“Febri
Diansyah: perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan
supaya orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi, karena jika tertangkap ia bisa menjadi lebih
miskin dari sebelumnya”
Upaya kasasi agar tebebas dari hukuman penjara, gagal
didapat Miranda Swaray Goeltom. Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi
mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) ini. Miranda diharuskan
menjalani hukuman pidana selama tiga tahun penjara. Sayangnya, kasasi ini tidak
membuat Miranda dihukum lebih berat seperti halnya yang terjadi pada Muhammad Nazaruddin.
Padahal hukuman terhadap Miranda terbilang sangat ringan.
ROL |
Alasan MA
tidak menerima kasasi Miranda, karena pengadilan tingkat pertama dan banding
terhadap Miranda telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan dengan benar. “Ada fakta hukum yang membuktikan ada
rangkaian perbuatan terdakwa dengan pemberian cek perjalanan (travel cheque) ke
anggota DPR, sampai terpilihnya terdakwa menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
(DGSBI)," kata Ketua Majelis Kasasi perkara Miranda, Artidjo Alkostar, di
Jakarta, Jumat (26/4).
Pada
pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan denda senilai Rp 100 juta subsider
tiga bulan hukuman. Atas putusan ini, Miranda mengajukan banding, namun
Pengadilan Tinggi (PT) Tipikor pada PT DKI Jakarta menguatkan putusan
pengadilan tipikor tingkat pertama tersebut.
Kasus suap cek pelawat ini telah menghantarkan setidaknya 25 anggota DPR periode 1999-2004 ke penjara. Pengadilan menyatakan Miranda terbukti menyuap 25 anggota DPR periode 1999-2004 tersebut dengan bantuan Nunun Nurbaeti yang sudah divonis 2,5 tahun. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/04/26/mlu42y-ma-tolak-kasasi-miranda-goeltom). Para anggota DPR ini terbukti menerima suap cek perjalanan senilai Rp 20,8 miliar (http://blogber.blogdetik.com/2013/02/08/rata-rata-vonis-hukuman-koruptor-hanya-35-tahun-apa-mereka-akan-jera/).
Kasus suap cek pelawat ini telah menghantarkan setidaknya 25 anggota DPR periode 1999-2004 ke penjara. Pengadilan menyatakan Miranda terbukti menyuap 25 anggota DPR periode 1999-2004 tersebut dengan bantuan Nunun Nurbaeti yang sudah divonis 2,5 tahun. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/04/26/mlu42y-ma-tolak-kasasi-miranda-goeltom). Para anggota DPR ini terbukti menerima suap cek perjalanan senilai Rp 20,8 miliar (http://blogber.blogdetik.com/2013/02/08/rata-rata-vonis-hukuman-koruptor-hanya-35-tahun-apa-mereka-akan-jera/).
Sebelumnya, Kuasa
Hukum Miranda, Andi Simangunsong, mengatakan, kasasi dilakukan dengan harapan akan
mendapatkan keputusan lebih ringan dari MA. ”Kami percaya Hakim Agung (di MA) lebih
objektif secara hukum dan berani memutus
semata berdasarkan hukum,” ujarnya. Pertimbangan
hakim PT DKI menyangkut putusan itu, kata Andi, hanya didasari alasan normatif.
“Ada kekeliruan hakim di tingkat pertama yang kami tuangkan dalam memori
banding,” katanya.
Kekeliruan
yang dimaksud Andi adalah bahwa tidak adanya hubungan langsung antara Miranda
dengan Nunun Nurbaeti. ”Jelas-jelas tidak ada hubungan langsung dengan Nunun.
Tindakan yang dilakukan Nunun berdiri sendiri dan tidak melibatkan Miranda,”
katanya. Andi sempat menyatakan optimistis Miranda akan dibebaskan di tingkat
kasasi. Nunun sendiri telah dinyatakan terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dengan memberi suap ke sejumlah anggota DPR
1999-2004 terkait pemenangan Miranda sebagai DGSBI 2004 (http://www.jurnas.com/news/81153/KPK_Siapkan_Kontra_Kasasi_Miranda_Goeltom/1/Nasional/Hukum).
Atas upaya
kasasi lihak Miranda, KPK menurut juru bicaranya, Johan Budi SP, segera akan menyiapkan memori
kontra kasasi. Meski demikian,
lanjutnya, sampai saat ini KPK belum berniat mengajukan kasasi (balik).
Pasalnya KPK menilai hukuman yang dijatuhkan terhadap Miranda (vonis 3 tahun
penjara) bisa diterima, meski tak sesuai dengan tuntutan yang diajukan KPK
yakni 4 tahun penjara bagi sang sosialita (http://nasional.inilah.com/read/detail/1950544/kpk-siap-layani-permohonan-miranda-kasasi-ke-ma).
Miranda
memang santer dijuluki wanita sosialita. Dia sering mengunjungi acara-acara dengan
para sosialita lainnya dengan penampilan yang selalu menarik perhatian mulai pakaian,
tas, sampai warna rambutnya. Menurut Ade Syarfuan, teman sekaligus Dewan
Pembina Rumah Pesona Kain, Miranda memiliki beberapa personal stylist sendiri. Salah
satunya adalah anak perempuannya.
Mengenai perancang busana favorit Miranda, Ade
mengatakan Miranda menggemari hampir semua perancang busana ternama Indonesia.
Sedangkan untuk tas favorit Miranda, cerita Ade, mantan Deputi Senior Gubernur
Bank Indonesia ini menggemari semua tas mahal berkelas dunia (http://www.tempo.co/read/news/2012/01/27/063379984/).
Semua itu
memungkinkan terbiayai mengingat gaji Miranda
selama menjabat DGSBI adalah sekitar Rp 200 juta per bulan atau Rp 2,4 miliar per tahun.
Meski begitu, jika melihat nilai suap Miranda sebesar Rp 20,8 miliar, lalu
dibandingkan dengan hasil Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang menunjukkan bahwa kekayaan Miranda hanya sekitar Rp 7 miliar,
tampaknya ada indikasi kasus cek pelawat ini disokong sekelompok
orang yang memiliki kepentingan terhadap BI
(http://hutte-stijl.blogspot.com/2013/02/4-tahun-10-bulan-untuk-miranda-terlalu.html).
Sebenarnya
masih bagus Miranda tidak malah dihukum lebih berat di tingkat kasasi seperti
halnya yang terjadi pada terdakwa korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games
Palembang, Muhammad Nazaruddin. Di
tingkat kasasi, MA justru menambah hukumannya menjadi tujuh tahun dari semula
hanya empat tahun bagi kepada Nazar (http://m.pikiran-rakyat.com/node/220196).
Mengenai
ringannya hukuman-hukuman terhadap koruptor bahkan ada yang divonis bebas, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW),
Febri Diansyah, menuliskan pendapatnya. Berdasarkan catatan ICW,
sejak pengadilan tipikor daerah terbentuk, setidaknya 51 terdakwa divonis
bebas/lepas. Skor tertinggi (pembebasan koruptor) dipegang Pengadilan Tipikor
Surabaya dan Samarinda.
Jikapun
akhirnya divonis bersalah, sanksi yang dijatuhkan pun tergolong rendah. Pada
2011, dari 55 terpidana korupsi yang dieksekusi KPK, rata-rata vonis hanya 3
tahun 2 bulan. “Bahkan, untuk ‘korupsi berjemaah’ seperti skandal suap
pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom, rata-rata vonis hanya 1
tahun 4 bulan. Padahal, pelaku korupsi orang-orang yang sebelumnya berada di
posisi terhormat, mendapat kepercayaan rakyat untuk mengurus negara yang
kemudian khianat,” tulis Febri.
Angka di atas terasa kian menjengkelkan ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan ”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi, sama sekali tak terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa takut korupsi?
Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada. Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya (http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/06465957/Jalan.Terjal.Pemiskinan.Koruptor).
Angka di atas terasa kian menjengkelkan ketika di lembaga pemasyarakatan, para pencuri uang rakyat ini justru mendapatkan ”kemewahan” dalam bentuk remisi hingga pembebasan bersyarat. Walhasil, proses hukum yang sulit dan kerugian masyarakat akibat korupsi, sama sekali tak terobati dengan hukuman ala kadarnya itu. Jangankan efek jera terhadap pihak lain agar tidak melakukan korupsi, penjeraan terhadap pelaku pun sulit tercapai. Para pejabat tak akan enggan korupsi jika ternyata ”kerugian” yang didapat tidaklah sehebat nikmat dan keuntungan dari korupsi itu sendiri. Siapa takut korupsi?
Pemikiran dan tindakan konkret untuk menjawab situasi yang terasa tidak adil tentang penghukuman koruptor perlu ada. Perampasan kekayaan hingga kolong kasur koruptor harus direalisasikan sehingga orang akan berpikir seribu kali untuk korupsi karena jika tertangkap, ia bisa menjadi lebih miskin dari sebelumnya (http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/06465957/Jalan.Terjal.Pemiskinan.Koruptor).
Menutip dari
tabloid The Politic edisi
24, Miranda boleh
saja keberatan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
di pengadilan tipikor pertama yang
hanya menuntut
hukuman 4 tahun 10 bulan kepada Miranda.
Namun mantan Hakim Agung,
Benjamin Mangkoedilaga, termasuk
yang menilai bahwa tuntutan JPU itu terhitung ringan.
“Saya
kecewa dengan putusan JPU. Karena
bagaimana pun juga korupsi, narkoba dan terorisme merupakan tindak pidana extraordinary.
Itu yang menentukan nasib bangsa di masa depan,” ujar Benjamin. Sebagai orang yang berkecimpung
dalam bidang hukum selama berpuluh tahun, Benjamin memandang saat ini
perkembangan hukum di Indonesia kurang menggembirakan karena ketidaktegasan
pemimpin.
Selain itu ia menilai para penegak hukum kehilangan
panutan yang bisa memberikan putusan-putusan fundamental yang bagus. Selain itu, penegak
hukum ini tak memiliki
pembekalan memadai
sehingga ada kesan mereka mengabaikan kasus korupsi engan selalu
menjatuhkan vonis ringan. Menurutnya, kondisi yang terjadi di ranah hukum
Indonesia zaman
sekarang sangat jauh berbeda
dengan tahun-tahun
lalu terutama 1950-1970-an di
mana tidak ada hukum yang ringan untuk kasus berat (http://hutte-stijl.blogspot.com/2013/02/4-tahun-10-bulan-untuk-miranda-terlalu.html).
**
Newspeg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar