4/25/2013

Produksi Masal Mobil Listrik Indonesia Disangsikan


"Jongkie D Sugiarto: kalau bicara produksi massal, nanti harus ada tempat charging, harus ada sarana prasarana”

Meski mobil listrik Tucuxi terkapar di jalan, namun aktivitas penelitian sekaligus perakitan mobil listrik oleh lembaga-lembaga dan juga perorangan di Indonesia, terus berdenyut.  Konsul Jendral Amerika Serikat (AS) di Surabaya, Joaquin F. Monserrate, mengatakan, Indonesia berpeluang besar mengembangkan mobil listrik sebagai terobosan produk dalam negeri.

Ahmadi
Joaquin mengakui bahwa  negaranya yang sudah terkenal dengan kemajuan teknologi masih belum bisa mengembangkan mobil  tenaga listrik 100 persen, namun bukan berarti Indonesia tidak bisa. Permasalahannya sebut Joaquin, kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap produk dalam negeri  masih minim. Yang perlu diingat kata dia, bahwa semua teknologi perlu penelitian  lebih lanjut dan mendalam agar bisa menemukan terobosan yang lebih baik dibanding produk negara-negara maju.

Namun kata Joaquin, sebaiknya  produksi dan pemasarannya diserahkan sepenuhnya kepada perusahaan dalam negeri (swasta). Pemerintah jangan ikut campur. Inilah kata Joaquin yang dialami produsen –produsen mobil terkenal di luar negeri. Dia yakin, lama-lama perusahaan akan mendapatkan pangsa pasar (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/04/24/mlrkpe-indonesia-berpeluang-besar-kembangkan-mobil-listrik).

Namun alih-alih diserahkan sepenuhnya kepada swasta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pertengahan 2012 malah menunjuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai koordinator pengembangan mobil listrik. "Kita akan memetakan dulu potensi yang ada, sebelum melakukan pengintegrasian, baik fasilitas maupun pasukannya," ujar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, saat berkunjung ke PTDI, Juli 2012 (http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/berita/532). Entah bagaimana kelanjutan misi ini sekarang.

Ihwal kemampuan Indonesia mengembangkan mobil listrik ini, misalnya saat kegiatan forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) awal 2013 lalu di Nusa Dua Bali, 30 unit mobil listrik dioperasikan untuk melayani transportasi di sekitar Nusa Dua. Ini merupakan rencana panitia APEC yang melarang mobil bensin beredar di sekitar lokasi APEC, kecuali mendapatkan izin.

Ke-30 mobil tersebut berupa 20 unit bus listrik dan 10 unit mobil listrik setipe Alphard. Untuk pembuatannya,  Menteri BUMN, Dahlan Iskan, memercayakannya kepada Dasep Ahmadi, pencipta mobil listrik “Ahmadi”. Tak sebatas mobilnya, Mei mendatang, pabrik baterai pendukung mobil listrik buatan Dasep itu akan siap memproduksi 20 unit baterai per hari. PT Nipress Tbk menyiapkan pabrik senilai Rp 15 miliar untuk memproduksi baterai litium bagi mobil listrik (http://www.tempo.co/read/news/2013/01/22/090456184/30-Mobil-Listrik-Produk-Indonesia-Tampil-di-APEC).

Melihat tren yang ada di sektor industri automotif internasional, seharusnya perkembangan mobil listrik bisa besar. Pasalnya, saat ini dunia internasional sudah mulai fokus pada program kendaraan ramah lingkungan, dengan emisi rendah bahkan nol emisi. "Peluang mobil listrik masuk ke pasar penjualan global sangat besar. Saat ini isu internasional mengenai mobil nol emisi yang ramah lingkungan sudah semakin santer. Itulah peluang mobil listrik," Jelas pakar mobil listrik, Dasep Ahmadi, di seminar Mobil Hijau, di Jakarta, Februari 2013 lalu.

Dasep menambahkan, potensi lain yang membuat mobil listrik nasional bisa bermain secara global adalah belum banyaknya produsen yang fokus bermain di segmen mobil listrik. Mobil listrik ciptaan Dasep yang dinamai dengan nama belakangnya “Ahmadi”, pemberitaannya sempat mencuat beberapa waktu lalu. Meneg BUMN, Dahlan Iskan, sempat menjajal beberapa kali mobil listrik jenis city car warna hijau tersebut (http://autos.okezone.com/read/2013/02/27/52/768342/redirect).

Rencananya, mobil tersebut akan mulai dipasarkan pada pertengahan 2013. Tahap pertama, Dasep menargetkan akan menjual 1000 unit dengan bermacam tipe seperti Lux dan Grand. Menanggapi rencana ini, pengamat menilai, ketidaktersediaan infrastruktur akan menjadi penyebab tidak lakunya mobil hemat energi dan tanpa polusi ini.

"Menjual mobil tidak seperti menjual kacang goreng. Saya belum yakin sampai sekarang,” ujar  pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio. Ketidakyakinan Agus bukan tanpa alasan. Dia melihat, fasilitas pengisian listriknya saja belum dibangun.  Selain itu, dia mempertanyakan sertifikat kelaikan mobil tersebut misalnya dalam hal keamanan penumpang. "Kalau mau produksi tengah tahun, keselamatan dan keamanannya saya pertanyakan," katanya (http://www.merdeka.com/uang/penjualan-mobil-listrik-ahmadi-diprediksi-tidak-akan-laku.html).

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie D Sugiarto, menyatakan, hambatan mengembangkan mobil listrik menjadi produk massal tidak hanya jadi masalah di Indonesia saja. Di seluruh dunia saat ini, banyak pabrikan belum berani memproduksi mobil listrik secara masal. Bisa saja terwujud, lanjut Jongkie, asal ada pasarnya Dan Jongkie merasa pasar itu belum terbentuk  di Indonesia. "Kalau bicara produksi massal, nanti harus ada tempat charging, harus ada sarana prasarana," tuturnya seraya menyebutkan bahwa mobil listrik paling canggih di dunia saat ini (dengan kapasitas baterainya) baru bisa menempuh 150 kilometer sekali jalan.

Menanggapi ambisi Dahlan Iskan, Jongkie hanya menyebutkan bahwa produsen mobil Jepang, Korea Selatan, maupun Eropa yang sudah menguasai teknologi lebih baik, saat ini masih menangguhkan kelanjutan proyek mobil listrik. "Merek mobil yang sudah membuat mobil listrik belum bisa melanjutkan ke tahap produksi massal karena baterai dan akinya butuh daya listrik tinggi, makanya pengembangan mobil listrik dunia saat ini tersusul proyek hibrid," paparnya (http://www.merdeka.com/uang/pasar-mobil-listrik-belum-ada-di-indonesia.html).

Salah satu contoh produsen yang sudah memproduksi masal mobil listrik adalah Fiat. Meski mengungkapkan permasalahannya berbeda, Bos Fiat, Sergio Marchionne, mengatakan bahwa Fiat akan merugi 10.000 dolar untuk setiap  mobil listrik Fiat 500e yang terjual.  Alasannya, dalam Kongres Asosiasi Insinyur Otomotif Dunia di Detroit, AS, kata Sergio, mobil listrik tidak akan cukup untuk memenuhi keinginan pemerintah AS akan standar efisiensi bahan bakar. Pemerintah AS menetapkan standar ekonomi bahan bakar 35,5 mil per galon pada 2016, dan 54,5 mpg pada 2025 (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/04/21/mlm290-jual-mobil-listrik-fiat-merugi).

Sementara tren mobil litrik yang telah terjadi di pasar dunia adalah, meskipun tren penjualan mobil plug-in listrik dan hibrida meningkat, namun tidak akan meledak. Jika ingin meledak, harga mobil listrik harus turun. Penjualan model plug-in Chevrolet Volt dan Nissan Leaf, misalnya, terus meningkat 37.361 unit pada Oktober. Tapi ini hanya 0,3 persen dari penjualan total industri, kutip Inautonews.

Menurut Penelitian Kendaraan Bermotor Listrik, harga mobil-mobil ini masih terlampau mahal. Rata-rata model listrik senilai 10.000 dolar AS, sementara hibrida (perpaduan listrik dan bensin) 16.000 dolar AS.  “Masih ada perbedaan antara realitas biaya mobil listrik dan penghematan biaya yang diinginkan konsumen,” kata Direktur Senior LSM ramah lingkungan Power, Neal Oddes. Harga mobil listrik kata Neal, akan turun ketika produsen baterai menemukan solusi menurunkan harga kemasan baterai. Baterai merupakan komponen termahal pada mobil listrik (http://www.kabar24.com/index.php/mobil-listrik-mau-laku-syaratnya-harus-murah/).**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar