Nama-nama bakal calon anggota legislatif
(bacaleg) yang memiliki ikatan keluarga masih mewarnai daftar calon sementara
(DCS) beberapa partai politik. Salah satu partai yang dihiasi nama-nama
dengan hubungan kekerabatan adalah Partai Demokrat (PD). Ketua Satgas
Penjaringan Caleg PD, Suaidi Marasabessy, tanpa malu-malu mengatakan, ada dua
daerah pemilihan (dapil) yang diisi anggota keluarga. Salah satu dapil adalah
Maluku, yang diisi Suaidi bersama istrinya untuk caleg DPR RI.
Jika benar, sungguh tak sehat |
Masih
dari golongan elite PD, Sekretaris Jendral PD, Edhie Baskoro Yudhoyono, juga
maju menjadi caleg. Dia berlomba dengan pamannya, Wakil Ketua Umum PD Agus Hermanto.
Ibas kembali maju dari dapil Jawa Timur (Jatim) VII, sedangkan Agus dari dapil
Jawa Tengah (Jateng) (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/23/mlpp3o-begini-politik-dinasti-di-tubuh-partai-demokrat).
Melihat kondisi ini, tampaknya politik
dinasti kian kuat di tubuh parlemen. Pada hari terakhir penyerahan bacaleg,
Senin (22/4), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima 6.576 berkas bacaleg
dari 12 parpol.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDI-P), Puan
Maharani, ikut bersaing dalam Pemilu 2014. Putri Ketua Umum PDI-P, Megawati
Soekarnoputri, ini, berada di dapil Jawa Tengah yang menjadi salah satu kantong
suara partai. Partai Golkar juga menempatkan keluarga elite parpolnya dalam
daftar bakal caleg. Putra Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Agung Laksono, yakni
Dave Laksono, bertarung di dapil Jabar. Dave sempat ikut Pemilu 2009, namun tak
terpilih.
Istri Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali,
juga menambah daftar keluarga elite parpol yang ikut pemilu. Indah Suryadharma
Ali, kembali bertarung menuju DPR. Indah saat ini sudah duduk di Komisi VII DPR
periode 2009-2014. Sementara Partai Amanat Nasional )PAN) yang belakangan sering dipelesetkan sebagai Partai Artis Nasional, bahkan mengeluarkan nama Gading Marten dan Gisel sebagai bacaleg, pasangan yang sebentar lagi bakal jadi suami istri.
Kebedaraan keluarga elite parpol dalam
daftar bacaleg merupakan sinyal negatif. Menurut pengamat politik Lingkar
Madani Indonesia, Ray Rangkuti, hal tersebut membuktikan oligarki dan politik
dinasti telah menjadi kultur dalam politik Indonesia. Ray memperkirakan prospek
kualitas anggota DPR mendatang tidak akan lebih baik dari sekarang. DPR masih
akan mengalami kendala di bidang penyelesaian legislasi dan transparansi
penggunaan uang negara. "DPR mendatang akan menjadi arena reuni
keluarga," kata Ray (http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/04/23/mlo250-dcs-cerminkan-politik-dinasti dan http://www.aktual.co/politik/145922anang-hermansyah-dan-gisel-nyaleg-via-pan-).
KPU mengaku tidak bisa mencegah munculnya
nama-nama bakal caleg yang memiliki hubungan kekerabatan. Ketua KPU, Husni
Kamil Manik, mengatakan, selama bacaleg tersebut memenuhi syarat yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan, mereka bisa maju sebagai bacaleg. Peraturan
KPU No.7/2013, yang diubah ke dalam PKPU
No.13/2013, memang tidak mengatur pelarangan satu dapil diisi dua atau lebih
anggota keluarga (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/23/mlpoo7-kpu-tak-bisa-cegah-politik-dinasti).
Sementara itu, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) melarang kadernya mencalonkan suami, istri atau pun bapak dan anak untuk
menjadi anggota legislatif. Termasuk jika ada keluarga yang bersangkutan duduk
di jabatan publik. "Sejak awal, Majelis Syuro PKS menyuarakan kepada
para kadernya agar menghindari (pencalegan gaya dinasti) itu," kata Ketua
DPP PKS Hidayat Nurwahid, Selasa (23/4).
Namun karena karena tidak ada aturan
hukum yang melarang, ujar Hidayat, pencalonan anggota legislatif ala dinasti,
tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hanya saja, lanjut Hidayat, perlu diingat
bahwa pelaksanaan demokrasi semacam ini tidak menjamin sebuah sistem politik
yang sehat, melainkan kerajaan-kerajaan kecil model baru.
Menurutnya, di luar negeri juga ada kecenderungan
politik dinasti. Sebut saja suami-istri Bill dan Hillary Clinton dari Partai
Demokrat. Atau pun bapak-anak Bush dari Partai Republik. Hanya saja, ujarnya,
politik dinasti di negara tersebut diterapkan oleh keluarga yang
berkualitas. "Indonesia belum seperti itu,” kata kata mantan Ketua
MPR tersebut. Namun persoalan sebenarnya, bagaimana mengajak dan menyadarkan
rakyat menggunakan kedaulatan mereka dalam memilih caleg. Rakyat harus mampu
melihat apakah caleg ala dinasti yang ditawarkan memang berkualitas atau tidak
(http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/23/mlph23-pks-politik-dinasti-tak-sepenuhnya-salah).
Sementara Wasekjen Partai Golkar, Nurul
Arifin, berpendapat, hak asasi manusia (HAM) menjadi alasan kenapa politik
dinasti semakin kuat. Ini kata dia, yang membuat aturan mengenai politik
dinasti dalam RUU Pilkada menjadi sulit terealisasi. "Dalam RUU Pilkada,
mau diatur pun hampir semua partai tidak setuju. Demokrasi ternyata juga
melahirkan politik dinasti," kata Nurul.
RUU Pilkada awalnya direncanakan untuk
menghambat politik dinasti di Indonesia. Yaitu dengan membuat larangan bagi
keluarga petahana (incumbent) maju menjadi kepala daerah di tempat lain. Namun
usulan ini banyak ditentang karena dianggap melanggar HAM warga negara.
Aturannya sendiri, kadang tidak mendukung tren politik dinasti ini. Misalnya
kuota 30 persen perempuan dari setiap partai, membuat banyak istri atau anak
perempuan politisi yang maju. "Sesungguhnya kondisi tersebut telah keluar
dari spirit dan roh
yang kami impikan," ujar politisi yang membidani UU Pemilu tersebut (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/04/23/mlp8di-ham-malah-bikin-politik-dinasti-menguat).
Wakil
Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid, pada diskusi "Dialog Pilar Negara:
Politik Dinasti dalam Pemilu" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin
(1/4), mengatakan, dalam politik dinasti di Indonesia, kepala daerah atau
pejabat publik lainnya, muncul karena popularitas keluarganya seperti suami,
kakak, atau orang tua, serta kekuatan uang. Bukan karena kemampuan dan
popularitas dirinya. ”Ada kepala daerah setelah selesai masa jabatannya kemudian menampilkan istri,
adik, atau anaknya menjadi kepala daerah," katanya.
Pengamat
politik dari Indonesia Institute, Hanta Yuda AR mengatakan, untuk memperbaiki
kondisi ini, harus dengan memperbaiki total partai politik mulai dari proses
rekrutmen anggota, kaderisasi, hingga mengusung calon pemimpin (http://www.suarapembaruan.com/home/politik-dinasti-lahirkan-pemimpin-prematur/33139).
Saat
ini kata Zuhro, sistem kepemimpinan yang bersifat turun-temurun terjadi baik di
pusat maupun di daerah. Parpol sebagai pilar demokarsi kata Zuhro, hanya
menjadi kerumunan fans club. Lebih
lanjut kata dia, politik dinasti sangat pragmatis karena tidak perlu
bersusah-susah payah mendapatkan jabatan, cukup mengandalkan nama pemimpin
tersebut. Namun kata Zuhro, politik dinasti memang kental di Indonesia sejak
dahulu hingga kini. “Ketika bapaknya jadi apa, lalu ibunya harus jadi apa,
anaknya kemudian jadi apa, belum lagi keponakan dan keluarga lainnya.” (http://politik.pelitaonline.com/news/2012/05/27/politik-dinasti-harus-diperangi#.UXa0-kqzauI).
Untuk mencegah politik dinasti, khususnya
dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), dapat dilakukan dengan pemilu serentak. "Jika serentak,
politisi harus memilih, mencalonkan di mana," kata pakar sistem pemilu,
Didik Supriyanto. Selain itu, pilkada serentak saat pelaksanaannya akan
menampilkan caleg dinasti secara jelas, terbuka dan bersamaan kepada publik.
Partai dan calon akan tampak buruk di mata publik jika daftar calegnya diisi
orang-orang satu kerabat keluarga.
Pilkada serentak berarti memilih presiden
(eksekutif) dan DPR pusat (legislatif nasional) di tanggal, bulan dan tahun
serta satuan jam yang sama, lalu selang 2,5 tahun ada pemilu daerah serentak
untuk memilih gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota-wakil
walikota beserta DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota seluruh daerah se-Indonesia di
tanggal, bulan dan tahun serta satuan jam yang sama (http://www.rumahpemilu.org/read/1625/Pilkada-Serentak-Bisa-Mencegah-Politik-Dinasti).**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar