4/11/2013

Badak Cula Satu Hanya Tersisa di Indonesia



"Ini menyakitkan. Kami menginvestasikan lebih dalam konservasi badak di Vietnam, tetapi kami gagal menyelamatkan hewan unik ini ~ Direktur WWF Vietnam, Tran Thi Hien Minh”

Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merilis kabar bahwa populasi Badak Jawa mengalami peningkatan. Dari hanya 35 individu pada 2011 (22 jantan, 13 betina, 5 di antaranya berusia muda), meningkat menjadi 51 individu pada 2012 (29 jantan, 22 betina, dan 8 di antaranya berusia muda).
Badak Jawa bercula satu

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822 ), merupakan satwa yang dilindungi undang-undang. Dia termasuk dalam kelompok 14 jenis satwa yang mendapat prioritas Kementerian Kehutanan untuk peningkatan populasinya hingga sebesar 3% sesuai kondisi biologis dan habitatnya (http://www.republika.co.id/berita/video/ficer/13/04/11/ml38oe-populasi-badak-jawa-kian-meningkat).

Kabar ini menjadi sangat menggembirakan, pasalnya jenis badak bercula satu ini kini hanya tinggal yang terdapat di TNUK, menyusul kabar bahwa kerabat badak ini di India dan Vietnam telah punah pada 2011. WWF dan International Rhino Foundation mengatakan, badak Jawa terakhir di  Vietnam diduga dibunuh pemburu liar. Mereka mengincar cula binatang tersebut.

Sejak 2008 lalu, hanya satu badak saja yang tampak dan telah tercatat di Vietnam. "Ini menyakitkan. Kami menginvestasikan lebih dalam konservasi badak di Vietnam, tetapi kami gagal menyelamatkan hewan unik ini," kata Direktur WWF Vietnam, Tran Thi Hien Minh. Para penulis melaporkan dalam Extinction of the Javan Rhino from Vietnam, bahwa analisis genetik yang telah dilakukan pada contoh kotoran badak yang dikumpulkan 2009 hingga 2010 di Taman Nasional Cat Tien menunjukkan, kotoran itu dimiliki satu individu saja.

Setelah survei selesai, para konservasionis menemukan badak yang telah terbunuh dengan kaki tertembak dan cula yang telah terpotong.  Subspesies yang tersisa, yaitu Rhinoceros sondaicus hanya ditemukan di Jawa, Indonesia. Ketua Badan Internasional Konservasi Alam (IUCN/International Union for Conservation Nature) untuk spesialisasi badak di Asia, Bibhab Kumar Talukdar, mengatakan, kematian badak Jawa di Vietnam adalah sebuah pukulan. "Kita harus belajar dari kejadian ini untuk memastikan agar nasib badak Jawa di Indonesia tidak akan seperti yang terjadi di Cat Tien untuk masa datang," ujarnya (http://www.tempo.co/read/news/2011/10/25/061363213/Badak-Jawa-Dinyatakan-Punah-di-Vietnam).

Badak Jawa selain menjadi satu dari lima spesies badak paling langka yang ada di dunia, juga merupakan salah satu spesies mamalia terlangka di dunia. Dia masuk dalam Daftar Merah IUCN, yaitu dalam kategori sangat terancam atau critically endangered. Penelitian terhadap populasi Badak Jawa di Ujung Kulon telah dilakukan oleh WWF sejak 1962, dengan dukungan ahli Profesor Rudolph Schenkel.

Badak ini lebih kecil daripada badak kerabat dekatnya di  india, dan lebih dekat dalam besar tubuh dengan Badak Hitam (dua badak terakhir sudah dinyatakan punah). Ukuran culanya biasanya lebih pendek dari 20 cm, lebih kecil daripada cula pesies badak lainnya. Badak ini pernah menjadi salah satu badak di Asia yang paling banyak menyebar. Meski disebut "Badak Jawa", binatang ini tidak terbatas hidup di Pulau Jawa, tapi di seluruh Nusantara, sepanjang Asia Tenggara, dan India serta Tiongkok (http://www.wwf.or.id/cara_anda_membantu/bertindak_sekarang_juga/rhinocare/badakjawa/ dan http://map-bms.wikipedia.org/wiki/Badak_jawa).

Sementara itu, pada November 2012, IUCN juga telah menerbitkan sebuah laporan menyedihkan: Badak Hitam Afrika Barat (Diceros bicornis longipes) sudah tidak bisa ditemukan lagi di habitatnya alias sudah punah. Badan yang berpusat di Jenewa, Swiss, itu juga melampirkan temuan terbarunya yang menyebutkan, dua spesies binatang badak langka lainnya juga akan menyusul nasib badak hitam itu, yaitu Badak Putih Utara Afrika Tengah (Ceratotherium simum simum) dan Badak Jawa di TNUK, Indonesia (http://www.jurnas.com/halaman/9/2011-11-12/188798).

IUCN juga telah menerbitkan sebuah laporan yang menyatakan populasi badak di Afrika sedang mengalami kondisi perburuan liar terburuk. Kebanyakan mereka mengambil culanya, kemudian diperdagangkan melalui jalur ilegal untuk permintaan pasar obat Asia (http://www.tempo.co/read/news/2011/10/25/061363213/Badak-Jawa-Dinyatakan-Punah-di-Vietnam).

Kepala Urusan Kerjasama dan Humas Taman Nasional Ujung Kulon, Indra K Harwanto mengungkapkan, cula menjadi alat perlindungan diri badak dari serangan musuh. Dia akan menyerang jika diganggu. Karena itulah, para pemburu akan menembak atau meracunnya dulu sebelum memotong culanya. Padahal, kata Indra, khasiat cula badak masih sebatas mitos. "Belum ada peneliti yang membuktikan khasiat cula badak," ujarnya (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/324029-cula-badak-obat-kuat-dan-obat-kanker--mitos).

Sayangnya, harga cula di pasar ilegal sangat mahal, lebih mahal dari emas atau kokain dalam beberapa kasus, yakni bisa mencapai 65.000 dolar AS atau sekitar Rp 589 juta per kilogram. Selama berabad-abad, cula badak digunakan dalam pengobatan Cina. Digerus jadi bubuk atau dicampur air panas untuk mengobati berbagai penyakit termasuk rematik, asam urat, demam tinggi, bahkan kerasukan setan.

Dalam beberapa tahun, cula badak juga mashyur sebagai obat kuat, bahkan diyakini bisa mengobati kanker. “Ini sangat tragis, melihat pembunuhan brutal binatang yang berharga, demi culanya. Lalu, cula itu dijadikan obat yang bahkan sama sekali tidak berharga secara medis,” kata Pelham Jones, ketua Private Rhino Owners Association, Afrika Selatan (http://bioenergicenter.com/artikel/badak-dibantai-cula-dijadikan-obat-kuat).

Di Afrika Selatan, saat ini rata-rata dua badak terbunuh setiap hari akibat perburuan ilegal. "Perburuan sekarang di luar kendali," ujar penulis utama dari satu kelompok peneliti lingkungan,  Dr Duan Biggs, dari Universitas Queensland. Biggs adalah salah seorang yang memiliki ide untuk melegalkan perdagangan cula badak justru untuk menyelamatkan badak. Para peneliti menganjurkan mendirikan sebuah organisasi penjualan sentral yang bisa mendeteksi DNA dari serutan sidik jari sehingga bisa mengendalikan pasar.

Tetapi langkah ini banyak menuai kritik bagi aktivis satwa liar. "Kami tidak mendukung gagasan perdagangan yang disahkan seperti ini. Karena kami hanya berpikir itu tidak akan dilakukan," kata Dr Colman O'Criodain, analis kebijakan perdagangan satwa liar. Menurutnya, perdagangan yang dilegalkan seperti ini justru bisa membuatnya lebih buruk (http://www.tempo.co/read/news/2013/03/02/061464606/Peneliti-Perdagangan-Cula-Dilegalkan-Badak-Selamat).

 
Newspeg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar