“Ketika anaknya mulai bisa berkomunikasi,
Ifen memutuskan meneruskan terapi berkuda kepada kedua putrinya”
Terapi menggunakan hewan jinak untuk penyembuhan
penderita autis, telah banyak dikembangkan. Sebut saja, hewan-hewan tersebut antara
lain anjing, kuda, dan lumba-lumba. Terapi menggunakan anjing peliharaan misalnya,
telah membuahkan hasil di banyak negara.
Psychologyface.com |
Pakar lingkungan hidup dari India, Prof
Nandhita Krishna, dalam seminar Kesejahteraan Hewan Menurut Agama Hindu,
mengemukakan, anak-anak penderita autis umur 7-8 tahun yang belum bisa bicara,
dengan sentuhan pendidikan menggunakan anjing kesayangan, mulai belajar
berbicara (http://www.republika.co.id/berita/humaira/ibu-anak/13/04/20/mlhrzd-hewan-inilah-yang-bantu-sembuhkan-autis).
Seorang bocah penderita autis berusia 11
tahun bernama Milo misalnya, melakukan terapi bersama anjingnya, Chad. Meskipun
efek ini belum bisa dijelaskan melalui penelitian ilmiah, tapi hubungan yang
terjalin antara Milo dan Chad melampaui yang umumnya terjadi. "Dalam
seminggu, perubahan besar terjadi pada Milo. Setelah sebulan, dia menjadi lebih
tenang serta bisa berkonsentrasi dan berkomunikasi dalam jangka waktu lebih
lama," ujar Vaccaro, ibunda Milo, seperti dikutip dari New York Times.
Hubungan yang terjadi antara manusia
dengan binatang peliharaannya memang memiliki efek langsung. Menurut Dr Melissa
A Nishawala, direktur klinis pelayanan autis-spectrum di Child Study Center at
New York University, Chad sendiri tampak tidak aktif, dan hanya duduk diam di
dalam ruangan. Nishawala pun mulai berencana menghentikan pengobatan pada Milo.
Di Children's Hospital of Orange County
di California Selatan, terapi anjing digarap serius. Di sana, puluhan relawan
secara rutin membawa anjingnya untuk mengunjungi pasien anak-anak yang dirawat
karena penyakit serius. Biasanya anak-anak tersebut sering merasa sedih, cemas
atau depresi. Hal terpenting, binatang peliharaan tersebut harus bebas dari
segala macam penyakit dan telah mendapatkan vaksinasi dengan benar (http://health.detik.com/read/2009/10/09/092026/1218368/764/terapi-autis-dengan-binatang-peliharaan).
Lain lagi dengan yang dilakukan Pricilla
Armelita (11 tahun) dan Patricia Melvina Saputra (11). Anak kembar ini selalu
rutin dibawa sang ibu ke tempat wisata berkuda di Lembang, Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. "Anak saya sulit berkomunikasi dan selalu tertutup," kata
Ifen.
Billy Mamolo, pemilik ranch kuda tersebut,
yang kemudian menjadi ahli secara otodidak dalam memanfaatkan kuda untuk terapi
autisme, awalnya hanya secara rutin saja mengajak anak kembar ini berkeliling
di lapangan, bahkan ke hutan yang banyak ditumbuhi pohon Pinus di sekitar
Tangkuban Perahu. “Pohon pinus mengeluarkan ion yang positif," kata Billy.
Perubahan pun terjadi. “Anak saya mulai
bisa diajak berkomunikasi dan sudah mau menceritakan tentang pengalamannya
kepada saya," ujar Ifen. Sejak saat itu, Ifen memutuskan meneruskan terapi
berkuda kepada kedua putrinya. Billy pun mulai tekun untuk mengembangkan terapi
autis melalui berkuda.
Dia juga melakukan riset kecil-kecilan,
dan mengikuti seminar tentang manfaat berkuda ke beberapa negara. Akhirnya, ia
menemukan metode terapi autis dengan berkuda yang baku. Kini sudah puluhan anak
autis yang ditangani oleh Billy."Ternyata benar kalau Nabi Muhammad
menganjurkan kita untuk belajar berkuda," kata Billy (http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/259-terapi-berkuda-bagi-anak-autis).
Bagaimana
dengan lumba-lumba? Lumba-lumba diketahui mengeluarkan gelombang sonar
(gelombang suara dengan frekuensi tertentu). Gelombang ini dapat merangsang
otak manusia untuk memproduksi energi yang ada dalam tulang tengkorak, dada,
dan tulang belakang, sehingga dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan
dan kiri.
Gelombang
suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan neurotransmitter. Itu sebabnya
beberapa ahli menyatakan terapi lumba-lumba baik untuk para penderita gangguan
saraf. Terapi lumba-lumba bahkan disebut mampu meningkatkan kemampuan bicara
dan keahlian motorik anak autistik. Terapi ini awalnya dikembangkan Dr.David
Nathanson, Ph.D. dari The Dolphin Human Therapy Centre di Florida, Amerika
Serikat, pada awal 1980-an. Dalam sesi terapi yang berlangsung di kolam renang,
pasien diminta berenang, menyentuh, memberi makan, hingga mengelus lumba-lumba.
Di
Indonesia, saat ini baru ada dua tempat yang memiliki fasilitas terapi
lumba-lumba yakni di Bali dan Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu. Karena keterbatasan
ini, sebuah situs kemudian menawarkan produk CD Terapi Anak Autis yang
disebut-sebut menyerupai terapi lumba-lumba. Gelombang Sonar yang dihasilkan
oleh lumba-lumba direkam, dan ditiru pola gelombangnya untuk diproduksi secara
digital (http://www.parenting.co.id/article/artikel/terapi.lumbalumba.untuk.anak.autis/001/004/210).
Otak Jenius Penderita Autisme
Ihwal
dominasi otak tertentu pada anak autis, para peneliti dari Universitas
Montreal, Kanada, mengatakan bahwa pada penyandang autisme, area otak yang
berkaitan dengan fungsi informasi visual (otak kiri, Red) sangat berkembang
(dominan). Sementara itu, bagian otak lainnya kurang aktif terutama pada area
yang berkaitan dengan pembuatan keputusan dan perencanaan (otak kanan, Red).
Hal
tersebut menjelaskan mengapa beberapa penyandang autisme biasanya lebih unggul
dalam hal tugas-tugas visual, misalnya menggambar sesuatu dengan sangat akurat
dan detail. Akan tetapi, anak autis biasanya kesulitan menerjemahkan ekspresi
wajah. Kondisi otak tersebut bervariasi pada setiap individu, sehingga ada
penderita autisme yang sama sekali tidak bisa mengambil peran dalam kehidupan
sosial. (http://geniusmap.com/index.php?action=news.detail&id_news=408&judul=Otak%20Anak%20Autis%20Bekerja%20dengan%20Cara%20Beda).
Hingga saat ini belum ditemukan penyebab autisme.
Gejala autisme seringkali sudah terlihat saat anak belum berusia 2 tahun. Tapi ada
juga kasus yang baru terdiagnosis ketika memasuki TK atau SD. Akibat gangguan
perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks, anak autis tidak bisa senormal
anak umumnya. Mereka seperti hidup dalam dunianya sendiri dan kadang bertingkah
hiperaktif.
Namun jika ditangani lebih dini melalui
terapi kejiwaan, misalnya sejak usia kurang dari 3 tahun, anak autis bisa pulih
seperti anak normal. Dokter Yunias Setiawati SpKJ, supervisor Day Care Psikiatri
Anak RSUD dr Soetomo Surabaya, mengatakan, hal itu karena dalam usia tersebut
perkembangan otak belum optimal.
Beberapa pasien autis yang ia tangani
sejak dini, kata Yunias, kini kondisinya sudah seperti anak normal. Bahkan ada
yang IQ-nya bertambah dan mampu mengenyam pendidikan di sekolah internasional. Beberapa
terapi yang umum dilakukan terhadap anak autis adalah terapi biomedis, perilaku,
okupasi, wicara, musik, serta edukasi keluarga.
Dalam terapi medis, anak biasanya diberi
obat untuk membuang kandungan logam berat dari tubuhnya. Anak autis kebanyakan
memiliki kadar logam berat lebih banyak dari anak lain. Hal ini menyebabkan berubahnya
susunan dan fungsi sel otak. Kandungan logam berat ini bisa disebabkan banyak
hal, namun yang paling utama adalah karena polusi. Seorang ibu yang mengonsumsi
ikan laut dari perairan yang sudah terpolusi, anaknya berpotensi menderita autisme
(http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/267-siapa-bilang-qautisq-tak-bisa-disembuhkan).
Aulia
Gurdi, ibu dari seorang anak penyandang autis tipe hypo (sangat pendiam),
berkisah. Oleh dokternya, Aulia diberi penjelasan bahwa autis bukanlah
penyakit, sehingga kata “sembuh” tidaklah tepat. Autis dapat diklasifikasikan menjadi
hypo dan hyperactive (hiperaktif). Penyandang autis hypo umumnya sulit dimengerti keinginannya, sehingga perkembangan
kemandiriannya lebih lambat. Sementara yang hiperaktif, bila terapi sudah
berhasil mengendalikan prilakunya, biasanya kemampuannya akan berkembang pesat.
Sebagian besar anak autis yang berpredikat jenius atau super cerdas biasanya
mereka yang hiperaktif.
Karena
autisme berspektrum, maka jenis atau ciri penyandang autis itu banyak, sehingga
orang sering juga mengklasifikasinya (selain hypo dan hiperaktif tadi) dengan
sitilah: ringan, agak ringan, berat, dan agak berat. Padahal kata para ahli, klasifikasi
ini bisa menyesatkan. Karena pada kenyataannya bagaimana pun spektrumnya, terapi
intensif yang terpadu dan berkesinambungan diperlukan bagi anak autis, untuk
harapan suatu saat bisa hidup mandiri layaknya anak normal (http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2011/06/30/tahukah-anda-bahwa-autis-bukan-penyakit-375476.html).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar