6/01/2013

Dewan Masjid Indonesia Akan Atur “Speaker” Masjid



"Suara adzan yang terdengar sayup-sayup terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita. Al-Quran pun mengajarkan kepada kita untuk merendahkan suara kita sambil merendahkan hati ketika berdoa memohon bimbingan dan petunjukNya”. Kutipan tersebut berasal dari pidato Wakil Presiden (Wapres) Boediono saat saat memberikan pengarahan sekaligus membuka Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, 27 April lalu.

Speaker masjid ke segala arah (ROL)
Secara umum, dalam pidatonya itu Wapres meminta DMI membuat aturan soal pengeras suara masjid (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38ijc-inilah-pidato-wapres-tentang-pengaturan-azan). Umat Islam pun bereaksi, meskipun syukurlah tidak terlalu berlebihan. Kritik terhadap hal-hal menyangkut agama seperti ini, meskipun benar adanya, memang menjadi sensitif jika disampaikan orang yang kurang pas. Hati kecil Muslim pada umumnya, terutama yang tempat tinggalnya bertetanggaan dengan masjid, akan membenarkan apa yang disampaikan Boediono itu—yaitu ketika corong Masjid bagai seperti berada tepat di samping telinga kita.

Beberapa selebritas politik Senayan pun segera bereaksi atas pidato Wapres ini, seolah merasa paling bisa mewakili dan paling mengerti rakyat, dengan komentar yang tampaknya berasal dari pengetahuan yang dangkal. Ketua Komisi VIII DPR, Ida Fauziyah, menyatakan, masalah pengeras suara di masjid dan mushola tidak perlu diatur. "Mereka tahu seberapa besar penggunaan pengeras suara di masjid dan mushola dibutuhkan," ujarnya. Menurutnya, pengelola masjid pasti berkomunikasi dengan masyarakat sekitar terkait penggunaan pengeras suara. “Penggunaannya untuk membunyikan tilawah al-Qur'an misalkan, sangat dibutuhkan karena lantunan ayat suci memang menyejukkan hati. "Masyarakat memang membutuhkan hal itu," paparnya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38tng-masalah-pengeras-suara-masjid-tak-perlu-regulasi).

Anggota Komisi III DPR, Dimyati Natakusumah, bahkan melontarkan kritik dengan kata-kata tak enak. Anggota DPR dari Fraksi PPP yang sempat mencicipi jeruji besi ini, ketika itu mengatakan, pernyataan Wapres ini kurang penting. "Wapres jangan bawel," ujar politisi yang  pernah menjadi terdakwa dalam kasus korupsi senilai Rp 200 miliar pada 2006 ini, saat dia menjadi Bupati Pandeglang (lihat kabarnya di sini: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/166737-badan-kehormatan-belum-selesai-periksa-as-ad).

Wapres kata dia, lebih baik mengurus hal-hal yang lebih penting ketimbang urusan yang telah menjadi bagian dari syariat agama serta kultur. "Lebih baik memberikan masukan positif untuk kegiatan di masjid, jangan speaker-nya yang dikomentari," ujar pria yang juga pernah berurusan dengan hukum karena kasus asmara dengan seorang siswi SMA di Pandeglang ini (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/27/m350hh-soal-speaker-masjid-wapres-diminta-jangan-bawel).

Dimyati Natakusumah pernah didakwa jaksa penuntut umum dengan tiga pasal berlapis tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman paling lama seumur hidup. Dimyati dinilai jaksa terbukti bersama Mantan Ketua B-P-K-D Pandeglang menyuap anggota dewan periode 2004-2009, untuk melancarakan pinjaman daerah Pemkab Pandeglang ke Bank Jabar banten senilai 200 miliar (http://news.liputan6.com/read/257494/sidang-kasus-suap-dimyati-diputuskan-dilanjutkan). Tapi entah bagaimana orang ini bisa duduk lagi di kursi DPR.

Sementara itu, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Prof Dr H Muhammad Baharun, mengatakan, wacana yang dilontarkan Boediono tidak bisa diterapkan di Indonesia. "Tradisi umat Islam, azan itu adalah syiar dan harus dilantunkan dengan syahdu dan keras. Sehingga menggunakan pengeras suara untuk azan memang layak dilakukan. Adzan memang harus begitu,"  ujarnya. Menurut Baharun, yang seharusnya diatur adalah soal penggunaan pengeras suara untuk kegiatan masjid lainnya di luar adzan. Misalnya, pengeras suara untuk pengajian , ceramah, atau kasidahan (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/04/29/m38xv3-mui-azan-lewat-pengeras-suara-tak-perlu-diatur).

Ketua MUI, Amidhan, juga menyatakan, itu sudah ciri Islam di Indonesia. “Bahkan saya rasa tidak hanya di sini saja tetapi di semua mayoritas negara muslim, termasuk juga di Malaysia.'' Amidhan menduga, keluhan wapres ini mungkin karena ada keluhan pihak lain. Selain, ''Mungkin saja korps diplomatik,'' ujarnya. Amidhan memahami tempat kediaman Wapres dekat dengan masjid Sunda Kelapa. “Tapi kalau (azan) itu dilamatkan, tidak keras, ya nanti fungsi (dari azan) itu menjadi hilang. Meski harus diakuinya, hukum azan sebenarnya tidak wajib,'' katanya.

Amidhan mengakui, penggunaan pengeras suara seperti memutar pengajian pada  dini hari, terkadang memang mengganggu, apalagi jika sudah “ramai” sejak masih pukul 03.00. Sementara azan subuh baru berkumandang sekitar pukul 04.00. ''Kalau masalahnya seperti ini, ya itu memang kurang baik juga,'' ujarnya. Namun dia kemudian membandingkan dengan lonceng tanda waktu kebaktian di kota Roma, Italia, yang juga cukup mengganggu telinga, begitu juga di negara-negara mayoritas nasrani lainnya. ''Sebagai (negara) mayoritas muslim, sebenarnya tidak perlu keberatan. Apalagi subuh. Harusnya merasa terbantu karena dibangunkan,'' katanya (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/29/m38oui-wapres-keluhkan-soal-azan-ini-komentar-mui).

Untunglah Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla, cukup aspiratif. Menurut Jusuf, pihaknya kini tengah membahas detail teknis dan konsep pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid, terutama untuk selain kumandang azan. Jusuf, seperti dikutip onislam.net yang mengutip The Jakarta Post pada Rabu (29/5/13), mengatakan, pembicaraan sedang berlangsung untuk melarang masjid menggunakan pengeras suara untuk khotbah agama dan pembacaan Alquran.

"Kalau untuk Azan, itu baik-baik saja di mana-mana di dunia masjid menggunakan speaker untuk Azan," kata mantan wakil presiden Indonesia ini. Di Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar, terdapat hampir 80.000 masjid.  Masjid-masjid ini sayangnya tak hanya menggunakan pengeras suara saat azan, namun juga kadang saat ceramah keagamaan (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/05/31/mnmy3d-aturan-pengeras-suara-buat-masjid-bakal-disahkan).

Timur Tengah Juga Galau
Ihwal pengeras suara, ternyata juga menjadi kegalauan di negara-negara mayoritas Muslim lainnya. Wacana larangan penggunaan pengeras suara di masjid ini bahkan menjadi pembahasan serius negara-negara Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah (Timteng). "Kekuatan iman tidak diukur dengan seberapa keras panggilan untuk shalat. Masjid yang tidak menggunakan pengeras suara tetap bisa menjalankan aktivitasnya," kata Saeed Lakhal, seorang pakar Agama Islam asal Maroko, seperti dikutip Al-Arabiya, Kamis (1/9).

Sementara itu, selama hampir satu dekade, rezim mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak berjuang untuk melaksanakan proyek yang akan menyinkronkan panggilan shalat di 4.000 masjid di Kairo. Harapannya akan  menurunkan hiruk-pikuk sehari-hari di ibukota Mesir. Namun  Mubarak terlanjur ditumbangkan sehingga proyek tersebut terancam tidak berlanjut.

Di Arab Saudi, Kementerian Urusan Islam tengah menyelidiki keluhan masyarakat terkait tingkat kebisingan akibat penggunaan pengeras suara. Sebelum teknologi pengeras suara diperkenalkan, suara adzan diucapkan oleh muadzin dalam menara sehingga dapat menjangkau umat dalam radius yang cukup jauh (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/11/09/01/lqu3y6-larangan-pengeras-suara-di-masjid-jadi-wacana-muslim-timur-tengah).

Di Dubai Uni Emirates Arab (UAE), rupanya banyak juga warga yang mengeluhkan penggunaan pengeras suara di masjid, bahkan saat adzan Subuh. "Saya mendapatkan banyak keluhan soal ini. Namun saya perlu meminta pendapat masyarakat dan ulama soal masalah ini," ujar Anggota Dewan Tertinggi Emirat Sharjah, Dubai, UEA, Shaikh Sultan bin Mohammed al-Qasimi, seperti dikutip khaleejtimes.com (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/12/08/09/m8hg4k-sharjah-gelar-voting-soal-pengeras-suara-masjid).

Otoritas Bahrain memperbaharui aturan mengenai larangan penggunaan pengeras suara di masjid selama shalat. Aturan ini mengakhiri debat panjang dan isu sensitif yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di kerajaan tersebut. Putusan itu dibuat oleh Bahraini Sunni Endowment Department, semacam Direktorat Jenderal Bimas Islam di Indonesia, Kementerian Agama  di Bahrain.

Dalam amar putusannya, Kementerian Agama Bahrain melarang penggunaan pengeras suara selain digunakan sebagai kumandang azan. Putusan itu kemudian disebarkan melalui pesan singkat kepada para muazin di masjid untuk menghormati aturan baru tersebut (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/08/17/130360-bahrain-larang-penggunaan-pengeras-suara-di-masjid).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar