek ini belum bisa dijelaskan melalui penelitian ilmiah, tapi hubungan yang terjalin antara Milo dan Chad melampaui yang umumnya terjadi. "Dalam seminggu, perubahan besar terjadi pada Milo. Setelah sebulan, dia menjadi lebih tenang serta bisa berkonsentrasi dan berkomunikasi dalam jangka waktu lebih lama," ujar Vaccaro, ibunda Milo, seperti dikutip dari New York Times.

Hubungan yang terjadi antara manusia dengan binatang peliharaannya memang memiliki efek langsung. Menurut Dr Melissa A Nishawala, direktur klinis pelayanan autis-spectrum di Child Study Center at New York University, Chad sendiri tampak tidak aktif, dan hanya duduk diam di dalam ruangan. Nishawala pun mulai berencana menghentikan pengobatan pada Milo.

Di Children's Hospital of Orange County di California Selatan, terapi anjing digarap serius. Di sana, puluhan relawan secara rutin membawa anjingnya untuk mengunjungi pasien anak-anak yang dirawat karena penyakit serius. Biasanya anak-anak tersebut sering merasa sedih, cemas atau depresi. Hal terpenting, binatang peliharaan tersebut harus bebas dari segala macam penyakit dan telah mendapatkan vaksinasi dengan benar (http://health.detik.com/read/2009/10/09/092026/1218368/764/terapi-autis-dengan-binatang-peliharaan).

Lain lagi dengan yang dilakukan Pricilla Armelita (11 tahun) dan Patricia Melvina Saputra (11). Anak kembar ini selalu rutin dibawa sang ibu ke tempat wisata berkuda di Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. "Anak saya sulit berkomunikasi dan selalu tertutup," kata Ifen.

Billy Mamolo, pemilik ranch kuda tersebut, yang kemudian menjadi ahli secara otodidak dalam memanfaatkan kuda untuk terapi autisme, awalnya hanya secara rutin saja mengajak anak kembar ini berkeliling di lapangan, bahkan ke hutan yang banyak ditumbuhi pohon Pinus di sekitar Tangkuban Perahu. “Pohon pinus mengeluarkan ion yang positif," kata Billy.

Perubahan pun terjadi. “Anak saya mulai bisa diajak berkomunikasi dan sudah mau menceritakan tentang pengalamannya kepada saya," ujar Ifen. Sejak saat itu, Ifen memutuskan meneruskan terapi berkuda kepada kedua putrinya. Billy pun mulai tekun untuk mengembangkan terapi autis melalui berkuda.

Dia juga melakukan riset kecil-kecilan, dan mengikuti seminar tentang manfaat berkuda ke beberapa negara. Akhirnya, ia menemukan metode terapi autis dengan berkuda yang baku. Kini sudah puluhan anak autis yang ditangani oleh Billy."Ternyata benar kalau Nabi Muhammad menganjurkan kita untuk belajar berkuda," kata Billy (http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/259-terapi-berkuda-bagi-anak-autis).

Bagaimana dengan lumba-lumba? Lumba-lumba diketahui mengeluarkan gelombang sonar (gelombang suara dengan frekuensi tertentu). Gelombang ini dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang, sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri.

Gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter. Itu sebabnya beberapa ahli menyatakan terapi lumba-lumba baik untuk para penderita gangguan saraf. Terapi lumba-lumba bahkan disebut mampu meningkatkan kemampuan bicara dan keahlian motorik anak autistik. Terapi ini awalnya dikembangkan Dr.David Nathanson, Ph.D. dari The Dolphin Human Therapy Centre di Florida, Amerika Serikat, pada awal 1980-an. Dalam sesi terapi yang berlangsung di kolam renang, pasien diminta berenang, menyentuh, memberi makan, hingga mengelus lumba-lumba.

Di Indonesia, saat ini baru ada dua tempat yang memiliki fasilitas terapi lumba-lumba yakni di Bali dan Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu. Karena keterbatasan ini, sebuah situs kemudian menawarkan produk CD Terapi Anak Autis yang disebut-sebut menyerupai terapi lumba-lumba. Gelombang Sonar yang dihasilkan oleh lumba-lumba direkam, dan ditiru pola gelombangnya untuk diproduksi secara digital (http://www.parenting.co.id/article/artikel/terapi.lumbalumba.untuk.anak.autis/001/004/210).



Otak Jenius Penderita Autisme
Ihwal dominasi otak tertentu pada anak autis, para peneliti dari Universitas Montreal, Kanada, mengatakan bahwa pada penyandang autisme, area otak yang berkaitan dengan fungsi informasi visual (otak kiri, Red) sangat berkembang (dominan). Sementara itu, bagian otak lainnya kurang aktif terutama pada area yang berkaitan dengan pembuatan keputusan dan perencanaan (otak kanan, Red).

Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa penyandang autisme biasanya lebih unggul dalam hal tugas-tugas visual, misalnya menggambar sesuatu dengan sangat akurat dan detail. Akan tetapi, anak autis biasanya kesulitan menerjemahkan ekspresi wajah. Kondisi otak tersebut bervariasi pada setiap individu, sehingga ada penderita autisme yang sama sekali tidak bisa mengambil peran dalam kehidupan sosial. (http://geniusmap.com/index.php?action=news.detail&id_news=408&judul=Otak%20Anak%20Autis%20Bekerja%20dengan%20Cara%20Beda).

Hingga saat ini belum ditemukan penyebab autisme. Gejala autisme seringkali sudah terlihat saat anak belum berusia 2 tahun. Tapi ada juga kasus yang baru terdiagnosis ketika memasuki TK atau SD. Akibat gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks, anak autis tidak bisa senormal anak umumnya. Mereka seperti hidup dalam dunianya sendiri dan kadang bertingkah hiperaktif.

Namun jika ditangani lebih dini melalui terapi kejiwaan, misalnya sejak usia kurang dari 3 tahun, anak autis bisa pulih seperti anak normal. Dokter Yunias Setiawati SpKJ, supervisor Day Care Psikiatri Anak RSUD dr Soetomo Surabaya, mengatakan, hal itu karena dalam usia tersebut perkembangan otak belum optimal.

Beberapa pasien autis yang ia tangani sejak dini, kata Yunias, kini kondisinya sudah seperti anak normal. Bahkan ada yang IQ-nya bertambah dan mampu mengenyam pendidikan di sekolah internasional. Beberapa terapi yang umum dilakukan terhadap anak autis adalah terapi biomedis, perilaku, okupasi, wicara, musik, serta edukasi keluarga.

Dalam terapi medis, anak biasanya diberi obat untuk membuang kandungan logam berat dari tubuhnya. Anak autis kebanyakan memiliki kadar logam berat lebih banyak dari anak lain. Hal ini menyebabkan berubahnya susunan dan fungsi sel otak. Kandungan logam berat ini bisa disebabkan banyak hal, namun yang paling utama adalah karena polusi. Seorang ibu yang mengonsumsi ikan laut dari perairan yang sudah terpolusi, anaknya berpotensi menderita autisme   (http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/267-siapa-bilang-qautisq-tak-bisa-disembuhkan).

Aulia Gurdi, ibu dari seorang anak penyandang autis tipe hypo (sangat pendiam), berkisah. Oleh dokternya, Aulia diberi penjelasan bahwa autis bukanlah penyakit, sehingga kata “sembuh” tidaklah tepat. Autis dapat diklasifikasikan menjadi hypo dan hyperactive (hiperaktif). Penyandang autis hypo umumnya sulit dimengerti keinginannya, sehingga perkembangan kemandiriannya lebih lambat. Sementara yang hiperaktif,  bila terapi sudah berhasil mengendalikan prilakunya, biasanya kemampuannya akan berkembang pesat. Sebagian besar anak autis yang berpredikat jenius atau super cerdas biasanya mereka yang hiperaktif.

Karena autisme berspektrum, maka jenis atau ciri penyandang autis itu banyak, sehingga orang sering juga mengklasifikasinya (selain hypo dan hiperaktif tadi) dengan sitilah: ringan, agak ringan, berat, dan agak berat. Padahal kata para ahli, klasifikasi ini bisa menyesatkan. Karena pada kenyataannya bagaimana pun spektrumnya, terapi intensif yang terpadu dan berkesinambungan diperlukan bagi anak autis, untuk harapan suatu saat bisa hidup mandiri layaknya anak normal (http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/06/30/tahukah-anda-bahwa-autis-bukan-penyakit-375476.html).**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar