6/10/2013

Cukup Tebar Ringgit untuk Memenangkan Mahkamah Internasional



Bank Indonesia (BI) ingin belajar dari sejarah lepaskan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia. Karena itu BI, bekerjasama dengan lembaga terkait, kini getol menggerojok pulau-pulau terluar sekaligus terdepan ini dengan pasokan uang kartal. "Kita pernah kehilangan dua pulau, Sipadan dan Ligitan. Saat itu yang menjadi pertimbangan Mahkamah Internasional (MI) hanya satu poin yaitu bahwa transaksi di sana tidak menggunakan rupiah, tapi mata uang negara tetangga," Deputi Gubernur BI, Ronald Waas, di Gedung BI, Jakarta, Rabu (5/6/13).

Warga perbatasan lebih suka pakai ini (ROL)
Karena tu kata dia, distribusi rupiah ke daerah-daerah pelosok, khususnya daerah perbatasan, menjadi sangat penting untuk memastikan kecukupan dan penggunaan rupiah di daerah tersebut. Saat ini BI telah membangun kerja sama dengan kementerian dan lembaga lain untuk bisa mendistribusikan rupiah ke pulau terluar dengan aman dan efisien. "Saat ini kami sudah bekerja sama dengan TNI AL untuk distribusinya, karena kalau menggunakan ekspedisi komersial, distribusinya bisa tertunda karena masalah teknis," kata dia.

Dia mengatakan, sekali melakukan distribusi, BI dapat membawa Rp 15-20 miliar uang kartal dengan beragam pecahan. Saat pendistribusian, BI biasanya membuka kesempatan bagi masyarakat setempat untuk menukar uang lusuh yang masih berlaku. "Sejauh ini kami telah melakukan distribusi ke Pulau Miangas di Kepulauan Natuna, melalui jalur Batam, dan juga ke perbatasan di Papua," paparnya.

 Ke depan, kata Ronald, BI akan memperluas kerja sama distribusi dengan TNI AU, terutama untuk menjangkau daerah-daerah yang tak memiliki pantai, seperti misalnya di perairan Papua. "Di Papua itu ada wilayah yang sulit untuk kapal mendekat, maka harus dari udara," tuturnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/05/mnwndn-indonesia-pernah-kehilangan-pulau-karena-rupiah). Sementara kerja sama dengan TNI AD dilakukan untuk perbatasan  yang jauh dari perairan laut, bahkan di pergunungan seperti yang terjadi antara Papua dan Papua Nugini.

Daerah lainnya yang belum terjangkau, kata Ronald, adalah di garis perbatasan Kalimantan Utara, kepulauan di atas Manado, kemudian arah Timur dan selatan Maluku, hingga ke Nusa Tenggara dan pulau-pulau terluar. Demi kelancaran upaya ini, BI menitipkan pekerjaan rumahpada bank-bank di seluruh Indonesia agar memberikan perhatian khusus pada daerah perbatasan dan terpencil ini.

Hingga Mei 2013, BI telah mengedarkan uang rupiah ke seluruh Indonesia senilai Rp 403 triliun. Tiap tahun peredaran uang rupiah meningkat 15-16 persen. "Kalau mampu menjangkau seluruh daerah perbatasan dan terpencil, maka meningkat lagi," ucapnya (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/13/06/05/mnwrw9-bi-berikan-tambahan-pekerjaan-kepada-perbankan-nasional).

Agus Martowardojo, ketika masih menjadi Menteri Keuangan pada 2011 (sekarang Gubernur BI) menegaskan bahwa segala transaksi yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia harus menggunakan rupiah, tak terkecuali di wilayah perbatasan dan lokasi wisata. "Masyarakat di daerah perbatasan atau daerah wisata yang tidak mau menggunakan rupiah dalam kegiatan ekonominya dinilai melanggar hukum," kata Agus.  Hal itu mengacu pada telah disahkannya Undang-undang (UU) No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. UU tersebut menegaskan bahwa rupiah adalah tuan rumah di negeri sendiri. Adanya kebijakan ini menegaskan bahwa hanya rupiah yang bisa diperdagangkan di dalam negeri serta dijamin oleh pemerintah dan BI (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/keuangan/11/12/06/lvrvf5-menkeu-transaksi-di-perbatasan-harus-pakai-rupiah).

Penggunaan mata uang negara tetangga ini diakui cabang-cabang BI di daerah yang memangku wilayah perbatasan. BI Kalimantan Barat (Kalbar) misalnya, mengaku kesulitan menumbuhkan kesadaran masyarakat di daerah perbatasan untuk bertransaksi menggunakan rupiah. Purjoko, Kepala Bidang Moneter BI Kalbar, di Singkawang, mengatakan, kesulitan tersebut  karena masyarakat perbatasan melakukan transaksi langsung dengan masyarakat negara tetangga.

Apalagi kata Purjoko, warga perbatasan dari Indonesia juga ada yang bekerja di Malaysia dan mendapatkan upah ringgit. Maka ketika membeli kebutuhan hidup di Indonesia, yang masih melingkupi wilayah perbatasan, dia akan menggunakan ringgit. Namun mereka juga tidak bisa disalahkan karena di daerah perbatasan, apalagi  yang terpencil, belum memiliki tempat pertukaran mata uang.

Di samping memang kondisinya lebih memudahkan melakukan transaksi dengan ringgit, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Akibatnya masyarakat menganggap pembelian barang dengan mata uang asing sah sah saja. Purjoko mengakui, perlu upaya keras menumbuhkan kesadaran masyarakat di wilayah perbatasan untuk lebih mencintai menggunakan rupiah. (http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/12/09/lvxkb7-warga-ri-di-perbatasan-lebih-mudah-bertransaksi-dengan-ringgit).

Akses Sulit
Sebagai contoh, warga Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalbar, yang menghuni kawasan perbatasan dengan Malaysia, banyak menyimpan ringgit. Alasannya, lebih mudah bertransaksi dengan ringgit daripada rupiah. Rusmin, salah satu warga Temajuk, mengakui warga di tempatnya yang bekerja sebagai pedagang lebih suka menyimpan ringgit. Hal itu lantaran mereka lebih sering berbelanja ke Pasar Malanau, Serawak, karena aksesnya lebih mudah, daripada ke Sambas, apalagi Pontianak.

Untuk ke Malanau,  kata Rusmin, warga hanya butuh perjalanan sejam menggunakan speedboat. Jika menggunakan perahu biasa, waktunya 30 menit lebih lama dengan melewati garis pantai Laut Natuna. Sementara jika ke Sambas, warga harus menyusuri garis pantai yang menjadi akses ke Kecamatan Paloh sepanjang 40 km, dengan waktu tempuh hampir dua jam kendaraan. Setelah itu, warga harus menyeberangi Sungai Ceremai selebar 1 km menggunakan perahu kayu.

Sesampainya di Kecamatan Paloh, mereka masih harus menyeberangi sungai menuju Tanjung Harapan menggunakan kapal feri. Kemudian, mereka butuh lagi waktu 45 menit menuju pusat administrasi Kabupaten Sambas dengan jalan aspal separuh rusak. "Inilah mengapa warga lebih senang bertransaksi di Pasar Malanau," dalih Rusmi. Ia menyebut sebagian besar pasokan bahan kebutuhan pokok warga didapat dari pasar Malanau, mulai beras, telur, gula, minyak goreng, daging ayam, bawang, dll (
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/10/17/lt6ugh-warga-perbatasan-transaksi-pakai-ringgit).

Kondisi sama terjadi di Pulau Sebatik.  Asisten Deputi Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), Ir Sunarto MM, mengungkapkan, secara de jure, pulau  seluas   sekitar 50 ribu hektar ini terbagi dua, bagian utara milik Malaysia, bagian selatan milik Indonesia. Tetapi secara ekonomi, kata Sunarto, semuanya dalam penguasaan Malaysia. Diungkapkannya, Masyarakat Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan setiap hari berbelanja kebutuhan sehari-hari , termasuk membeli elpiji, di Tawau, Malaysia (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/19/mf93ue-bnpp-belajarlah-dari-lepasnya-sipadanligitan).

Akibatnya, pada 2012 saya ada lima desa di Kabupaten Nunukan yang terancam direbut oleh Malaysia, bahkan Malaysia sudah mengklaimnya. Kelima desa tersebut adalah Desa Labang, Logos, Ngawol, Simantipal, dan Bulu Lawun Hilir. Jika Malaysia sampai membawanya ke pengadilan Mahkamah Internasional (MI), bisa jadi kelima desa ini akan senasib dengan Sipadan dan Ligitan. Ketika itu, 17 Desember 2002, MI di Den Haag, mengeluarkan putusan memenangkan Malaysia ((http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/02/lyrry2-lima-desa-perbatasan-terancam-direbut-malaysia). Maka, lepaslah kedua pulau mungil itu dengan tak ada penyesalan dari warganya. Indonesia harus belajar lagi, bahwa persentase nasionalisme boleh jadi mayoritas ditentukan kesejahteraan ekonomi.**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar