4/15/2013

Ekonomi Pemerataan Obama Diduga Terinspirasi Pancasila



“Karena itu, ia mengajak masyarakat AS menolak seruan Obama terkait kolektivisme yang berbau Indonesia”

Pesan politik “Nasionalisme Baru” yang diusung Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, diduga terinspirasi Pancasila. Politisi Partai Republik, Michael Patrick Leahy, mengatakan, ada inti pesan Obama dalam pidatonya yang sangat mirip dengan pidato Presiden pertama Indonesia, Soekarno, tentang Pancasila. Leahy melihat, latar belakang Indonesia berperan penting dalam membentuk visi internasionalisme Barack Obama.
Pidato legendaris Bung Karno
 
Seperti dimuat dalam laman AmericanThinker, dengan lugas Leahy mengutip sejarah Soekarno alias Bung Karno yang mengusung Pancasila dalam rapat 1 Juni 1945. Di depan peserta sidang rapat, kata Leahy, Bung Karno menjabarkan prinsip dasar Indonesia yaitu: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Leahy, ada bagian di pidato Obama yang menggaungkan Nasionalisme Baru AS yang sangat mirip dengan sila kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Leahy berargumen, ini bisa dimengerti karena Obama pernah bersekolah di Indonesia, dan berkenalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Ia lalu membandingkan pidato Soekarno itu dengan pidato Obama di Osawatomie. Leahy menulis, pada 1 Juni Soekarno mengatakan, "...Dalam sila Keadilan Sosial jangan ada lagi kemiskinan di Indonesia yang merdeka. Apakah rakyat Indonesia ingin Indonesia yang merdeka tapi kelompok kapitalisme juga merajalela? Atau sebaliknya, kesejahteraan untuk seluruh rakyat, dimana tiap orang bisa makan dengan cukup."

Sementara bagian pidato Obama di Osawatomie yang dikutip Leahy: "... Mereka (kaum Republik) ingin kembali ke filosofi usang yang tidak memihak ke kelompok kelas menengah AS bertahun-tahun ini. Filosofi mereka sederhana, kita dianggap akan sejahtera kalau semua orang dibebaskan untuk bermain dengan aturannya sendiri-sendiri. Well, saya di sini mengatakan mereka salah! Saya di sini menegaskanbahwa rakyat AS akan jauh lebih besar kalau bersama-sama ketimbang sendiri-sendiri. Saya percaya AS akan berjaya kalau semua masyarakat mendapat kesempatan yang sama, ketika semua orang mendapat bagian yang adil, dan semua orang bermain di dalam aturan yang disetujui bersama."

Menurut Leahy, bagian pidato Obama ini sangat terasa merefleksikan nilai-nilai Indonesia ketimbang AS. "AS selalu menjunjung tinggi nilai individualisme di atas kolektivisme. Sementara Indonesia sebaliknya. Pidato Obama ini adalah sanjungan untuk kolektivisme Indonesia dan penolakan kepada individualisme AS," kata Leahy (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml8hy2-sila-kelima-pancasila-dikutip-obama).

Karena itu, Leahy mengkhawatirkan Obama akan menyeret AS ke dalam kondisi seperti Indonesia. "Obama sepertinya ingin membawa AS ke dalam situasi seperti Indonesia yang korup, oligarki, kroni-isme," kata Leahy. Obama, kata Leahy, terbawa nilai Pancasila karena sempat bersekolah di Indonesia, yakni di masa gencar-gencarnya Soeharto mendoktrinasi siswa sekolah di seluruh negeri dengan filosofi Pancasila. Leahy yakin sebagai siswa SD di Menteng, Jakarta, Obama pasti tidak luput dari indoktrinasi Pancasila.

Karena itu, duga Leahy, Obama ingin mengubah prinsip kebebasan individual AS dengan prinsip Pancasila. Leahy menganggap sila Keadilan Sosial sebagai “janji yang kabur”. Karena itu, ia mengajak masyarakat AS menolak seruan Obama terkait kolektivisme yang berbau Indonesia.

Di bagian lain, Leahy menjelaskan dengan mengutip sejarah hidup Obama yang sudah terkenal itu. Ibu Obama, Stanley Ann Dunham, sebut Leahy, menikahi Lolo Soetoro, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Universitas Hawai East-West pada Maret 1965. Sebelumnya, Ann Dunham sudah bercerai dengan Barack Obama Sr, ayah kandung Presiden Obama.

Usia 3-10, Obama hidup di Jakarta. Ayah tirinya, kata Leahy, termasuk dalam lingkaran elit Indonesia-Jawa ketika itu. Leahy mendapat data bahwa ibu Lolo Soetoro bersaudara dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. "Sultan ketika  itu adalah sosok sipil yang pengaruhnya besar. Ia pernah menjadi menteri luar negeri di masa Soekarno, dan wakil presiden Soeharto," kata Leahy.

Adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, juga sudah memublikasikan bahwa neneknya memang keturunan darah biru Yogyakarta. Leahy mempertegas pernyataan Maya dengan mewawancarai dosen antropologi Universitas Hawai, Alice Dewey, yang juga teman dekat Ann Dunham. Dari hasil wawancara itu diketahui bahwa Ann Dunham pernah membawa  Maya tinggal di lingkungan keraton Yogyakarta selama setahun. Mereka tinggal di kawasan yang khusus untuk keluarga kesultanan (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml8pf5-leahy-obama-ingin-bawa-as-jadi-korup-seperti-indonesia).

Sang ibu yang banyak memberi perhatian kepada kaum lemah, tampaknya memang turut memengaruhi gaya kepemimpinan Obama. Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip), kontributor buku “Ann Dunham dalam Kenangan” (2009), menulis, Obama tinggal di Indonesia sekitar 5 tahun karena sang bunda, yang bernama lengkap Stanley Ann Dunham, menikah dengan Lolo Soetoro, pemuda Indonesia pada 1967.

Ann Dunham lahir di Forth Leavenworth, Kansas, pada 29 November 1942. Dia putri tunggal pasangan Stanley Amour Dunham dan Madelyn Lee Payne. Sang ayah menamai Stanley, nama laki-laki, karena begitu menginginkan anak laki-laki. Sebagai ras kulit putih, Ann boleh dibilang telah menentang arus utama masyarakat AS pada masa lalu yang memandang ras kulit putih lebih unggul. Dia mengawini Barack Hussein Obama Senior, asal Kenya, yang berkulit hitam, dan menikah lagi dengan pemuda Indonesia yang juga berkulit berwarna.

Sebagian besar waktu Aan dihabiskan di Indonesia. Gelar PhD dari Departemen Antropologi Universitas Hawaii pada Agustus 1992, diraihnya dengan memilih disertasi bertopik ’’Kerajinan Pandai Besi Petani di Indonesia: Bertahan dan Berkembang di Tengah Segala Kesulitan’’ (’’Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds’’).

Ann menguasai bahasa Indonesia secara fasih. Dia menulis beberapa artikel jurnal dalam bahasa Indonesia, dan memberi kuliah di berbagai universitas di Indonesia. Bahasa Jawa-nya tidak sempurna, namun cukup memadai untuk  berkomunikasi dengan warga di perdesaan. Obama dalam memoarnya menuliskan, dia banyak belajar dari sang ibu yang terkenal disiplin dan penuh perhatian kepada sesama, terutama kaum pinggiran. (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/11/13/205271/Obama-dan-Pengaruh-Bunda).

Ihwal Obama yang mulai berpikir ala sila ke-5 Pancasila ini tersirat dari pernyataan
Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan. Pengamat politik, Christianto Wibisono, November 2012 lalu, menulis: Gita Wirjawan dalam reaksi singkatnya menyatakan, Indonesia sekarang ini harus siap menghadapi penciutan ekonomi AS yang akan lebih memprioritaskan masalah domestik.

Dengan kemenangannya (sebagai presiden AS untuk kedua kalinya) ini, tulis Christianto, Obama akan melanjutkan politik pemerataan yang berisiko menciutkan ekonomi AS. Menciut karena masyarakat akan disedot pajaknya secara lebih intensif, terutama untuk golongan menengah ke atas. Ekonomi “Robin Hood” yang dipraktikkan Demokrat pasti akan semakin membawa postur ekonomi AS lemah dan tidak menguat (http://strategi-militer.blogspot.com/2012/11/obama-jilid-ii-dan-pengaruhnya-terhadap.html).

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Makmur Keliat, juga menyiratkan hal senada mengenai konsep ekonomi pemerataan-nya Obama.  Makmur mengatakan,  Obama cenderung memiliki keberpihakan terhadap kelas menengah ke bawah.  Karena itu, dalam kondisi negara ini sedang mengalami defisit anggaran hingga sembilan persen, penyelesaiannya kemungkinan dengan peningkatan pajak bagi kelas atas termasuk bagi para investor,  dan mengurangi pengeluaran negara.

Sementara itu Obama dinilai juga akan mengurangi pengeluaran AS dengan menekan permintaan impor dari negara lain khususnya dari China. Dampaknya China akan mengalami penurunan ekspor dan berimbas pada pengurangan permintaan impor negeri tirai bambu itu terhadap Indonesia (http://www.antaranews.com/berita/342449/pengamat-kemenangan-obama-kemungkinan-turunkan-ekspor-indonesia).

Di tengah AS yang tengah mengencangkan ikat pinggangnya ini, Christianto berpendapat, seharusnya Indonesia bisa mengambil peran. Dikatakannya, sejak tragedi 11 September, anggaran AS terkuras Rp 1 triliun setiap tahunnya untuk memerang terorisme. Padahal AS sedang berfokus pada perbaikan ekonomi domestik.
Maka di era perang teror dan konflik peradaban ini, sebut Christianto, AS dan Obama justru akan membutuhkan Indonesia sebagai penengah konflik di Timur Tengah maupun mengawal perdamaian di Laut China Selatan.

Dengan modal geopolitik sebagai the largest Moslem Democracy yang setara dengan AS sebagai the largest Western Democracy, sebut Christianto, seharusnya Indonesia secara proaktif menerjemahkan Pancasila untuk menciptakan perdamaian dunia. Jika ini tidak dimanfaatkan, tulis Christianto, maka tidak ada gunanya nostalgia Barry si murid SD Besuki menjadi Presiden AS (http://strategi-militer.blogspot.com/2012/11/obama-jilid-ii-dan-pengaruhnya-terhadap.html).

Newspeg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar