“Dalai Lama sudah menulis surat dua kali kepada Suu
Kyi”
Aung San Suu Kyi akhirnya mau buka suara
ihwal konflik etnis dan agama di negerinya, saat ia berada di Tokyo, Rabu lalu
(17/4). Selama ini Suu Kyi cenderung tutup mulut melihat berbagai tindakan
tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah ataupun kalangan agamawan Buddha
terhadap Muslim Rohingya.
ROL |
Pemimpin
oposisi di Myanmar itu mengatakan sangat sulit memecahkan persoalan konflik
SARA (suku, agama, ras, antar-golongan) di negerinya. ''Aku bukan seorang
penyihir'' tutur Aung San Suu Kyi kepada para mahasiswa di Universitas
Tokyo. Tak mudah kata dia, langsung mengakhiri konflik yang telah berlangsung
begitu lama itu.
Dalam lawatannya ke Jepang, Suu Kyi
mempertahankan sikap bahwa perlu ada aturan hukum yang ketat bagi pemeluk agama
Buddha yang menjadi mayoritas di Myanmar. Menurut dia, semua pihak yang
terlibat dalam kekerasan harus segera membangun dialog. Tak hanya hukum yang
menjadi masalah, ujarnya, melainkan juga administrasi, pemerintah, dan juga
pihak keamanan.
Pengadilan Myanmar menurut Suu Kyi, selama
ini tak memenuhi standar demokratis karena terlalu didominasi pemerintah. "Mereka
ingin saya berbicara tentang bagaimana menghilangkan perbedaan komunal. Butuh
waktu lama untuk memilah-milah persoalan itu,'' ungkap penganut Buddha taat ini
(http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/13/04/17/mlebc6-soal-pembantaian-muslim-suu-kyi-aku-bukan-penyihir).
Lawatan Suu Kyi ke Jepang ini diwarnai
pelarangan anggota masyarakat suku kecil Muslim Myanmar untuk turut menyambut sang
pahlawan demokrasi ini. Zaw Min Htut (42 tahu), pemimpin sekitar 200 warga
Rohingya yang tinggal di Jepang, menyatakan warganya diberitahu bahwa mereka
tidak dibolehkan hadir dalam acara menyambut Suu Kyi. Alasannya, beberapa
kelompok kecil Buddha menentang kehadiran mereka. “Bahkan meskipun aku sudah
berada di Jepang puluhan tahun dan membantu warga lain Myanmar di sini,"
katanya kepada AFP
(http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/12/ml3nh3-muslim-rohingya-dilarang-bertemu-suu-kyi-di-jepang).
Kasus pembantaian muslim Rohingya oleh
umat Buddha Myanmar ini, mau tak mau cukup mengganggu citra Suu Kyi sebagai
kekuatan moral pemersatu. Baru sekitar sepekan kemarin ini, peraih Nobel
Perdamaian 1991 ini mencoba memobilisasi para petinggi muslim di negara bekas
junta itu untuk mencari penyelesaian. Situs Irrawaddy
mengatakan, kesepahaman antara Suu Kyi dan para imam muslim di Myanmar itu
dilakukan Senin (8/4). Dikatakan, Suu Kyi akan mendesak parlemen untuk membahas
persoalan kewajiban negara melindungi kelompok Islam (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml7s0z-beginilah-keprihatinan-suu-kyi-untuk-muslim-rohingya).
Pemimpin Partai Nasional untuk Demokrasi
(NLD) ini berjanji, akan membawa persoalan Muslim Rohingya dalam sidang
parlemen negara tersebut. ''Saya tidak ingin mereka (Muslim Rohingya) memiliki
keraguan atas kewarganegaraannya,'' ujar Suu Kyi, dilansir Irrawaddy.
Sementara itu, aksi teror kelompok Buddha
belum berhenti menghantui kelompok Muslim Rohingya. Aksi ini bahkan mulai dimotori
kalangan agamawan. Irrawaddy mengatakan,
kekerasan mematikan setidaknya terjadi di 11 kota di Mandalay dan Distrik Pegu
sepanjang Maret lalu. Aksi anti muslim itu setidaknya menewaskan 43 Muslim
Rohingya di provinsi sebelah utara ibu kota Yangon, Meikhtala. Aksi yang
disertai perusakan dan pembakaran rumah ibadah itu juga menyebabkan 93 Muslim
Rohingya dirawat di posko-posko darurat.
Rangkaian
aksi teror dan pemburuan oleh kelompok Buddha di kota-kota lain, telah menyebabkan
13 ribu Muslim Rohingya memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Aksi para
petinggi agama kali ini adalah yang terparah sejak bentrokan paling berdarah
meletus tahun lalu (http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/04/14/ml7rsh-aung-san-suu-kyi-lindungi-muslim-rohingya).
Atas
sikap Suu Kyi ini, pemimpin spiritual Buddha paling dihormati di dunia, Dalai
Lama, telah dua kali menulis surat kepada dia agar mau menggunakan pengaruhnya
untuk mencari solusi damai atas konflik
agama ini. Sewaktu terjadi konflik antara etnis Sinhala dan Tamil di Sri
Lanka, Dalai Lama mendorong pemerintah Sri Lanka untuk mencari solusi yang
humanis. Perwakilan Dalai Lama di New Delhi juga mencoba menghubungi Kedutaan
Myanmar untuk menyampaikan pandangan Dalai Lama tentang masalah kemanusiaan
yang serius ini.
Dalai Lama beberapa kali menerima
perwakilan dari pihak-pihak yang peduli terhadap krisis Rohingya, termasuk
mahasiswa dan staf Jamia Millia Islamia University New Delhi, dimana Dalai Lama
pernah menjadi pembicara di sana pada September lalu. Para mahasiswa meminta
Dalai Lama ikut ambil peran dalam penyelesaian krisis ini. Dalai Lama berkata
bahwa dalam kasus di Myanmar ini, Aung San Suu Kyi adalah satu-satunya pemimpin
di Myanmar yang ia kenal secara personal, dan ia telah menyampaikan
pandangannya.
Sejumlah orang mendorong Dalai Lama agar
mengunjungi Myanmar, sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi. Jika ada kesempatan, Dalai Lama akan mempertimbangkan untuk
mengunjungi tempat-tempat yang bermasalah di seluruh dunia, untuk membuka
kemungkinan membantu menyelesaikan masalah. Namun, aspek politik di luar
kendalinya, karena untuk kawasan Asia, ada sejumlah negara yang tidak
memungkinkan dikunjungi oleh Dalai Lama. Dan sayangnya Myanmar adalah salah
satunya. Meski begitu, jika ada kesempatan, Dalai Lama akan tetap melanjutkan memberi
perhatian terhadap isu Rohingya ini agar tercapai penyelesaian yang positif (http://buddhazine.com/2012/11/07/dalai-lama-dorong-aung-san-suu-kyi-berperan-selesaikan-krisis-rohingya/).
Sementara itu, Direktur The Arakan Project, Chris Lewa, seperti
dikutip AFP, Kamis
(18/4) mengatakan, pembelaan Suu Kyi atas masalah etnis Rohingya, sangat
mengecewakan. Suu Kyi dianggap tidak bersikap jujur bila menghadapi isu
Rohingya atau etnis minoritas lainnya. "Sosok seperti Aung San Suu Kyi yang
memiliki otoritas moral di Myanmar, seharusnya bisa lebih jelas lagi membahas
hak dari warga minoritas," ujar Chris. Suu Kyi, lanjut Chris, berbicara
banyak mengenai aturan hukum. “Tapi itu tidak cukup. Kalangan minoritas harus
dilindungi. Rohingya berharap dia (Suu Kyi) bisa berbuat banyak, tetapi warga
Rohingya saat ini sudah kehilangan harapan terhadap Suu Kyi," lanjut Chris.
Suu Kyi sendiri berkali-kali menyatakan ingin
melakukan diskusi dengan siapa pun yang memiliki pandangan berbeda dengannya. “Negara
ini miskin budaya negosiasi dan kompromi. Tetapi hal itu harus segera
diupayakan," ujar Suu Kyi. Suu Kyi justru mengkritik Pemerintahan Presiden
Thein Sein yang dinilainya kurang memiliki struktur dalam inisiatif reformasi
yang dijalankannya. Suu Kyi menilai Thein tidak memiliki prioritas dan tujuan
yang harus dilakukan paling utama (http://international.okezone.com/read/2013/04/18/411/793660/etnis-rohingya-kecewa-dengan-pembelaan-suu-kyi).
Pada
Juli 2012, Suu Kyi juga sempat
menantang anggota fraksi dari Partai Solidaritas dan
Pembangunan sebagai mayoritas di parlemen, agar segera menyusun aturan hukum buat melindungi kelompok
minoritas. "Saya menuntut seluruh anggota parlemen segera membahas
undang-undang perlindungan etnis minoritas, agar kita bisa menjadi sepenuhnya
demokratis," kata Suu Kyi, dilansir
BBC (http://article.wn.com/view/2012/07/25/Aung_San_Suu_Kyi_tuntut_Myanmar_lindungi_hak_muslim_Rohingya/).
Sejumlah aktivis HAM, sempat mengecam
diamnya Suu Kyi menghadapi kebijakan Presiden Thein Sein atas kasus ini. Dilansir
Telegraph, Sabtu 28
Juli 2012, Suu Kyi dikritik sengaja menghindar mengomentari isu yang—ketika itu—telah
berlangsung selama delapan minggu di negeri Rakhine, Myanmar Barat ini. "Dia
dalam posisi sulit, tapi rakyat kecewa karena dia tidak bersuara lebih
keras," kata Anna Roberts, Direktur Eksekutif Burma Campaign, di Inggris.
Direktur Human Rights Watch untuk Asia,
Brad Adams, juga menyesalkan sikap Suu Kyi ini, terutama saat dia berkunjung ke
London, Dublin, Paris, dan Oslo. "Suu Kyi melepaskan peluang untuk
membangkitkan isu mengenai HAM," katanya. Pada ucapan pertamanya di
Parlemen Juli 2012, Suu Kyi memang menegaskan tentang pentingnya melindungi hak
asasi kelompok minoritas . Namun yang dia sebutkan lebih mengacu kepada kelompok
penganut Buddha di Karen dan Shan, bukan Rohingya.
Diketahui, Presiden Thein Sein mengatakan,
800 ribu penduduk Rohingya harus ditempatkan di sejumlah kamp dan dikirim ke
Bangladesh melalui perbatasan. Thein Sein menolak mengakui etnis Rohingya sebagai
warga negara Myanmar karena menganggap mereka imigran dari Bangladesh.
Kebijakan ini dinilai oleh para penggiat HAM sebagai pembersihan etnis (http://dunia.news.viva.co.id/news/read/339650-penindasan-rohingya--suu-kyi-justru-bergeming).
Mengenai pembersihan etnis ini, salah satu tokoh biksu kharismatis, Sayadwa Wirathu, menyebut
dirinya sebagai Bin
Laden-nya Burma. Wirathu, terang-terangan
menyebut diri anti Islam. Ia bahkan, melalui khotbah dan rekaman video, selalu
mendorong adanya penolakan serta aksi kekerasan terhadap etnis-etnis minoritas,
termasuk Rohingya (http://sosok.kompasiana.com/2013/04/01/saydaw-wirathu-osama-bin-laden-dari-myanmar-547113.html dan lihat juga: http://selasarselusur.blogspot.com/2013/04/myanmar-takut-negaranya-jadi-muslim.html).
Pemuka
agama Buddha di Indonesia, Romo Sumedho, pada Agustus 2012, sempat menyatakan
kekecewaannya juga pada Suu Kyi. Umat Buddha Indonesia kata Sumedho, bahkan
sempat merencanakan untuk mengadakan
unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar. Namun kata dia, banyak pihak yang memberi masukan agar
dibatalkan. Masukan itu antara lain dari PBNU dan Presiden SBY (http://international.okezone.com/read/2012/08/17/411/679216/buddhis-indonesia-ikut-kecewa-dengan-aung-san-suu-kyi).
Sementara
itu, warga Rohingya yang ditampung di Aceh, ingin menjadi warga Aceh karena
mereka merasa sudah tidak aman lagi tinggal di daerah asal mereka. Syamsul
Alam, salah seorang pengungsi Rohingya di Lhokseumawe yang bisa berbahasa
Melayu mengatakan, banyak yang menyarankan bila ingin lari dari kejaran rezim
Pemerintah Myanmar, larilah ke Aceh. Informasi tentang Aceh diketahui warga
Rohingya sebagai daerah yang mayoritas warganya muslim dan dikenal suka
membantu dan menolong. (http://internasional.rmol.co/read/2013/02/27/100219/Pengungsi-Rohingya-Ingin-Jadi-Warga-Aceh-).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar