6/06/2013

BBM Biodiesel Ala “Minyak Comberan” Shanghai




“Di Indonesia sebenarnya sudah diterapkan oleh bus Trans Pakuan, Bogor. Pemkot Bogor ketika itu membeli minyak jelantah dari restoran-rentoran besar dan menukarnya dengan minyak goreng baru”

Dunia kuliner Shanghai, Cina, sedang diramaikan skandal penggunaan minyak goreng bekas dari restoran. Istilah untuk minyak goreng bekas yang digunakan lagi ini, seperti disebutkan media resmi setempat, adalah "minyak comberan". Di Indonesia, minyak goreng bekas ini lebih dikenal dengan nama minyak jelantah. Seorang produsen BBM jelantah di Bogor bahkan sudah menjadi pemasok untuk perusahaan peleburan timah dan tekstil di seluruh Indonesia.

ROL
Permasalahan penggunaan kembali minyak jelantah untuk memasak ini telah memancing upaya positif pemerintah Shanghai, yakni menseriusi konversi minyak comberan ini menjadi BBM biodiesel untuk kendaraan. Pemerintah daerah Shanghai melalui Komite Keamanan Pangan Kota Shanghai, pun menggaet salah satu universitas paling terkemuka di Cina, Universitas Tongji, serta enam perusahaan,  untuk menyukseskan produksi BBM minyak comberan ini. Nantinya, BBM cap minyak comberan ini akan digunakan untuk bus, taksi, dan truk. Harian Cina Daily menyebut,  Universitas Tongji, setidaknya tiga tahun terakhir  ini telah melakukan percobaan guna menghasilkan campuran yang pas untuk biodiesel tersebut.

Ide minyak comberan sebagai bahan baku BBM ini mulai mengemuka ketika pada 2011 pihak berwenang Cina menangkap 32 orang terkait minyak goreng bekas restoran yang dipakai lagi memasak ini. Padahal minyak jelantah diduga sudah mengandung senyawa karsinogen dan berbagai polutan lainnya, yang dapat memicu berbagai penyakit berat seperti stroke hingga kanker.

Maret lalu, pihak berwenang Shanghai juga melakukan penggerebekan terkait penanganan minyak limbah dan kualifikasi perusahaan yang menangani limbah itu. Saat kasus "minyak comberan" marak tahun 2010, para ahli memperkirakan konsumsi minyak goreng bekas di Cina setiap tahun mencapai dua atau tiga juta ton (http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/05/27/mngugb-shanghai-niat-sulap-minyak-comberan-jadi-bbm).

Dikutip dari Car News China, Jumat (31/5/13), BBM dari hasil pengolahan minyak jelantah ini akan mulai diterapkan dua tahun ke depan. Berhubung biaya konversi jelantah ke BBM relatif tinggi dibandingkan menggunakan gas,  pemerintah Cina berencana memberi subsidi bagi kendaraan yang akan menggunakan biodiesel tersebut.

Setelah meneliti selama tiga tahun terakhir, Professor Universitas Tongji, Lou Diming, menemukan bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mewujudkan BBM minyak comberan. "Di satu sisi, kami menekankan perlunya ‘membersihkan’ para penimbun limbah minyak goreng. Di sisi lain, kita mencari cara yang ideal untuk menggunakan minyak goreng bekas, salah satunya adalah menggunakannya untuk bahan bakar kendaraan," ungkap Lou. Saat ini, Lanjut Lou, timnya telah bereksperimen dengan menggunakan bahan bakar solar campuran pada lebih dari 300 taksi, bus dan truk.

Bukan Hal Baru di Indonesia
Wacana memroduksi biodiesel dari minyak jelantah sebenarnya telah mengemuka di Indonesia sejak 2007, bahkan sudah diterapkan oleh bus Trans Pakuan, Bogor. Pemkot Bogor ketika itu membeli minyak jelantah dari restoran-rentoran besar dan menukarnya dengan minyak goreng baru dengan perbandingan 1:8 (http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/417277-china-olah-minyak-goreng-bekas-jadi-bahan-bakar) Tapi entah kenapa upaya positif seperti ini tidak pernah benar-benar menggempita di negeri ini.

Pada 2009, Sjazli Arsyad Abdis, anggota Komisi III DPRD Kalimantan Selatan (Kalsel), yang juga membidangi pertambangan dan energi, menyebutkan, BBM dari jelantah jauh lebih murah dari BBM jenis premium dan solar, yakni hanya Rp 3.000 per liter. Ini jauh lebih murah ketimbang harga premium dan solar sekarang Rp 4.500 per liter, apalagi jika harga BBM dinaikkan tak lama lagi.

Sjazli bahkan mengaku sudah menggunakan biodiesel ini untuk kendaraannya. Oleh karenanya dia tidak ambil pusing ketika pada 2009 pemerintah sudah berkoar-koar akan melarang mobil pribadi menggunakan premium dan solar bersubsidi. "Untuk keperluan bahan bakar mobil saya kini menggunakan jalantah, karena harganya jauh lebih murah dari harga premium dan solar saat ini," ujarnya ketika itu di Banjarmasin.

Ia menerangkan, untuk menggunakan jelantah sebagai BBM mobil,  tidak perlu mengubah konstruksi mesin mobil, tapi cukup menambah satu alat untuk pemanas. "Sifat jelantah itu kan dingin dan agak kental daripada premium maupun solar, sehingga memerlukan alat pemanas agar jalantah tersebut panas dan sedikit mencair," tuturnya.

Namun dia mengakui pengembangan jelantah sebagai BBM mobil ini akan terkendala oleh jumlah jelantah yang bisa dikumpulan, apalagi jika dibanding perkembangan jumlah kendaraan bermotor. Maksimalisai pemanfaatan jelantah sebagai BBM kendaraan bermotor, bagaimana pun bisa menjadi upaya meminimalisasi penggunaan kembali minyak gorieg bekas yang berbahaya untuk kesehatan (http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/09/01/30/28693-jelantah-alternatif-bbm-murah).

Puluhan Juta Rupiah dari Jelantah
Di Indonesia, seorang produsen biodiesel asal Jonggol, Kabupaten Bogor, bahkan meraup hingga puluhan juta rupiah per bulan dari bisnis konversi jelantah menjadi BBM biodiesel ini. Menangkap adanya peluang bisnis ini, Toniaga Djie, sang produsen biodiesel, sengaja menampung minyak jelantah dari pengepul dan kemudian mengolahnya menjadi biodiesel.

Seperti dikutip dari situs Kontan, Toniaga membeli minyak jelantah dari para pengepul dengan harga Rp 4.250 per liter. Sebelum diolah, jelantah itu disaring dahulu, untuk kemudian diberi zat tertentu untuk menghilangkan warna dan bau. Setelah jernih, dilakukan proses esterifikasi yang mengubah jelantah menjadi biodiesel. "Rendemen minyak jelantah 70%. Artinya, seliter jelantah menghasilkan 0,7 liter biodiesel," kata Toniaga.

Selain mudah, biaya produksinya juga murah, yakni Rp 2.000 per liter. Dalam sehari, Toniaga mampu menghasilkan 6-9 ribu liter minyak biodiesel. Ia menjualnya Rp 9.000 per liter dengan keuntungan Rp 2.750 per liter. Alhasil, dalam sebulan Toniaga mampu mendulang omzet antara Rp 54-81 juta. "Produksinya banyak karena permintaannya juga besar," kata Toniaga. Konsumen biodiesel Toniaga ini antara lain perusahaan peleburan alumunium dan timah, serta produsen tekstil di Kalimantan, Medan, Lampung, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Mutu biodiesel jelantah kata Toniaga, sejauh diolah dengan prosedur yang benar, akan bagus.

Sementara itu, Puji Sudarmaji, warga Sidoarjo, memilih menjadi pengepul jelantah untuk dipasok ke produsen minyak biodiesel. Paling banter dalam sebulan ia hanya mengumpulkan 200-500 kilogram jelantah dari perorangan. Tidak semua jelantah sama kualitasnya. Untuk ini Puji memberikan peringkat mutu jelantah lewat warna dan baunya. "Yang grade-nya rendah itu sekitar Rp 3.500 per kg, sedangkan grade yang tinggi Rp 7.500 per kg," kata Puji. Alhasil, saban bulan Puji mampu mendulang omzet mulai Rp 17,5 juta hingga Rp 45 juta (http://peluangusaha.kontan.co.id/news/meraup-laba-dengan-menyulap-minyak-jelantah-menjadi-biodiesel-).**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar