6/20/2013

Wahai Dokter dan Masyarakat, Gunakanlah Antibiotik Secara Bijak



Pernah diberi resep antibiotik? Dokter yang memberi resep antibiotik biasanya akan memberi embel-embel bahwa obat ini harus diminum habis. Masalah timbul jika pasien adalah anak-anak atau bahkan lansia. Mereka umumnya harus dicereweti agar menghabiskan antibiotiknya, sementara mereka sudah merasa sehat.  Robert W Steele MD, seorang dokter anak, mengatakan, kebanyakan bakteri dari penyakit sederhana (seperti radang tenggorokan, infeksi telinga, dll) bereaksi cepat terhadap antibiotik, sehingga pasien merasa sudah sembuh. Padahal tata cara minum antibiotik itu harus tuntas dan tepat waktu, karena boleh jadi si bakteri hanya mati suri.

ROL
Dokter anak dari St John's Regional Health Center di Springfield, Amerika Serikat (AS) ini memperingatkan, karena konsumsi antibiotik tidak tuntas,  bisa saja ada bakteri yang belum terbunuh. Dan ini berpotensi membuat infeksi akibat bakteri datang lagi dalam kasus sakit yang sama atau berbeda. Selain itu Steele menjelaskan bahwa bakteri berkembang biak sangat cepat, dan ini berpotensi membuat mereka mengalami kesalahan acak pada DNA-nya yang bisa membuat mereka resisten terhadap antibiotik.

Karena itu kata Steele, dosis antibiotik dari dokter sebaiknya dikonsumsi tepat waktu, sesuai aturan yang diberikan dokter. "Hal ini akan membunuh bakteri dengan cepat dan efisien,” ujar Steele. Penjelasannya, ketika bakteri undertreated, beberapa dari mereka mungkin memiliki cukup waktu untuk menyimpang dari yang seharunya terjadi pada DNA mereka ketika dipapar antibiotik. Selain itu, tak tuntas dan tak tepat waktu konsumsi antibiotik membuat  bakteri makin tangguh. Beberapa bakteri dapat membuat sistem kekebalan tubuh melakukan hal-hal yang tidak seharusnya.

Steele mengambil contoh kasus klasik radang tenggorokan yang menyebabkan demam rematik (rasa sakit pada sendi-sendi saat flu, Red). Diperkirakan, ada senyawa pada tubuh yang secara kimiawi memiliki komponen mirip dengan kuman yang menyebabkan radang tenggorokan, yakni grup bakteri A Streptococcus. Ketika sistem kekebalan tubuh mulai mencoba melawan bakteri penyebab radang tenggorokan, tubuh jadi kebingungan (khususnya terjadi pada bagian-bagian tertentu dari otak, sendi, ginjal, dan jantung). Tubuh mengalami kesulitan mengidentifikasi bakteri  yang“asli”.  Butuh beberapa hari untuk demam rematik akut itu muncul setelah infeksi tenggorokan.

Mungkin ini akan menjadi “promosi” buat penggunaan antibiotik, karena serangan ganda ini hampir tidak pernah terjadi jika radang tenggorokan diobati tuntas oleh antibiotik. Padahal radang tenggorokannya sendiri bisa saja sembuh hanya dengan mengandalkan sistem kekebalan tubuh alami. Penggunaan antibiotik  menjadi bersifat membantu membunuh bakteri lebih cepat dan agar pasien terhindar dari serangan demam rematik (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/11/01/20/159589-mengapa-obat-antibiotik-harus-dihabiskan-walau-sakit-sudah-pergi-).

Sementara itu, Prof Dr Maksum Radji, M.Biomed, ahli mikrobiologi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, mengatakan, konsumsi antibiotik yang tidak tuntas membuat bakteri sekedar pingsan atau sekarat. Bagai sudah mempelajari “gaya” si antibiotik, sang bakteri yang bangun lagi ini akan menjadi kebal jika kelak diberikan antibiotik yang sama, apalagi dengan dosis yang sama.

Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Drs M Dany Pratomo, MM, Apt, menambahkan, tak ada istilah bagi antibiotik dicadangkan untuk sakit berikutnya. Juga tak boleh ada istilah berhemat untuk sakit berikutnya. ((http://health.detik.com/read/2012/09/05/095618/2008280/775/memangnya-kenapa-kalau-antibiotik-tidak-dihabiskan). Alih-alih mengirit pengeluaran, bisa jadi pasien malah akan terancam penyakit yang lebih parah akibat bakteri yang telah bermutasi (kebal).

Efek Samping Antibiotik
Dokter spesialis penyakit dalam, Zubairi Djoerban, mengatakan, tidak semua jenis antibiotik cocok untuk setiap orang dan setiap penyakit. Karena itu kata guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini, jangan minum antibiotik yang diresepkan dokter untuk orang lain. Minum antibiotik yang keliru dapat memberi kesempatan bakteri untuk berkembang biak lebih parah.

Antibiotik juga kata Zubairi, bisa menimbulkan dampak buruk lain. Penisilin misalnya, dapat menyebabkan alergi dan shock. Tetrasiklin dapat menyebabkan perubahan besar dalam flora usus sehingga dapat memicu infeksi jamur. Kloramfenikol bahkan dapat menyebabkan penyakit darah yang serius. Banyak negara sudah amat membatasi penggunaan antibiotik ini (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/03/13/m0tnqz-jangan-sembarangan-minum-antibiotik-inilah-cara-yang-tepat).

Mengenai efek samping antibiotik, spesialis patologi klinik FKUI RSCM Jakarta, Tonny Loho, menambahkan. Antibiotik untuk paru-paru, yang akan melewati usus ketika diminum, akan berkibat buruk bagi flora dalam usus, karena mungkin saja flora di usus ikut mati atau malah menjadi kebal. Flora ini akan tumbuh menjadi koloni dan tentu akan berefek buruk pada tubuh. Apa itu antibiotik? Tony menyebutkan, antibiotik adalah segolongan senyawa alami maupun sintetik yang berefek menekan atau menghentikan proses biokimia dalam organisme, khususnya proses infeksi oleh bakteri. Mekanisme inilah yang memungkinkannya manjur mengobati penyakit.

Dijelsakan Tony, antibiotik tidak efektif mengobati penyakit yang bukan disebabkan bakteri, misalnya akibat virus, jamur, dan nonbakteri lainnya. Obat ini sebaiknya tidak diberikan bila yang muncul adalah radang (inflamasi), alergi, atau penyakit akibat virus seperti deman dengue. Tentunya menjadi tugas dokter menentukan apakah satu penyakit disebabkan bakteri atau bukan.

Sementara masyarakat juga tidak disarankan bahkan dilarang membeli antibiotik sendiri, pasalnya mereka tidak akan pernah tahu efek-efek samping antibiotik ybs, mengingat tidak semua antibiotik cocok pada semua orang dan pada semua penyakit/kondisi tubuh. Misalnya saja, ada antibiotik yang diberikan kepada wanita hamil dan menyusui, serta kepada bayi dan anak, bisa saja menimbulkan kecacatan pada anak. Sedangkan pada si ibu bisa terancam osteoporosis. Ada pula yang jika diberikan pada penderita penyakit terntentu, dia akan berubah menjadi racun (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/01/16/mgoyib-hatihati-ini-bahaya-keseringan-minum-antibiotik).

Ahli dari Health Protection Agency, Dame Sally Davies, menyarankan, sebaiknya orang menghentikan penggunaan antibiotik untuk mengatasi penyakit karena infeksi ringan, misalnya batuk, sakit tenggorokan, sinusitis, hingga sakit telinga (bahkan jerawat). "Pasien harus berhenti menggunakan antibiotik untuk penyakit-penyakit tersebut," kata Davies, dikutip dari the Guardian, Sabtu (17/11). Kebanyakan orang masih bisa sembuh dari penyakit-penyaki ringan tersebut tanpa perlu mengonsumsi antibiotic (antara lain karena tubuh memiliki sistem kekebalannya sendiri). Ahli mikrobiologi dari Health Protection Agency, Cliodna McNulty, menambahkan, pasien justru lebih banyak meninggal akibat prosedur medis (pemberian antibiotik) yang rutin (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/11/17/mdlvey-hatihati-dengan-antibiotik).

Bijak Gunakan Antibiotik
Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia meminta para dokter bijak menggunakan antibiotik. “Kami ingin mengubah paradigma pemakaian antibiotik (di kalangan dokter)," kata dokter spesialis mikrobiologi klinis, Dr dr I Dewa Sukrama SpMK(K), seperti dikutip Antara. Terlebih karena saat ini banyak penyakit yang disebabkan bakteri yang kebal terhadap antibotik.

Bakteri yang kebal terhadap antibiotik ini kata Dewa merupakan jenis Metisilin Staphylococcus Resisten Aureus (MRSA). Bakteri itu banyak tersebar di lingkungan rumah sakit maupun masyarakat. Bakteri ini dapat menghasilkan enzim extended spectrum beta lactamase (ESBL) yang mempunyai kemampuan resisten pada golongan antibiotik cephalosporin, metisile, serta penicillin. "Bakteri ini umumnya mengkolonisasi (bertempat) di hidung. Dan jika menyebar ke luka operasi  dapat menyebabkan infeksi yang serius,'' katanya. ''Infeksi dapat mengenai jaringan, kulit, bahkan sampai ke darah. Biasanya kalau sudah menyerang jaringan, susah diobati." (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/12/10/26/mchc8y-dokter-disarankan-bijak-gunakan-antibiotik).

Selain itu, masyarakat diharapkan juga cukup melek terhadap sejumlah informasi medis umum, contohnya ihwal penggunaan antibiotik ini. Anesthesiologist RS Pondok Indah, Yohanes George, mengungkapkan, masyarakat di negara-negara maju (khususnya Barat), menganggap medical knowledge adalah pengetahuan wajib yang harus dimiliki. Kesadaran masyarakat ini menyebabkan antibiotik tidak bisa sembarangan diberikan, karena dokter dan pasien bisa mendiskusikan jenis penyakit dan obat yang diberikan. (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/10/05/21/116447-tanyakan-pada-dokter-anda-perlukah-konsumsi-antibiotik-). Yang menjadi masalah, dokter (terutama di Indonesia) seringkali ogah diajak diskusi oleh kliennya (?). **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar