6/08/2013

Irak Terancam Kembali Berkubang dalam Perang Sektarian

Selepas invasi Amerika Serikat (AS) pada 2003 ke Irak, disusul tercapainya tujuan AS menjatuhkan dan menangkap Saddam Husein, hingga dia diadili dan dihukum mati pada 2006, Irak bagai tanah tak bertuan. Keamanan hidup di negeri ini sangat mengkhawatirkan. Bom mobil dan bom bunuh diri meledak dimana-mana. Dalam satu hari bisa saja terjadi enam ledakan bom. Jika korban kebanyakan kaum Sunni, Syiah yang dituduh, dan sebaliknya. Konflik diperberat dengan adanya tuntutan agar Perdana Menteri Nuri al-Maliki, yang seorang Syiah, mundur.

Bom mobil dan bunuh diri, cekam Irak (ROL)
Terakhir, Jumat (7/6/13), sejumlah pejabat Irak melaporkan ada tiga bom mobil termasuk dua ledakan bom bunuh diri, yang menewaskan 15 orang di Irak. Kondisi ini menyulut kekhawatiran mengenai kemungkinan kembalinya perang sektarian besar. Dikatakan pejabat-pejabat itu, ledakan bom mobil bunuh diri menghantam pos pemeriksan polisi di dekat Ramadi, ibu kota provinsi Anbar yang berpenduduk mayoritas Sunni. Bom ini menewaskan sedikitnya lima polisi dan mencederai delapan lainnya.

Di utara Baghdad, satu kendaraan terparkir yang dipasangi bom, meledak di kota Muqdadiyah, menewaskan 10 peziarah Iran dan melukai 30 lain. Ledakan itu terjadi ketika bis para peziarah itu melewati kota tersebut dalam perjalanan dari perbatasan Iran menuju kota suci kaum Syiah, Najaf. Di Najaf, yang terletak di sebelah selatan Baghdad, terdapat tempat pemakaman keramat seorang tokoh panutan Syiah.

Kunjungan warga Syiah ke tempat-tempat suci dan keagamaan telah menjadi tulang punggung industri wisata Irak, dan sebagian besar dari mereka datang dari Iran. Militan Sunni, termasuk yang terkait dengan Al Qaida, menganggap muslim Syiah sebagai kaum yang menyimpang sehingga menjadi alasan untuk menyerang mereka. Belum ada kelompok yang mengklaim bertanggung jawab atas pemboman Jumat itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/06/08/mo1ihc-15-orang-tewas-akibat-pemboman-di-irak).

Pelaku bom bunuh diri ini tidak saja dilakukan pria, melainkan juga wanita. Pada 2009, seorang wanita meledakkan diri di satu rute ziarah kelompok Syiah. Serangan itu terjadi di wilayah Iskandariyah, atau 40 km selatan ibukota Irak, Baghdad. Pada Jumat malam itu (13/2/09), sebanyak 32 orang tewas, dan mencederai 84 lainnya. Pada Ahad (4/1/09), kantor berita Voices of Iraq, mengutip sumber keamanan setempat, melaporkan, seorang wanita meledakkan sabuk bom yang melilit di tubuhnya di tengah pawai keagamaan dekat tempat ibadah Kakhimiyah, Baghdad utara. Sebanyak 35 orang tewas termasuk wanita dan anak-anak.

Sehari sebelumnya (12/2/09), ledakan bom juga menewaskan delapan orang di kota suci Syiah, Karbala. Padahal keamanan ke rute ziarah itu sudah ketat. Ratusan ribu peziarah sedang menuju Karbala untuk memperingati Arbain, salah satu tanggal paling penting dalam kalender Syiah. Upacara Arbain menandakan berakhirnya masa berkabung setelah ulang tahun wafatnya cucu Nabi Muhammad, Imam Hussein, pada abad ke-7.

Aksi kekerasan yang melanda Irak sempat turun tajam seusai invasi AS pada 2003. Kondisi ini sempat membantu Al Maliki memeroleh kemenangan saat pemilihan perdana menteri di wilayah selatan yang mayoritas Syiah. Tetapi serangan-serangan bunuh diri dan bom mobil tetap tak terhindarkan (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/02/14/31487-bom-bunuh-diri-di-iraq-marak-kala-arbain / http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/09/01/05/24158-wanita-pembom-bunuh-diri-teawskan-35-orang).
 
Kekerasan Siap Meledak
Kini, serangan-serangan bom di negeri ini kian meningkat tajam. Mei merupakan bulan paling mematikan sejak 2008 yang telah menewaskan lebih dari 600 orang. Seorang utusan PBB untuk Irak memperingatkan, kekerasan siap meledak. Ledakan-ledakan Jumat itu merupakan yang terakhir dari gelombang pemboman dan serangan bunuh diri.

Irak kini dilanda krisis politik antara Perdana Menteri Nuri al-Maliki dan mitra-mitra pemerintahnya. Pawai protes menuntutnya mundur mewarnai negeri 1001 malam ini selama beberapa pekan terakhir. Selain bermasalah dengan Kurdi, pemerintah Irak juga berselisih dengan kelompok Sunni. Al-Maliki yang Syiah, sejak Desember 2011 mengupayakan penangkapan Wakil Presiden, Tareq al-Hashemi, atas tuduhan terorisme. Dia jua berusaha memecat Deputi Perdana Menteri, Saleh al-Mutlak. Keduanya adalah Sunni. Tareq sempat bersembunyi di permukiamn suku Kurdi yang tidak bersedia menyerahkannya pada pemerintah.

Menurut data AFP berdasarkan keterangan dari sumber-sumber keamanan dan medis, sepanjang 2013 ini lebih dari 450 orang tewas dalam kekerasan pada April, sementara jumlah kematian pada Maret mencapai 271. Sepanjang Februari, 220 orang tewas dalam kekerasan di Irak. Irak dilanda kemelut politik dan kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang sejak pasukan AS menyelesaikan penarikan pasukannya dari negara itu pada 18 Desember 2011, meninggalkan tanggung jawab keamanan kepada pasukan pemerintah Irak (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/06/08/mo1ihc-15-orang-tewas-akibat-pemboman-di-irak).

Serangan bom kelompok Sunni tampaknya semakin tak kenal ampun. Tidak saja kepada pasukan keamanan dan pemimpin kelompok Syiah, namun juga ke masjid Syiah. Hal ini tampaknya dipicu serangan militer pemerintah Irak ke sebuah tenda demonstran kaum Sunni di Kirkuk, April lalu. Menurut data PBB, April lalu adalah saat paling berdarah sepanjang lima tahun terakhir, yaitu sebanyak 712 orang tewas. Pada Kamis (16/5/13), bom bunuh diri meledak di satu masjid Syiah di Kirkuk. Delapan orang dikabarkan tewas. VOA menyebut 13 tewas. Kebanyakan korban adalah pelayat dari korban bom yang sebelumnya terjadi juga di daerah itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/17/mmxycl-kekerasan-sektarian-irak-diambang-perang-saudara).

Para periset AS seperti dilaporkan jurnal Inggris The Lancet, Jumat (15/3), menyatakan, setidaknya 116 ribu warga sipil Irak dan lebih dari 4.800 tentara koalisi AS tewas sejak meletusnya perang Irak pada 2003 sampai penarikan pasukan AS pada 2011. "Biaya yang dikeluarkan AS di Irak sejauh ini mencapai 810 miliar dolar AS dan bisa mencapai tiga triliun dolar," kata dua periset tersebut yang merupakan professor untuk kesehatan masyarakat. Mereka adalah Harry Levy dari Tufts University School of Medicine, Boston, dan Victor Sidel dari Albert Einstein Collge of Medicine, New York.

Data yang mencakup hingga 15 Januari 2013 itu diperoleh dari laman costofwar.com, yang memantau dana yang dialokasikan Kongres (DPR AS) untuk perang Irak. Mereka mengutip data dari studi di jurnal-jurnal yang telah disiarkan, dan dari laporan-laporan badan-badan pemerintah, organisasi-organisasi internasional, dan media. "Kami berkesimpulan setidaknya 116 ribu warga sipil Irak dan lebih dari 4.800 tentara koalisi tewas dalam perang delapan tahun dari tahun 2003 sampai 2011," papar mereka.

Diungkapkan mereka, banyak warga sipil Irak cedera atau sakit karena rusaknya prasarana yang mendukung kesehatan di negara itu, dan sekitar lima juta orang terlantar. Selain itu, lebih dari 31 ribu personel militer AS cedera hingga mengalami gangguan jiwa/psikologis (stress) dan gangguan otak. Laporan itu tampaknya dimuat dalam satu paket penyelidikan menyangkut konsekuensi-konsekuensi kesehatan akibat Perang Irak, yang disiarkan Lancet untuk memperingati ulang tahun dimulainya konflik itu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/03/15/mjowvx-selama-perang-as-di-irak-116-ribu-warga-sipil-tewas).

Sejak pasukan AS ditarik pada 2011, ketegangan antara Syiah dan Sunni kian memanas. Banyak pihak mulai merasa negara itu di ambang perang saudara. Minoritas Sunni yang kehilangan dominasi sejak invasi AS di tahun 2003, terus menekan PM Nuri Al Maliki, seorang Syiah, agar mundur. Warga dari kelompok Sunni merasa mereka dipinggirkan dari pemerintahan yang dikuasai Syiah ini (http://www.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/13/05/17/mmxycl-kekerasan-sektarian-irak-diambang-perang-saudara).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar