4/18/2013

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Anak



Kasus kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak-anak di tanah air semakin meresahkan. Kasus kekerasan seksual ini banyak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah dan sekolah, bahkan dilakukan oleh orang yang sedarah seperti ayah kandung atau paman. Tidak berlebihan jika kondisi ini sudah masuk status darurat nasional.
ROL

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, saat dihubungi Republika, Rabu (17/4), mengatakan, ancaman kekerasan seksual terhadap anak jumlahnya meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun terakhir, 38-43 persen kasus kekerasan seksual itu lokusnya berada di institusi pendidikan dan melibatkan guru. Bukan hanya guru reguler, tapi juga guru spiritual. "Tidak berlebihan jika kondisi ini sudah masuk status darurat nasional," ujarnya.

Berdasarkan data Komnas PA, ada 2046 kasus kekerasan pada anak pada 2010 dan 42 persennya terkait pelecehan seksual. Jumlahnya meningkat pada tahun berikutnya menjadi 58 persen dari 2509 kasus. Pada 2012 tercatat ada 62 persen kasus sejenis dari total 2637 kekerasan terhadap anak. Sedangkan pada tiga bulan pertama tahun ini, Arist mengatakan ada 87 kasus kekerasan seksual pada anak dari total 127 pengaduan yang masuk ke Komnas PA (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/17/mlera0-indonesia-darurat-kekerasan-seksual-anak).

Awal tahun 2013, kita sudah dikejutkan kasus tragis yang menimpa RI (11 tahun). Dia meninggal setelah sepekan kritis di RS Persahabatan. Meski dia meninggal karena radang otak, dokter memastikan ada luka lama di organ kelaminnya yang menyebabkan kerusakan karena infeksi. "Saya mendengar dari tim dokter bahwa ada luka yang bukan baru di sekitar alat vital korban, dan vaginanya rusak diduga infeksi. Mungkin inilah yang membuat korban tidak tertolong lagi," kata Arist.

Belakangan diketahui semua kerusakan di alat kelamin RI adalah akibat perbuatan ayahnya sendiri. Sayangnya, polisi kesulitan menjerat ayah RI. "Ada beberapa kendala yang dihadapi penyidik, di antaranya karena korban sendiri sudah meninggal sebelum dapat diambil keterangannya," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes (Pol) Rikwanto.

Modus kasus kekerasan seksual pada anak lainnya misalnya, ZC, bocah berusia sembilan tahun, dua pekan lalu melaporkan telah diperkosa ayah tirinya ke Komnas PA. Sementara RR (7) diduga dicabuli oleh RA (17) Desember 2012. Selain itu, PD (18), belum lama ini mendatangi Polres Jakarta Timur untuk melaporkan perbuatan ayahnya, DP (42). Kepada penyidik, PD mengungkapkan sudah diperkosa ayahnya sendiri sejak berusia 13 tahun.

Menurut Arist, tingginya angka kasus mencerminkan buruknya situasi perlindungan anak di Indonesia. Itu pun, duga dia, angka sesungguhnya di lapangan masih jauh lebih besar. "Puncaknya gunung esnya saja belum tampak karena tingginya kasus kekerasan pada anak sampai sekarang tetap tak terlihat."

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, menyoroti UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU itu dinilainya tidak efektif diterapkan untuk menjerat para pelaku tindak kekerasan pada anak. "Hukuman maksimal pada pelaku jarang diberikan," ujarnya.

Sulitnya membawa pelaku kekerasan seksual ke meja hijau diduga karena "otoritas sosial" para pelaku lebih tinggi daripada korban. Psikolog Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Besar Nur Cahyo, mengatakan, pelakunya bisa guru, ayah, atau kakak tiri. “Karenanya, korban memilih diam."

Komisioner Komnas Perempuan, Herawati, menambahkan, pelaku yang sedarah semakin membuat korban kehilangan keberanian menyampaikan apa yang dia alami. Lemahnya sistem perundangan, kian memperburuk keadaan. "Keterangan korban di bawah umur tidak diakui dalam sistem perundangan kita." Sementara itu, psikolog klinis, Lia Latief Sutisna, mengatakan, kekhawatiran bakal tidak dipercaya diduga menjadi kendala pengungkapan kasus kekerasan seksual dengan pelaku sedarah. "Butuh waktu terapi lebih panjang agar korban mau mengungkap apa yang ia alami," kata Lia (http://nasional.kompas.com/read/2013/03/15/02540245/Waspadalah.Tren.Kekerasan.Seksual.pada.Anak.Meningkat).

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991, mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya adalah orang yang mereka kenal dan percaya. Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas. Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya dengan bersikap manis dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat perhatian.

Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual. Pada balita, tanda-tanda fisiknya bisa memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi kencing, penyakit kelamin. Sakit kerongkongan tanpa penyebab, jelas bisa merupakan indikasi seks oral.

Selain itu, korban sangat takut kepada siapa saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu. Terjadi perubahan kelakuan yang tiba-tiba. Mengalami gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol). Korban juga akan menarik diri atau depresi, serta perkembangannya terhambat.


Tanda lainnya yang perlu dicurigai adalah: berperilaku regresif seperti mengisap jempol, hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit perut, sembelit. Korban juga akan memperlihatkan perilaku yang tiba-tiba berubah, selalu mengeluh sakit. Tanda lainnya, korban akan melakukan masturbasi berlebihan, mencium secara seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.

Pada anak usia sekolah, bisa dilihat dari kemampuan belajar yang berubah seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri, sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta menghindari hal-hal sekitar buka pakaian (http://doktersehat.com/ketika-anak-mengalami-pelecehan-seksual/).

Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar buah hati terhindar dari pelecehan: 
1. Tidak ada rahasia: ajarkan si kecil untuk selalu terbuka dalam menyampaikan perasaannya. Buat dia selalu bercerita perasaannya baik saat senang, sedih, takut dan gembira. Hal ini membuatnya tidak akan merahasiakan hal sekecil apapun dari Anda, termasuk perlakuan yang diterimanya dari orang sekelilingnya. Dengan begitu Anda tahu siapa saja yang ia temui dan dekat dengannya.
2. Hindari memakaikan aksesori yang terdapat nama si anak, terutama saat ia bermain di taman atau tempat bermain. Karena bisa saja ada orang “tidak jelas” yang memanggil namanya, dan si anak menganggap orang tersebut mengenalnya.
3. Ajarkan sedini mungkin fungsi dan nama dari setiap organ tubuhnya termasuk organ vitalnya. Tidak masalah jika ia menyebut vagina, penis, atau payudara, karena memang itulah namanya. Katakan pada anak bahwa organ intim harus dijaga, tidak boleh dipegang sembarang orang. Jika  ada yang memegangnya, ajarkan agar ia berteriak dan lari sekencang-kencangnya.
4. Jika anak sudah cukup umur, buatlah cerita dengan awalan pertanyaan "bagaimana jika". Misalnya, "Bagaiman jika ada orang dewasa yang kamu tidak kenal memberikan permen.” Jika jawabannya ia akan menerima permen dan akan bermain bersamanya, katakan bahwa itu berbahaya (http://www.metro.polri.go.id/trips-a-trik/850-tips-anak-terhindar-dari-pelecehan-seksual).

Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan, program one stop service untuk korban kekerasan seksual anak perlu digagas. Hal ini untuk memudahkan akses keadilan dan jaminan perlindungan terhadap anak korban kekerasan seksual terutama di daerah. Namun kata dia, kendati LPSK masih berada di tingkat pusat (Jakarta), pihaknya berharap, melalui kegiatan sosialisasi LPSK di daerah-daerah, akan tercipta sinergitas antara LPSK dengan aparat penegak hukum di daerah.  

Dikatakan dia, saksi dan korban akan mendapat pelayanan cuma-cuma dari LPSK, seperti telah diatur dalam ketentuan UU No.13/2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Bentuk layanan tersebut, lanjut Semendawai, berupa perlindungan fisik (pengamanan, pengawalan dan penempatan di rumah aman), pemulihan medis psikologis, dan pendampingan terhadap korban dalam proses hukum.
"Semua ditanggung oleh APBN, sehingga diharapkan korban dan aparat penegak hukum di daerah dapat memanfaatkannya semaksimal mungkin," ungkap Ketua LPSK. Sosialisasi LPSK di daerah dilakukan karena minimnya ketersediaan akses layanan medis dan psikologis bagi korban kekerasan seksual anak, sehingga sering korban tak terselamatkan (http://www.lpsk.go.id/page/515c6828756e4).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar