6/18/2013

2014 Dokter Harus Lebih Banyak Beri Resep Obat Generik



“Harga obat generik ini lanjut Iwan, bisa sembilan kali lipat lebih murah dari yang memakai paten”

Apa yang ada di dalam pikiran kita tentang obat generik? Karena harganya jauh lebih murah ketimbang obat paten, timbul stigma bahwa obat generik tidak lebih manjur ketimbang paten. Dan karena itu pula banyak kalangan kadang gengsi meminta agar apoteker mengganti obat paten yang diresepkan dokter dengan obat generik. Padahal Indonesia telah merilis peraturan yang menganjurkan bahkan mewajibkan dokter menuliskan resep obat generik. Akan tetapi faktanya, nyaris tak ada dokter yang bahkan sekedar bertanya pada pasiennya ingin menggunakan obat apa. Bahkan tidak juga menjelaskan bahwa kandungannya tak berbeda dengan obat paten. Selain itu, ketersediaan obat generiknya pun memang tidak terjamin.

ROL
Khusus bagi yang beranggapan bahwa obat generik tidak sama manjurnya dengan obat paten, mungkin harus berpikir ulang lagi. Terlebih saat ini program Formularium Nasional (Fornas) telah menetapkan kebijakan auto switching yang memungkinkan apoteker mengganti obat bermerek atau paten (tanpa perlu diminta)  dengan obat generik.  "Asal dengan zat aktif yang sama," kata Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Nasional, Maura Linda Sitanggang, pada temu media Formularium Obat untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Senin (17/6) di Jakarta.

Dengan model auto switching ini, Maura berharap bisa mengubah pandangan masyarakat tentang obat generik. Karena selama ini masyarakat beranggapan obat generik tidak semanjur obat generik bermerek atau obat paten. Maura menyebutkan, daftar obat dalam Fornas diambil berdasarkan Daftar Obat Esensial (DOEN). Jadi meskipun harganya  terjangkau, Fornas tetap aman dan dijamin oleh pemerintah. "Obat kanker yang esensial juga masuk dalam Fornas," katanya (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/mojcdq-kebijakan-auto-switching-diharapkan-tingkatkan-minat-pada-obat-generik).

Fornas menggunakan konsep obat esensial, artinya kriteria obat-obatan yang digunakan dalam Fornas harus aman, efisien, dan hemat biaya. Ini mencakup kriteria obat-obatan yang memenuhi benefit-cost ratio (rasio manfaat biaya) tertinggi, dan memiliki benefit-risk ratio (rasio manfaat-risiko) paling menguntungkan. Konsep ini kata Maura, sekaligus bisa menjadi pengendali biaya dan mutu pengobatan. Hal ini dilakukan kata Maura, sebagai awal dari rencana semua obat yang diformulasi (dalam Fornas) akan berbentuk sebagai obat generik. "Mengingat 40-60 persen biaya kesehatan adalah untuk obat," kata Maura (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/moj8lh-kemenkes-luncurkan-fonas-untuk-jkn-2014).

Maura menambahkan, obat tradisional dan suplemen makanan tidak termasuk dalam Fornas. Fornas  dibuat sebagai acuan bagi setiap fasilitas pelayanan kesehatan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKS) 2014. Fornas disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional berdasarkan bukti ilmiah mutakhir, berkhasiat, aman, dengan harga murah (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/mojcdq-kebijakan-auto-switching-diharapkan-tingkatkan-minat-pada-obat-generik).

Seperti dikabarkan sebelumnya, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Senin (17/6) mengumumkan Fornas dalam rangka menuju JKN 2014. Fornas antara lain juga berisi daftar obat dan harga yang disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas. Dengan adanya Fornas, lanjutnya, masyarakat tak perlu  khawatir bakal mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan penyakit yang diderita. Rencananya, daftar obat dan harga ini mulai tersedia September mendatang, yang bisa diakses melalui e-catalog. "Formularium ini nantinya transparan. Setiap warga bisa melihat daftar obat yang terjamin," katanya (http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/13/06/17/moj8lh-kemenkes-luncurkan-fonas-untuk-jkn-2014).

Kemenkes sendiri sebenarnya telah mengeluarkan pernyataan pada 2010 bahwa pada 2014, 80-90 persen resep dari dokter di rumah sakit umum pemerintah atau puskesmas harus obat generik. Hal ini sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 yang memang mewajibkan penulisan obat generik. "Saat ini baru sekitar 65-68 persen resep yang menuliskan obat generik bagi pasien," kata Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Kemenkes, dr. Setiawan Soeparan.

Dalam peraturan tersebut, apoteker juga diberi kewenangan mengganti obat bermerek dengan obat generik yang sama komponen aktifnya, dengan persetujuan dokter dan/atau pasien. Pada awal diberlakukan aturan tersebut, kata Setiawan, tren penulisan resep obat generik oleh dokter cukup tinggi yakni sekitar 60 persen, namun peningkatannya lambat; hanya 2-3 persen tiap bulan. Salah satu hambatannya adalah masyarakat masih meragukan kualitas obat generik tersebut.  

Apa itu Obat Generik
Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Iwan Dwi Prahasto, M.Sc,PhD, menjelaskan, obat generik sebenarnya sama dengan obat asli/paten, tapi dikeluarkan 15-20 tahun kemudian setelah hak paten obat tersebut habis. "Setelah masa paten terlewati maka industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis dengan obat originator(asli)-nya, inilah yang disebut dengan obat copy atau obat generik," paparnya. Harga obat generik ini lanjut Iwan, bisa sembilan kali lipat lebih murah dari yang memakai paten (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/kesehatan/10/08/03/127972-kemenkes-targetkan-90-persen-resep-obat-generik).

Harga yang murah ini karena perusahaan farmasi tak perlu membayar royalti atas hak paten. Ada dua jenis obat generik: obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo (OGB). Dalam obat generik bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin misalnya, oleh pabrik ”A” diberi merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”B” memberi nama ”gatoticilin”. Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya sama.  Kemasan yang sederhana dan tak adanya biaya royalti membuat harga obat generik bermerek lebih murah ketimbang obat paten.

Sementara harga OGB lebih murah lagi. Ciri OGB adalah logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan "Generik" di bagian tengahnya. OGB merupakan program Pemerintah Indonesia yang diluncurkan pada 1989 dengan tujuan memberikan alternatif obat dengan kualitas terjamin, ketersediaan yang cukup, dan harga terjangkau. Nama yang tercantum biasanya adalah nama kandungan zat aktifnya, misalnya “amoxicillin” (http://id.wikipedia.org/wiki/Obat_generik). OGB jauh lebih murah lagi karena mendapat subsidi dari pemerintah.

Kita Belum “Well Informed”
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), penggunaan OGB sudah sangat lumrah. Masyarakat AS yang well informed paham, OGB mengandung khasiat yang sama dengan obat bermerek, tetapi dipasarkan dengan harga jauh lebih murah. Penggunaan OGB di negeri Paman Sam ini 60:40 dengan obat bermerek. Lewat program jaminan sosial dan asuransi kesehatan konsumen, OGB di AS diminati kalangan menengah ke atas (http://health.detik.com/read/2009/10/20/100228/1224682/756/ngapain-gengsi-beli-obat-generik).

Bagimana dengan Indonesia?  Dalam survei kecil-kecilan yang dilakukan Kompas.com di sejumlah apotek di kawasan Jakarta Timur, 13 dari 20 orang menganggap obat generik sebagai obat kelas dua, dan kurang berkhasiat ketimbang obat bermerek. Ditemui di salah satu apotek di Jakarta, Doni (24) yang hendak menebus resep untuk orangtuanya mengatakan, "Ya lebih bagus obat bermerek lah, soalnya dia punya merek. Kalau generik kan nggak punya."

Sementara Gunawan (34), seorang karyawan bank swasta di Jakarta, mengatakan, “Kalau berobat saya minta diresepin obat generik. Udah murah, khasiatnya sama aja." Bagaimana dengan pihak apotek? Rini (23), seorang asisten apoteker, mengatakan, obat generik saat ini sudah lebih banyak dicari ketimbang obat bermerek. Meski begitu, pihaknya tetap membatasi menjual obat generik. Pasalnya, keuntungan dari menjual obat generik tidak sebesar obat bermerek.

Sanksi Buat Dokter Bandel
Sekjen Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Slamet Budiarto, mengatakan,  IDI, kata Slamet, selalu mengimbau anggotanya untuk meresepkan obat generik dan mengingatkan pada kode etik larangan menjalin kontrak dengan penyedia obat. Apabila terbukti ada anggotanya yang terlibat, maka akan diberikan sanksi. "Tak dapat dipungkiri bahwa masih ada tenaga medis yang memberikan resep obat generik bermerek. Ke depan, hal-hal seperti ini diharapkan tidak lagi terjadi," katanya.

Slamet juga mengamati, masih banyak apotek yang tidak menyediakan obat generik. "Apotek harus direformasi. Penyediaan obat generik di apotek cuma 10-20 persen. Seharusnya di atas 50 persen,” kata Slamet. Sementara untuk setiap rumah sakit, minimal harus menyediakan 80 persen obat generik, agar masyarakat mudah mendapatkannya jika dokter meresepkan obat generik. Pemerintah juga, kritik Slamet, tak juga membuat regulasi mengenai ketentuan di apotek.

 “Harusnya semua apotek diwajibkan minimal menyediakan obat generik 70 persen. Produsen obat juga harus memproduksi minimal  70 persen obat generik," ujarnya. Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Nasional, Maura Sitanggang buru-buru membantah. Menurutnya, pemerintah memang belum mengatur hal ini, tetapi di beberapa daerah pemerintah telah menyediakan apotek khusus obat generik, meski jumlahnya masih sangat terbatas (http://health.kompas.com/read/2012/07/24/21015322/Obat.Generik.Berlogo.Bukan.Obat.Orang.Miskin).**



Tidak ada komentar:

Posting Komentar