4/03/2013

Soal Buang Sampah, Orang Indonesia Harus Disadisi



“Indonesia harus meniru Singapura. Negara ini bahkan menaikkan jumlah dendanya terhadap para pembuang sampah sembarangan ini dari semula 300 dolar Singapura (Rp 3 juta) menjadi 500 dolar Singapura”

Dengan mengenakan seragam kuning khas petugas kebersihan, Sariban (69) tak segan-segan  menegur siapa pun yang terlihat membuang sampah sembarangan. Hampir setiap hari, meskipun sudah pensiun dari Dinas Kebersihan Kota Bandung (sekarang Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan), Pak Iban, panggilannya, ikut membersihkan sampah yang berserakan di kawasan jalan raya kota Bandung.
Pak Iban memunguti sampah Bandung

Belakangan, Bandung bahkan punya “tempat pembuangan sampah” baru, yakni ajang Car Free Day di  Jalan Dago (Ir H Djuanda) yang dibuka setiap hari minggu. Pada 31 Maret lalu, Pak Iban tampak berada di sana, memunguti sampah-sampah yang dibuang para penikmat kota yang tak bertanggung jawab, semampu tangan dan tenaganya memunguti sampah-sampah itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/03/31/mkj6ok-relawan-kebersihan-berusia-69-tahun)

Menjelang waktu pendaftaran calon gubernur (cagub) Jawa Barat akhir pada November 2012 lalu pun, wartawan menemuinya sedang memunguti puntung rokok dan kardus makanan yang ditinggalkan penggembira para cagub dalam plastik besar. Waktu itu kepada wartawan yang menemuinya, Pak Iban berpesan agar tim kampanye dari masing-masing calon tidak melukai pepohonan dengan ditancapi atribut kampanye menggunakan paku. "Dari sanalah sumber air kita," ujarnya (http://regional.kompas.com/read/2012/11/10/20042990/Sariban.Titip.Pesan).

Namun beliau juga tak segan menegur langsung orang-orang yang tangannya seperti tidak pernah kenal bangku sekolah saat membuang sampah di jalanan. Untungnya, para pembuang sampah mafhum jika ditegur beliau, minimal belagak cuek. Lain apabila kita, orang pada umumnya, yang menegur para pembuang sampah anarkis itu. Mereka akan membalas teguran kita dengan pelototan, gerundelan, bahkan mungkin menantang dan membentak balik (penyampah sebaiknya memang jangan dibentak).

Betul kata penulis blog berikut ini, http://pieterumaya.blogspot.com/2012/12/hal-simple-yang-membutuhkan-mental-baja.html. Menegur orang membuang sampah merupakan hal simpel yang membutuhkan mental baja, selain menegur orang supaya jangan menyalip antrian dan  jangan merokok di area umum. “Tapi di Indonesia, hal-hal semacam ini justru bisa jadi berbalik menyerang kamu. Kamu bisa dilihatin secara sinis, dikatain sok suci, sampe mungkin diajakin berantem. Kalo mental kamu bukan mental baja, palingan kamu cuma bisa terdiam,” tulis blog tersebut.

Jadi, apa yang harus dilakukan terhadap jenis masyarakat sadis seperti ini? Sebenarnya, yang terbaik adalah jika kesadaran tidak membuang sampah sembarangan itu datang dari mental warga sendiri, seperti di negara-negara maju pada umumnya. Jepang misalnya, di negeri ini masyarakat telah dididik untuk malu membuang sampah secara sembarangan. Bahkan hal itu telah menjadi budaya yang mampu mengatasi masalah sampah yang terkadang sulit dipecahkan (http://www.solopos.com/2012/08/27/tajuk-hilangnya-budaya-malu-buang-sampah-sembarangan-322239).

Namun membangun mental seperti ini mungkin butuh watu lebih panjang daripada dengan menerapkan sistem denda. Sadis harus dibalas dengan sadis tampaknya. Untuk hal ini, Indonesia (atau Bandung) harus meniru Singapura. Kita sering mendengar cerita bahwa orang Indonesia kalau sedang di Singapura menjadi disiplin berat dalam hal buang sampah, tapi begitu kembali ke negerinya sendiri, keluar lagi karakter aslinya. Rupanya denda dengan jumlah sadis dan pengawasan ketatlah yang bisa bikin Singapura kinclong.

Demi itu, pemerintah Singapura bahkan menaikkan jumlah dendanya. Terhadap para pembuang sampah tidak pada tempatnya itu, Singapura mengganjar dengan denda 500 dolar Singapura (sekitar Rp 3 juta) dari semula 300 dolar Singapura. Kebijakan baru ini akan berlaku secara resmi mulai Maret 2013. Peraturan itu juga akan menghukum masyarakat yang berulang kali membuang sampah sembarangan dengan denda hingga 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp 50 juta).

Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan, menyatakan, kebijakan itu menunjukkan keseriusan dan komitmen Singapura untuk mempertahankan reputasinya sebagai kota yang bersih dan hijau. Namun Eugene Heng, pemimpin organisasi non-profit Waterways Watch Society, mengungkapkan, perlu ada peningkatan tenaga relawan untuk memperluas sosialisasi untuk terus memberikan pendidikan kepada masyarakat.  "Saat ini kami memiliki 250 relawan, dan kami berharap dapat memperoleh wewenang yang lebih kuat untuk memerangi 'pengotor lingkungan itu'," jelas Heng.

Keputusan menaikkan denda diambil menyusul semakin meningkatnya keluhan akan sampah-sampah yang tergeletak sembarangan. Menurut Vivian, dia menerima banyak keluhan melalui e-mail, jejaring sosial, bahkan foto digital (http://internasional.kompas.com/read/2012/11/21/14165917/Sampah.Meningkat..Singapura.Naikkan.Denda).

Di Indonesia, peraturan seperti ini biasanya akan memancing masalah baru, yakni munculnya praktik menyogok petugas pendenda di lapangan, serta praktik-praktik pungutan liar (pungli) lainnya. Namun jika mental pungli beberapa warga ini bisa diberdayakan untuk membuat masyarakat takut menghadapi “calo-calo pungli” model begini, dan dengan begitu kebersihan bisa lebih diupayakan, mungkin harus dicoba juga (hehe).**

News peg:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar