4/21/2013

Suu Kyi: Aku Bukan Seorang Penyihir

“Dalai Lama sudah menulis surat dua kali kepada Suu Kyi”

Aung San Suu Kyi akhirnya mau buka suara ihwal konflik etnis dan agama di negerinya, saat ia berada di Tokyo, Rabu lalu (17/4). Selama ini Suu Kyi cenderung tutup mulut melihat berbagai tindakan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah ataupun kalangan agamawan Buddha terhadap Muslim Rohingya.
ROL

Pemimpin oposisi di Myanmar itu mengatakan sangat sulit memecahkan persoalan konflik SARA (suku, agama, ras, antar-golongan) di negerinya. ''Aku bukan seorang penyihir'' tutur Aung San Suu Kyi  kepada para mahasiswa di Universitas Tokyo. Tak mudah kata dia, langsung mengakhiri konflik yang telah berlangsung begitu lama itu.

Dalam lawatannya ke Jepang, Suu Kyi mempertahankan sikap bahwa perlu ada aturan hukum yang ketat bagi pemeluk agama Buddha yang menjadi mayoritas di Myanmar. Menurut dia, semua pihak yang terlibat dalam kekerasan harus segera membangun dialog. Tak hanya hukum yang menjadi masalah, ujarnya, melainkan juga administrasi, pemerintah, dan juga pihak keamanan.

Pengadilan Myanmar menurut Suu Kyi, selama ini tak memenuhi standar demokratis karena terlalu didominasi pemerintah. "Mereka ingin saya berbicara tentang bagaimana menghilangkan perbedaan komunal. Butuh waktu lama untuk memilah-milah persoalan itu,'' ungkap penganut Buddha taat ini (http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/04/17/mlebc6-soal-pembantaian-muslim-suu-kyi-aku-bukan-penyihir).

Lawatan Suu Kyi ke Jepang ini diwarnai pelarangan anggota masyarakat suku kecil Muslim Myanmar untuk turut menyambut sang pahlawan demokrasi ini. Zaw Min Htut (42 tahu), pemimpin sekitar 200 warga Rohingya yang tinggal di Jepang, menyatakan warganya diberitahu bahwa mereka tidak dibolehkan hadir dalam acara menyambut Suu Kyi. Alasannya, beberapa kelompok kecil Buddha menentang kehadiran mereka. “Bahkan meskipun aku sudah berada di Jepang puluhan tahun dan membantu warga lain Myanmar di sini," katanya kepada AFP (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/12/ml3nh3-muslim-rohingya-dilarang-bertemu-suu-kyi-di-jepang).

Kasus pembantaian muslim Rohingya oleh umat Buddha Myanmar ini, mau tak mau cukup mengganggu citra Suu Kyi sebagai kekuatan moral pemersatu. Baru sekitar sepekan kemarin ini, peraih Nobel Perdamaian 1991 ini mencoba memobilisasi para petinggi muslim di negara bekas junta itu untuk mencari penyelesaian. Situs Irrawaddy mengatakan, kesepahaman antara Suu Kyi dan para imam muslim di Myanmar itu dilakukan Senin (8/4). Dikatakan, Suu Kyi akan mendesak parlemen untuk membahas persoalan kewajiban negara melindungi kelompok Islam (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml7s0z-beginilah-keprihatinan-suu-kyi-untuk-muslim-rohingya).

Pemimpin Partai Nasional untuk Demokrasi (NLD) ini berjanji, akan membawa persoalan Muslim Rohingya dalam sidang parlemen negara tersebut. ''Saya tidak ingin mereka (Muslim Rohingya) memiliki keraguan atas kewarganegaraannya,'' ujar Suu Kyi, dilansir Irrawaddy.

Sementara itu, aksi teror kelompok Buddha belum berhenti menghantui kelompok Muslim Rohingya. Aksi ini bahkan mulai dimotori kalangan agamawan. Irrawaddy mengatakan, kekerasan mematikan setidaknya terjadi di 11 kota di Mandalay dan Distrik Pegu sepanjang Maret lalu. Aksi anti muslim itu setidaknya menewaskan 43 Muslim Rohingya di provinsi sebelah utara ibu kota Yangon, Meikhtala. Aksi yang disertai perusakan dan pembakaran rumah ibadah itu juga menyebabkan 93 Muslim Rohingya dirawat di posko-posko darurat.

Rangkaian aksi teror dan pemburuan oleh kelompok Buddha di kota-kota lain, telah menyebabkan 13 ribu Muslim Rohingya memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Aksi para petinggi agama kali ini adalah yang terparah sejak bentrokan paling berdarah meletus tahun lalu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml7rsh-aung-san-suu-kyi-lindungi-muslim-rohingya).

Atas sikap Suu Kyi ini, pemimpin spiritual Buddha paling dihormati di dunia, Dalai Lama, telah dua kali menulis surat kepada dia agar mau menggunakan pengaruhnya untuk mencari solusi damai atas konflik  agama ini. Sewaktu terjadi konflik antara etnis Sinhala dan Tamil di Sri Lanka, Dalai Lama mendorong pemerintah Sri Lanka untuk mencari solusi yang humanis. Perwakilan Dalai Lama di New Delhi juga mencoba menghubungi Kedutaan Myanmar untuk menyampaikan pandangan Dalai Lama tentang masalah kemanusiaan yang serius ini.

Dalai Lama beberapa kali menerima perwakilan dari pihak-pihak yang peduli terhadap krisis Rohingya, termasuk mahasiswa dan staf Jamia Millia Islamia University New Delhi, dimana Dalai Lama pernah menjadi pembicara di sana pada September lalu. Para mahasiswa meminta Dalai Lama ikut ambil peran dalam penyelesaian krisis ini. Dalai Lama berkata bahwa dalam kasus di Myanmar ini, Aung San Suu Kyi adalah satu-satunya pemimpin di Myanmar yang ia kenal secara personal, dan ia telah menyampaikan pandangannya.

Sejumlah orang mendorong Dalai Lama agar mengunjungi Myanmar, sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Jika ada kesempatan, Dalai Lama akan mempertimbangkan untuk mengunjungi tempat-tempat yang bermasalah di seluruh dunia, untuk membuka kemungkinan membantu menyelesaikan masalah. Namun, aspek politik di luar kendalinya, karena untuk kawasan Asia, ada sejumlah negara yang tidak memungkinkan dikunjungi oleh Dalai Lama. Dan sayangnya Myanmar adalah salah satunya. Meski begitu, jika ada kesempatan, Dalai Lama akan tetap melanjutkan memberi perhatian terhadap isu Rohingya ini agar tercapai penyelesaian yang positif (http://buddhazine.com/2012/11/07/dalai-lama-dorong-aung-san-suu-kyi-berperan-selesaikan-krisis-rohingya/).

Sementara itu, Direktur The Arakan Project, Chris Lewa, seperti dikutip AFP, Kamis (18/4) mengatakan, pembelaan Suu Kyi atas masalah etnis Rohingya, sangat mengecewakan. Suu Kyi dianggap tidak bersikap jujur bila menghadapi isu Rohingya atau etnis minoritas lainnya. "Sosok seperti Aung San Suu Kyi yang memiliki otoritas moral di Myanmar, seharusnya bisa lebih jelas lagi membahas hak dari warga minoritas," ujar Chris. Suu Kyi, lanjut Chris, berbicara banyak mengenai aturan hukum. “Tapi itu tidak cukup. Kalangan minoritas harus dilindungi. Rohingya berharap dia (Suu Kyi) bisa berbuat banyak, tetapi warga Rohingya saat ini sudah kehilangan harapan terhadap Suu Kyi," lanjut Chris.

Suu Kyi sendiri berkali-kali menyatakan ingin melakukan diskusi dengan siapa pun yang memiliki pandangan berbeda dengannya. “Negara ini miskin budaya negosiasi dan kompromi. Tetapi hal itu harus segera diupayakan," ujar Suu Kyi. Suu Kyi justru mengkritik Pemerintahan Presiden Thein Sein yang dinilainya kurang memiliki struktur dalam inisiatif reformasi yang dijalankannya. Suu Kyi menilai Thein tidak memiliki prioritas dan tujuan yang harus dilakukan paling utama (http://international.okezone.com/read/2013/04/18/411/793660/etnis-rohingya-kecewa-dengan-pembelaan-suu-kyi).

Pada Juli 2012, Suu Kyi juga sempat menantang anggota fraksi dari Partai Solidaritas dan Pembangunan sebagai mayoritas di parlemen, agar segera menyusun aturan hukum buat melindungi kelompok minoritas. "Saya menuntut seluruh anggota parlemen segera membahas undang-undang perlindungan etnis minoritas, agar kita bisa menjadi sepenuhnya demokratis," kata Suu Kyi, dilansir BBC (http://article.wn.com/view/2012/07/25/Aung_San_Suu_Kyi_tuntut_Myanmar_lindungi_hak_muslim_Rohingya/).

Sejumlah aktivis HAM, sempat mengecam diamnya Suu Kyi menghadapi kebijakan Presiden Thein Sein atas kasus ini. Dilansir Telegraph, Sabtu 28 Juli 2012, Suu Kyi dikritik sengaja menghindar mengomentari isu yang—ketika itu—telah berlangsung selama delapan minggu di negeri Rakhine, Myanmar Barat ini. "Dia dalam posisi sulit, tapi rakyat kecewa karena dia tidak bersuara lebih keras," kata Anna Roberts, Direktur Eksekutif Burma Campaign, di Inggris.

Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Brad Adams, juga menyesalkan sikap Suu Kyi ini, terutama saat dia berkunjung ke London, Dublin, Paris, dan Oslo. "Suu Kyi melepaskan peluang untuk membangkitkan isu mengenai HAM," katanya. Pada ucapan pertamanya di Parlemen Juli 2012, Suu Kyi memang menegaskan tentang pentingnya melindungi hak asasi kelompok minoritas . Namun yang dia sebutkan lebih mengacu kepada kelompok penganut Buddha di Karen dan Shan, bukan Rohingya.

Diketahui, Presiden Thein Sein mengatakan, 800 ribu penduduk Rohingya harus ditempatkan di sejumlah kamp dan dikirim ke Bangladesh melalui perbatasan. Thein Sein menolak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar karena menganggap mereka imigran dari Bangladesh. Kebijakan ini dinilai oleh para penggiat HAM sebagai pembersihan etnis (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/339650-penindasan-rohingya--suu-kyi-justru-bergeming).

Mengenai pembersihan etnis ini, salah satu tokoh biksu kharismatis, Sayadwa Wirathu, menyebut dirinya sebagai Bin Laden-nya Burma. Wirathu, terang-terangan menyebut diri anti Islam. Ia bahkan, melalui khotbah dan rekaman video, selalu mendorong adanya penolakan serta aksi kekerasan terhadap etnis-etnis minoritas, termasuk Rohingya (http://sosok.kompasiana.com/2013/04/01/saydaw-wirathu-osama-bin-laden-dari-myanmar-547113.html dan lihat juga: http://selasarselusur.blogspot.com/2013/04/myanmar-takut-negaranya-jadi-muslim.html).

Pemuka agama Buddha di Indonesia, Romo Sumedho, pada Agustus 2012, sempat menyatakan kekecewaannya juga pada Suu Kyi. Umat Buddha Indonesia kata Sumedho, bahkan sempat merencanakan untuk  mengadakan unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar. Namun kata  dia, banyak pihak yang memberi masukan agar dibatalkan. Masukan itu antara lain dari PBNU dan Presiden SBY (http://international.okezone.com/read/2012/08/17/411/679216/buddhis-indonesia-ikut-kecewa-dengan-aung-san-suu-kyi).

Sementara itu, warga Rohingya yang ditampung di Aceh, ingin menjadi warga Aceh karena mereka merasa sudah tidak aman lagi tinggal di daerah asal mereka. Syamsul Alam, salah seorang pengungsi Rohingya di Lhokseumawe yang bisa berbahasa Melayu mengatakan, banyak yang menyarankan bila ingin lari dari kejaran rezim Pemerintah Myanmar, larilah ke Aceh. Informasi tentang Aceh diketahui warga Rohingya sebagai daerah yang mayoritas warganya muslim dan dikenal suka membantu dan menolong. (http://internasional.rmol.co/read/2013/02/27/100219/Pengungsi-Rohingya-Ingin-Jadi-Warga-Aceh-).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar