“Indonesia harus meniru Singapura. Negara
ini bahkan menaikkan jumlah dendanya terhadap para pembuang sampah sembarangan
ini dari semula 300 dolar Singapura (Rp 3 juta) menjadi 500 dolar Singapura”
Dengan mengenakan seragam kuning khas
petugas kebersihan, Sariban (69) tak segan-segan menegur siapa pun yang terlihat membuang
sampah sembarangan. Hampir setiap hari, meskipun sudah pensiun dari Dinas
Kebersihan Kota Bandung (sekarang Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan), Pak Iban,
panggilannya, ikut membersihkan sampah yang berserakan di kawasan jalan raya
kota Bandung.
Pak Iban memunguti sampah Bandung |
Belakangan, Bandung bahkan punya “tempat pembuangan
sampah” baru, yakni ajang Car Free Day di Jalan Dago (Ir H Djuanda) yang dibuka setiap
hari minggu. Pada 31 Maret lalu, Pak Iban tampak berada di sana, memunguti
sampah-sampah yang dibuang para penikmat kota yang tak bertanggung jawab,
semampu tangan dan tenaganya memunguti sampah-sampah itu (http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-barat-nasional/13/03/31/mkj6ok-relawan-kebersihan-berusia-69-tahun)
Menjelang waktu pendaftaran calon
gubernur (cagub) Jawa Barat akhir pada November 2012 lalu pun, wartawan
menemuinya sedang memunguti puntung rokok dan kardus makanan yang ditinggalkan
penggembira para cagub dalam plastik besar. Waktu itu kepada wartawan yang
menemuinya, Pak Iban berpesan agar tim kampanye dari masing-masing calon tidak
melukai pepohonan dengan ditancapi atribut kampanye menggunakan paku.
"Dari sanalah sumber air kita," ujarnya (http://regional.kompas.com/read/2012/11/10/20042990/Sariban.Titip.Pesan).
Namun
beliau juga tak segan menegur langsung orang-orang yang tangannya seperti tidak
pernah kenal bangku sekolah saat membuang sampah di jalanan. Untungnya, para
pembuang sampah mafhum jika ditegur beliau, minimal belagak cuek. Lain apabila
kita, orang pada umumnya, yang menegur para pembuang sampah anarkis itu. Mereka
akan membalas teguran kita dengan pelototan, gerundelan, bahkan mungkin
menantang dan membentak balik (penyampah sebaiknya memang jangan dibentak).
Betul kata penulis blog berikut ini, http://pieterumaya.blogspot.com/2012/12/hal-simple-yang-membutuhkan-mental-baja.html.
Menegur orang membuang sampah merupakan hal simpel yang membutuhkan mental
baja, selain menegur orang supaya jangan menyalip antrian dan jangan merokok di area umum. “Tapi di
Indonesia, hal-hal semacam ini justru bisa jadi berbalik menyerang kamu. Kamu
bisa dilihatin secara sinis, dikatain sok suci, sampe mungkin diajakin
berantem. Kalo mental kamu bukan mental baja, palingan kamu cuma bisa terdiam,”
tulis blog tersebut.
Jadi, apa yang harus dilakukan terhadap
jenis masyarakat sadis seperti ini? Sebenarnya, yang terbaik adalah jika
kesadaran tidak membuang sampah sembarangan itu datang dari mental warga
sendiri, seperti di negara-negara maju pada umumnya. Jepang misalnya, di negeri
ini masyarakat telah dididik untuk malu membuang sampah secara sembarangan.
Bahkan hal itu telah menjadi budaya yang mampu mengatasi masalah sampah yang
terkadang sulit dipecahkan (http://www.solopos.com/2012/08/27/tajuk-hilangnya-budaya-malu-buang-sampah-sembarangan-322239).
Namun
membangun mental seperti ini mungkin butuh watu lebih panjang daripada dengan
menerapkan sistem denda. Sadis harus dibalas dengan sadis tampaknya. Untuk hal
ini, Indonesia (atau Bandung) harus meniru Singapura. Kita sering mendengar
cerita bahwa orang Indonesia kalau sedang di Singapura menjadi disiplin berat
dalam hal buang sampah, tapi begitu kembali ke negerinya sendiri, keluar lagi karakter
aslinya. Rupanya denda dengan jumlah sadis dan pengawasan ketatlah yang bisa
bikin Singapura kinclong.
Demi
itu, pemerintah Singapura bahkan menaikkan jumlah dendanya. Terhadap para
pembuang sampah tidak pada tempatnya itu, Singapura mengganjar dengan denda 500
dolar Singapura (sekitar Rp 3 juta) dari semula 300 dolar Singapura. Kebijakan
baru ini akan berlaku secara resmi mulai Maret 2013. Peraturan itu juga akan
menghukum masyarakat yang berulang kali membuang sampah sembarangan dengan
denda hingga 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp 50 juta).
Menteri
Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan, menyatakan,
kebijakan itu menunjukkan keseriusan dan komitmen Singapura untuk
mempertahankan reputasinya sebagai kota yang bersih dan hijau. Namun Eugene
Heng, pemimpin organisasi non-profit Waterways Watch Society, mengungkapkan, perlu
ada peningkatan tenaga relawan untuk memperluas sosialisasi untuk terus
memberikan pendidikan kepada masyarakat. "Saat ini kami memiliki 250 relawan, dan
kami berharap dapat memperoleh wewenang yang lebih kuat untuk memerangi
'pengotor lingkungan itu'," jelas Heng.
Keputusan menaikkan denda diambil
menyusul semakin meningkatnya keluhan akan sampah-sampah yang tergeletak
sembarangan. Menurut Vivian, dia menerima banyak keluhan melalui e-mail, jejaring sosial,
bahkan foto digital (http://internasional.kompas.com/read/2012/11/21/14165917/Sampah.Meningkat..Singapura.Naikkan.Denda).
Di
Indonesia, peraturan seperti ini biasanya akan memancing masalah baru, yakni munculnya
praktik menyogok petugas pendenda di lapangan, serta praktik-praktik pungutan
liar (pungli) lainnya. Namun jika mental pungli beberapa warga ini bisa diberdayakan
untuk membuat masyarakat takut menghadapi “calo-calo pungli” model begini, dan
dengan begitu kebersihan bisa lebih diupayakan, mungkin harus dicoba juga
(hehe).**
News
peg:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar